Green Companies

Bio Farma, Terapkan Proses Produksi yang Highly Regulated

R. Herry, Kepala Divisi Pengelolaan Lingkungan dan Sosial Bio Farma.
R. Herry, Kepala Divisi Pengelolaan Lingkungan dan Sosial Bio Farma.

Pada ajang Green Companies 2020, PT Bio Farma (Persero) mengajukan tema “Upaya Biofarma Mengatasi Pandemi Covid-19”. Dari sejumlah agenda yang dipaparkannya, ada dua agenda penting –yang menurut kami merupakan peran khas Bio Farma– yang perlu disorot: menjamin ketersediaan vaksin dan upaya pengembangan vaksin.

Dalam hal menjamin ketersediaan vaksin di masyarakat, menurut Iwan Setiawan, Kepala Komunikasi Korporat Bio Farma, selama pandemi Covid-19 ini sudah tersedia 170 ribu vial vaksi flubio. Pada Oktober 2020, Bio Farma dijadwalkan memproduksi lagi 65 ribu vial. Selain itu, selama pandemi ini Bio Farma telah mendistribusikan 268.191 vial vaksin meningitis. Ini ditambah dengan importasi 300 ribu vial pada periode Agustus-September 2020.

Khusus untuk Covid-19, Bio Farma mengembangkan vaksin dan rapid test kit. Iwan menjelaskan, strategi perusahaan dalam penyediaan vaksin corona ini terbagi dua: jangka pendek dan jangka menengah-panjang.

Untuk jangka pendek, Bio Farma berkolaborasi dengan Sinovac (China) dan Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI). Dalam hal ini, ada transfer teknologi di proses hilir (formulasi/filling) menggunakan bulk vaksin Covid-19 dari mitra, dan program pengembangan kapasitas (capacity building). “Kerjasama dengan Sinovac ini bukan kali pertama. Kami sudah beberapa kali bekerjasama,” kata Iwan. Ia menyebutkan, saat ini memasuki uji klinis tahap 3, dan ditargetkan selesai pada awal 2021. “Setelah itu, kami melakukan registrasi ke Badan POM dan vaksinnya diproduksi secara massal,” ujarnya.

Untuk jangka menengah-panjang, Bio Fama mengembangkan vaksin dari proses hulu, dengan pola kolaborasi. Bio Farma tergabung dalam konsorsium vaksin Covid-19 nasional, bersama sejumlah lembaga lain, seperti Kemenristek, LBM Eijkman, Kemenkes, dan Badan Litbangkes Kemenkes.

Untuk pengembangan dari hulu ini, Iwan menyebutkan, prosesnya masih panjang. “Kemungkinan kami baru bisa menerima prototype-nya pada pertengahan 2021,” ujarnya. “Setelah itu, kami harus melakukan pengembangan lagi, optimalisasi, uji klinis, dan sebagainya, sehingga kemungkinan baru bisa produksi pada 2022,” tambahnya.

Di samping menyediakan vaksin, Bio Farma juga terus berinovasi, sehingga menghasilkan sejumlah produk penanganan Covid-19, yakni PCR test kit (hasil kerjasama dengan BPPT) yang sudah meluncur resmi pada 20 Mei lalu, plasma convalescent, Bio VTM, dan mobile lab BSL-3 (hasil kerjasama dengan Universitas Padjadjaran).

Menjawab pertanyaan tentang kemungkinan efektivitas vaksin yang dikembangkan, R. Herry, Kepala Divisi Pengelolaan Lingkungan dan Sosial Bio Farma, menjelaskan bahwa dari sisi genome yang sudah diteliti, antara di Wuhan dan Indonesia, tidak ada perbedaan yang signifikan. “Bahkan, ini berlaku di seluruh dunia,” ujarnya. Sebagai buktinya, uji klinis fase 3 dilakukan secara multicenter, yakni di lima negara sekaligus: Brasil, Bangladesh, Cile, Turki, dan Indonesia.

Di samping itu, seperti telah disinggung di atas, dalam jangka menengah-panjang, Bio Farma mengembangkan vaksin asli Indonesia –dengan nama Vaksin Merah Putih–berkolaborasi dengan Lembaga Eijkman. Seed virus yang digunakan betul-betul galur Indonesia. Ditargetkan bisa diproduksi pada 2022.

Bicara soal mekanisme produksi, Herry menjelaskan bahwa Bio Farma menjalankan proses produksi biologis, sehingga penggunaan bahan kimia relatif sangat kecil. Karena itu, hasil limbahnya lebih berupa mikroorganisme. “Yang paling berbahaya adalah paparan virus dari hasil limbah tersebut,” ujarnya. Maka, Bio Farma menerapkan aturan ketat di ruang produksi. “Kami rutin diaudit oleh WHO,” ia menegaskan.

Selain itu, Bio Farma juga rutin melakukan validasi mikroorganisme yang tidak dinyatakan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup. Validasinya cukup complicated. “Alhamdulillah, di sekitar Bio Farma tidak ada yang terpapar mikroorganisme. Kami mendapatkan predikat Zero Accident dari Kementerian Tenaga Kerja,” kata Herry.

Ia menjelaskan bahwa untuk produksi, prosesnya highly regulated sehingga personel Bio Farma tidak bisa melakukan apa pun secara sembarangan. Selain itu, diupayakan juga agar proses produksi tersebut tidak merugikan lingkungan. Di R&D, misalnya, Bio Farma meminimalkan penggunaan hewan dalam proses uji. Lalu, untuk fumigasi ruangan, Bio Farma sudah mengganti dari formaldehida ke hidrogen peroksida. “Kami sudah mendapatkan Proper Emas empat kali. Ini tanda bahwa kami tidak hanya patuh pada regulasi tapi juga berorientasi pada excellent compliance,” kata Herry.

Untuk memastikan berjalannya green procurement, Bio Farma memilih pemasok yang peduli pada aspek lingkungan. Salah satu pertanyaannya adalah apakah rekanan tersebut telah mendapatkan ISO 14001, atau dengan kata lain bagaimana komitmen manajemennya terhadap lingkungan. “Ini menjadi dasar kami untuk penetapan Daftar Rekanan,” ujarnya.

Dari sisi organisasi, Herry menyebutkan, manajemen Bio Farma memiliki komitmen kuat dengan membentuk struktur organisasi untuk pengelolaan lingkungan. Yaitu, dengan adanya Tim Proper, Tim Penghematan Energi, Manajer Energi, dan sebagainya.

Menurut Herry, untuk pengurangan limbah, Bio Farma berupaya secara konsisten meminimalkan dampak lingkungan dari timbulan limbah B3 melalui program pengurangan dan pemanfaatan limbah B3 yang ditimbulkan. Selain itu, juga berupaya dalam hal pengurangan dan pemanfaatan limbah padat non-B3. Prinsip less landfill diterapkan secara konsisten. Timbulan limbah diolah di fasilitas perusahaan dan mitra perusahaan, untuk didaur ulang menjadi produk yang bernilai guna.

Hasilnya, dalam lima tahun terakhir, Bio Farma telah mengurangi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) sebanyak 105 ton serta mengurangi dan memanfaatkan limbah padat non-B3 sebanyak 624 ton. “Dengan melaksanakan Program Pengurangan dan Pemanfaatan Limbah, penghematan biaya yang dicapai senilai Rp 0,8 miliar,” ungkap Herry.

Untuk penggunaan air dalam proses produksi dan penunjang, Bio Farma menggunakan tiga sumber air baku, yaitu PDAM, sumur dalam, dan recycle water plant. Total pemakaian air sebesar 207,390 m3 per tahun. “Bio Farma konsisten melaksanakan Program Efisiensi Air,” ujar Herry. Dari pelaksanaan Program Efisiensi Air diperoleh rasio hasil 3R sebesar 18,38% per tahun.

Dalam penurunan beban pencemaran air, digunakan IPAL untuk mengolah air limbah yang ditimbulkan oleh kegiatan operasi. IPAL dipantau untuk memastikan limbah yang keluar memenuhi baku mutu sesuai dengan PermenLH No. 5 Tahun 2014. Dalam lima tahun terakhir, Bio Farma telah melakukan konservasi air sebanyak 168.288 m3 dan menurunkan beban pencemaran air sebesar 22 ton. “Dengan melaksanakan Program Konservasi Air dan Penurunan Beban Pencemaran Air, penghematan biaya yang dicapai senilai Rp 8,4 miliar,” kata Herry.

Bio Farma juga berupaya menghemat energi, mencakup penggunaan energi listrik, solar, uap (steam), dan air. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Bio Farma telah menghemat energi sebesar 48.177 GJ dan mengurangi pencemaran udara sebanyak 10.560 ton CO2 Eq. “Dengan melaksanakan Program Efisisensi Energi dan Pengurangan Pencemaran Udara, penghematan biaya yang dicapai senilai Rp 17,24 miliar,” Herry mengungkapkan. (*)

Joko Sugiarsono dan Vina Anggita

KUTIPAN

R. Herry, Kepala Divisi Pengelolaan Lingkungan dan Sosial Bio Farma

“Kami sudah mendapatkan Proper Emas empat kali. Ini tanda bahwa kami tidak hanya patuh pada regulasi tapi juga berorientasi pada excellent compliance.”

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved