Best CEO

Tommy Wattimena, CEO Sreeya Sewu: Mentransformasi Industri Peternakan Ayam

Tommy Wattimena, CEO PT Sreeya Sewu Indonesia Tbk.

Sebelum menduduki jabatan Direktur Utama/CEO PT Sreeya Sewu Indonesia Tbk. (sebelumnya bernama PT Sierad Produce Tbk.), Tommy Wattimena sudah malang melintang di sejumlah perusahaan. Ia pernah lama berkarier di perusahaan consumer goods multinasional, perusahaan telekomunikasi, perusahaan consumer product nasional, hingga akhirnya sampai saat ini berada Sreeya Sewu, perusahaan yang bergerak di industri peternakan ayam (poultry industry).

Begitu masuk ke Sreeta Sewu, Tommy pun langsung memimpin langkah transformasi. Berkat kepemimpinan dan tangan dinginnya, dalam setahun ia sudah berhasil mengubah neraca rugi-labanya, dari merah menjadi biru. Pada 2017 merugi Rp 373 miliar, di tahun 2018 sudah mampu mencatat laba bersih sekitar Rp 27 miliar. Padahal, kata dia, suntikan modal yang semula dijanjikan, tidak datang.

Ada dua hal yang menurut Tommy memegang peran penting dalam turnaround perusahaan ini di tahun 2018, yakni harga ayam sedang bagus dan segenap awak perusahaan mau mendengarkan dan mengikuti kepemimpinannya. Pada 2019, Sreeya Sewu kembali mencatat laba bersih, yakni mencapai Rp 120 miliar, dengan pertumbuhan revenue 27%.

Bisnis Sreeya Sewu mencakup pembuatan pakan ayam, penjualan ayam kuning ke petani, pengelolaan farm boiler, penjualan telur segar, pengelolaan rumah potong ayam, dan pengelolaan bisnis daging ayam olahan dengan merek Belfood Indonesia.

Ada sejumlah tantangan yang dihadapi Tommy ketika memimpin Sreeya Sewu. Pertama, tantangan industri, khususnya karena pengadaan pakan ternak yang tidak efisien, lantaran proteksi terhadap jagung lokal, yang sesungguhnya produksinya tidak efisien. “Jagung Indonesia salah satu yang termahal di dunia,” ujarnya. Padahal, Indonesia juga masih mengimpor soybean milk, yang merupakan bahan pokok lainnya dari pakan ternak.

Kedua, para peternak tidak memiliki akses ke bantuan keuangan. Perbankan tidak mau memberikan pinjaman kepada peternak, karena datanya dianggap tidak komplet serta manajemennya dinilai berantakan dan tradisional. Karena itu, perusahaan pakan ternak seperti Sreeya Sewu yang bertindak sebagai pemberi kredit.

Ketiga, dari sisi pembibitan anak ayam, kita tidak mengetahui berapa suplai yang pas. Karena itu, harganya berfluktuasi. Jika salah menghitung, pasokan ayam akan kelebihan atau kekurangan. Kalau kebanyakan, terpaksa harus dimatikan; jika kekurangan, harganya akan melambung. “Karena data kami tidak mencukupi, kami salah hitung terus, kadang kelebihan, tapi kadang kekurangan,” ujarnya.

Keempat, tantangan distribusi. Selama ini distribusinya, menurut Tommy, dikontrol oleh para “preman” di pasar-pasar, sehingga ada margin yang lumayan besar, tetapi tidak dinikmati para peternak.

Masih ada tantangan lain. Di tahun 2012, Indonesia kalah di World Trade Organization (WTO), ketika Brasil memberikan tantangan untuk membuka pasar ayam sebagai bagian dari perdagangan bebas. “Jadi, kita harus membuka pasar ayam ini, padahal harga ayam mereka setengah dari harga ayam kita,” kata Tommy khawatir.

Lalu, datanglah pandemi Covid-19, yang memperburuk kondisi. Di masa pandemi, menurutnya, ada dua hal yang menjadi masalah. Pertama, demand turun, karena toko dan restoran tutup. Kedua, harga ayam turun, sehingga para peternak merugi, yang membeuat mereka tidak bisa membayar pakan, alias berutang. “Secara operasional kami tetap beroperasi, namun dengan kapasitas yang menurun karena permintaan pasar turun,” katanya.

Bagaimana respons Tommy dan perusahaannya terhadap dampak pandemi Covid-19 ini? Ada tiga hal. Pertama, aspek kesehatan karyawan. “Tim saya disiplin,” ujarnya. Karena terbiasa menerapkan bio-security di lingkungan peternakan ayam, hal semacam itu juga diterapkan di kantor dan pabrik (pengolahan). Hasilnya, di tahun 2020 itu, dari sekitar 2.600 karyawan, yang terpapar Covid-19 hanya 16 orang, dan mereka pun tergolong OTG (orang tanpa gejala). “Ini, bagi saya, suatu pencapaian,” ujarnya.

Kedua, aspek operasional. Prinsipnya, orang-orang yang terlibat dalam operasional produksi, harus diproteksi, agar kegiatan operasional tetap berjalan.

Ketiga, aspek finansial. Menjaga keuangan, terutama dari sisi cash flow, dengan memastikan tetap ada uang yang standby. Selain itu, belanja barang modal (capex) juga dipangkas.

Untungnya, ungkap Tommy, karyawan sangat loyal dalam situasi sulit itu. “Saya tunjukkan kepada mereka bahwa perusahaan loyal, sehingga mereka juga loyal,” ujarnya.

Untuk mengatasi potensi uang macet di peternak, pada masa Covid-19 Sreeya Sewu membuat rating untuk para peternak, seperti dilakukan bank kepada debiturnya. Dengan cara begini, ia mengklaim, tidak banyak yang tidak bisa membayar.

Namun, diakuinya, bisnis Sreeya Sewu di masa pandemi ini menurun. Ia memperkirakan revenue-nya turun 30%.

Bagaimana Tommy membangun kepercayaan (trust) di kalangan karyawan di masa sulit ini? Menurutnya, yang pertama adalah menjalankan transparansi. Ia memilih menceritakan kondisi perusahaan apa adanya, termasuk kondisi finansialnya. Namun, ia juga berkomitmen untuk tidak melakukan PHK. THR pun diberikan on time, walaupun bonus tidak dijanjikannya.

Kedua, menjalankan aktivitas CSR ke penduduk di wilayah kerja Sreeya Sewu. Karyawan pun ikut membantu.

Dari segi terobosan bisnis, Tommy mengaku beruntung perusahaan telah melakukan transformasi bisnis pada periode 2018-2019. “Jadi, kami tinggal melanjutkan saja,” ujarnya. Terobosan terpenting adalah melakukan digitalisasi.

Seperti diketahui, Sreeya Sewu juga menjual nugget dan frozen food. Di masa pandemi, produk-produk ini menjadi berkah, karena banyak orang yang jadi suka masak. Dari sana, Sreeya Sewu melakukan ekspansi distribusi dengan membuat cold chain sampai ke level paling bawah. “Kami satu-satunya perusahaan yang memiliki cold chain sampai ke level ritel,” katanya.

Karena itu, pihaknya bisa membuat produk yang amat terjangkau. “Kami bisa membuat nugget Rp 5 ribuan sampai Rp 10 ribuan dan sangat sukses,” katanya bangga. Sistem cold chain sebetulnya telah dibangun sejak 2018. Dalam proses tersebut dibangun pula digitalisasi logistik penjualan, otomasi penjualan, dsb.

Dengan melakukan aneka terobosan tersebut, menurut Tommy, bisnis frozen food kenaikannya tiga kali lipat sejak dirinya bergabung, dan diprediksi akan terus tumbuh.

Kesuksesan tranformasi juga bisa dilihat dari ukuran finansial. Dari 2017 ke 2018 revenue meningkat 27%. Dari 2018 ke 2019, meningkat 32% dan secara profit hampir tiga kali lipat. Kinerja 2020 belum bisa diungkapkan karena belum dirilis. Namun, ia menyebutkan, di kuartal ke-3 sudah tumbuh 6%.

Tommy juga menyebutkan, keberhasilan itu bisa dilihat dari level engagement karyawannya, yang hingga saat ini berjumlah 2.600 orang dan tidak bertambah selama tiga tahun. Ia menyebutkan, 98% karyawan merasa yakin dengan target dan strategi yang dijalankan perusahaan.

Ke depan, Tommy mengaku akan melakukan tiga hal. Pertama, meningkatkan produktivitas karyawan melalui smart farm. Kedua, menawarkan konsep halal supply chain kepada pemerintah sebagai upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional. Ketiga, memperkuat downstream industri peternakan nasional. (*)

Joko Sugiarsono & Anastasia A. Suksmonowati

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved