Best CEO zkumparan

Jahja Setiatmadja, Dirut Bank BCA: Tak Hanya Memberi Arahan, Juga Harus Lebih Open Minded

Jahja Setiatmadja, Dirut Bank BCA: Tak Hanya Memberi Arahan, Juga Harus Lebih Open Minded
Jahja Setiatmadja, Dirut Bank BCA

Di akhir 2011, enam bulan setelah Jahja Setiatmadja diangkat menjadi Direktur Utama Bank BCA, bank ini tercatat memiliki aset sebesar Rp 381,91 triliun dan laba besih Rp 10,82 triliun, sedangkan kapitalisasi pasarnya Rp 197,2 triliun. Di akhir 2017, asetnya sudah melonjak menjadi Rp 750,32 triliun dan laba bersihnya Rp 23,32 triliun. Kapitalisasi pasarnya? Melesat menjadi Rp 540,56 triliun.

Tak berhenti sampai di situ. Menyimak kinerja BCA selama tahun berjalan 2018, kinerja bank swasta terbesar di Indonesia ini makin bersinar. Asetnya per September 2018 tercatat Rp 798,97 triliun, laba bersihnya Rp 18,51 triliun (naik 9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017), lalu nilai kapitalisasi pasarnya Rp 605,32 triliun. Angka kapitalisasi pasar BCA ini tidak saja tertinggi di emiten sektor perbankan, tetapi juga tertinggi di Bursa Efek Indonesia.

Kinerja BCA yang ciamik itu, baik kinerja keuangan maupun kinerja sahamnya, tak lepas dari tangan dingin Jahja dalam memimpin bank ini mengarungi pertarungan di industri perbankan yang makin ketat. Maklumlah, kekuatan BCA adalah di consumer banking, sementara dalam satu dekade terakhir, bank besar lain yang awalnya lebih banyak bermain di corporate banking dan retail banking juga makin agresif menggarap consumer banking.

Karier lulusan Jurusan Akuntansi Universitas Indonesia ini di BCA dimulai pada 1990. Saat itu, bank ini masih dikendalikan sepenuhnya oleh Grup Salim. Jahja direkrut dari Indomobil, yang juga merupakan anak usaha Grup Salim yang bergerak di bidang otomotif. Sebelumnya, ia berkarier sebagai konsultan dan kemudian pindah ke Kalbe Farma menjadi direktur keuangan saat usianya masih di awal 30-an tahun.

Di BCA, karier Jahja terus menanjak. Pada Desember 1999, ia dipromosikan sebagai direktur bank yang sekarang mayoritas sahamnya dipegang Grup Djarum ini. Kemudian, pada Mei 2005, ia naik jabatan lagi sebagai Wakil Direktur Utama BCA, mendampingi D.E. Setijoso sebagai orang nomor satu di bank ini. Dan, akhirnya posisi puncak diraih pada Juni 2011. Jabatan sebagai orang nomor satu di BCA ini dijabatnya hingga sekarang.

Pengalaman kelahiran tahun 1955 ini di BCA tentulah sangat banyak. Maklumlah, ketika menjabat sebagai Direktur Keuangan BCA pada 1999, sebagaimana kita tahu, dunia bisnis, tak terkecuali dunia perbankan, menghadapi krisis keuangan yang melanda Asia. Krisis keuangan yang mulai datang pada 1997 membuat nilai tukar rupiah jatuh, mendorong banyak perusahaan dengan pinjaman mata uang asing oleng dan menyeret banyak bank yang kemudian limbung bersama mereka. BCA pun akhirnya harus masuk ke perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lembaga khusus yang didirikan untuk menangani bank-bank bermasalah ketika itu.

Sebagai CFO, tugas pertama Jahja adalah segera memulihkan kesehatan keuangan bank menjelang penawaran umum perdana tahun 2000. Dengan memangkas portofolio pinjamannya –rasio pinjaman terhadap simpanannya turun dari 87,21% di tahun 1998 menjadi 4,74% tahun berikutnya (karena dananya dialihkan untuk ditempatkan di obligasi pemerintah), BCA berhasil kembali memperoleh laba pada 1999. Ia juga memperkuat bisnis transaksi perbankan (fee-based income) sebagai sumber pendapatan alternatif.

Ketika di posisi puncak, Jahja berusaha meningkatkan binis pinjaman konsumen (consumer lending). Maka, pada 2014, BCA menambah kepemilikannya di perusahaan pembiayaan sepeda motor, Central Santosa Finance, dan mendapat persetujuan untuk memulai bisnis asuransi jiwa.

Jahja dikenal sebagai pemimpin yang mengutamakan kerja tim ketimbang kharisma, juga dikenal sebagai familiy man. “Saya senang melakukan berbagai kegiatan yang dapat menyegarkan pikiran, seperti bermain golf, berenang, dan menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta,” ia menuturkan.

Dalam survei yang dilakukan SWA bekerjasama dengan Dunamis Organization Services, menggunakan metode The 4 Roles of Leadership yang dikembangkan oleh FranklinCovey –bahwa kepemimpinan meliputi empat fungsi, yakni sebagai perintis, penyelaras, pemberdaya, dan panutan– serta digabungkan dengan indeks komitmen karyawan (dengan parameter yang disurvei meliputi kepercayaan, eksekusi, loyalitas karyawan, dan motivasi karyawan), Jahja bertengger di urutan teratas dalam Top 10 Indonesia Best CEO 2018, dengan indeks total 98,47.

Dari keseluruhan atribut yang disurvei, baik fungsi kepemimpinan maupun komitmen karyawan, Jahja unggul di segala aspek. Ini menunjukkan ia sebagai leader yang menonjol sebagai perintis, penyelaras, pemberdaya, dan panutan. Maka, hasil yang dicapainya pun patut diacungi jempol. Bagaimana Jahja menjalankan kepemimpinan di BCA? Berikut ini wawancara dengan Presdir BCA itu:

Apa saja tantangan yang Anda hadapi sebagai seorang CEO terkait dengan era VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), disrupsi, era milenial, persaingan bisnis, nilai tukar rupiah yang melemah, dan sebagainya? Sejauh mana hal-hal tersebut berdampak terhadap industri perbankan maupun BCA?

Setiap pemimpin perlu memiliki coaching skills sebagai keterampilan untuk memberi komando secara jelas, tegas, dan efektif, khususnya ketika situasi bisnis menghadapi era VUCA dan disrupsi seperti ini. Ke depan, industri perbankan memiliki beberapa tantangan, antara lain dalam hal pengetatan likuiditas. Salah satunya, penerapan standar Basel III yang akan diterapkan pada tahun 2019, sehingga perbankan harus memperbaiki pendanaannya. Kemudian, perbankan juga menghadapi situasi kompetisi pada iklim margin bunga bersih (net interest margin/NIM).

Di era sekarang, perbankan dituntut untuk menggaet nasabah melalui cara digital, tidak lagi secara tradisional. Dinamika perkembangan hidup masyarakat yang senantiasa bergantung pada teknologi menuntut perbankan untuk aktif menyediakan layanan berbasis teknologi informasi (TI).

Bagaimana Anda merespons berbagai tantangan di atas? Bagaimana menyiapkan organisasi dan people-nya? Bagaimana mengemas transformasi agar organisasi lebih siap dan mendapat sumber pendapatan baru? Adakah model bisnis baru yang disiapkan?

Untuk merespons berbagai tantangan tersebut, langkah yang ditempuh BCA adalah senantiasa mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai elemen penentu keunggulan daya saing perusahaan. Pengembangan SDM adalah prioritas utama dalam mendukung strategi pembangunan jangka panjang BCA, dengan menciptakan environment yang baik bagi kamu milenial.

Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa karyawan merupakan urat nadi dalam kegiatan perbankan saat ini. Karenanya, kami berupaya secara konsisten untuk menjalankan dan mengelola berbagai program pelatihan untuk membekali karyawan dengan keahlian yang diperlukan serta memperkuat karakter dan kompetensi agar dapat mencapai produktivitas yang optimal.

Di samping itu, kami harus berkompetisi juga dengan financial technology (fintech) dalam hal digital payment untuk tetap memperkuat CASA (current account saving account) –sumber dana murah berupa deposito dan giro– agar profitabilitas tetap terjaga.

Bagaimana Anda menerapkan empat peran kepemimpinan dalam konsep Four Roles of Leadership (perintis, penyelaras, pemberdaya, dan panutan)? Bagaimana menyesuaikan gaya kepemimpinan dengan era milenial?

Dibutuhkan gaya kepemimpinan yang ideal di organisasi era milenial seperti saat ini. Di era milenial ini, pemimpin perusahaan dituntut untuk tidak hanya memberi arahan, tetapi juga lebih open minded terhadap saran dan masukan karyawan. Leader perlu banyak mendengar dan memercayai karyawan, bukan selalu nyaman dan terbiasa untuk memberi arahan tanpa memberi ruang diskusi. Dan, di saat yang sama, saya harus bisa mempertajam strategi agar bisa mencapai visi perusahaan.

Apa saja hasil yang telah dicapai selama Anda memimpin BCA, baik yang menyangkut kinerja bisnis maupun kemajuan di bidang manajemen?

Secara umum, BCA kerap berupaya secara konsisten memperhatikan keseluruhan segmen yang ada. Tak lupa, kami kian menerapkan praktik kehati-hatian dan mencermati kondisi perekonomian guna menjaga keberlangsungan kinerja bisnis. Kami meyakini bahwa kestabilan perbankan nasional akan tetap terjaga serta memiliki prospek positif dalam jangka panjang. Kemudian, fundamental bisnis BCA yang solid dan kapabilitas dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan bisnis akan mendukung posisi BCA untuk terus tumbuh.

Hingga sembilan bulan pertama tahun 2018, BCA dan anak perusahaan melaporkan pertumbuhan neraca yang sehat. Portofolio kredit BCA naik 17,3% year on year (YoY) menjadi Rp 516 triliun serta dana giro dan rekening transaksi (CASA) tumbuh 11,4% YoY menjadi Rp 477 triliun. Dengan demikian, pertumbuhan kredit lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, namun tetap berhati-hati (prudent) dalam credit decision. Pada akhir September 2018, portofolio kredit BCA mencapai Rp 516 triliun, tumbuh 17,3% YoY. BCA mencatat pertumbuhan kredit usaha yang lebih tinggi, baik pada kredit investasi maupun modal kerja.(*)

Kusnan M. Djawahir dan Herning Banirestu


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved