Leaders zkumparan

Gerombolan Orang Sukses Bernama PayPal Mafia

Gerombolan Orang Sukses Bernama PayPal Mafia

//Jejak dan pengaruh orang-orang PayPal Mafia bisa terlacak di banyak unicorn atau perusahaan startup teknologi terkemuka saat ini. Sehebat apa sukses mereka? Apa rahasia di balik sukses mereka?//

Sebagian besar Anda pengguna consumer technology sehari-hari pastilah tahu nama-nama seperti Uber, Airbnb, LinkedIn, apalagi YouTube. Mungkin sebagian Anda malah merupakan pengguna (user) atau pemilik akun dari beberapa layanan berbasis teknologi itu.

Lantas, apa kesamaan mereka? Yang paling nyata, selain sama-sama merupakan aplikasi teknologi konsumer yang populer di seluruh dunia, dari segi entitas bisnis mereka juga perusahaan teknologi yang valuasinya relatif sudah besar, di atas US$ 1 miliar, alias merupakan unicorn dunia.

Namun, masih ada satu kesamaan yang mungkin belum diketahui banyak orang, khususnya mereka yang berada di luar komunitas Silicon Valley. Apa itu? Yakni: ada dari perusahaan-perusahaan teknologi itu yang didirikan, didanai, diberikan advis, ataupun dipimpin oleh mantan eksekutif atau karyawan awal dari perusahaan sistem pembayaran digital bernama PayPal. Orang-orang ini dikenal oleh komunitas Silicon Valley –juga kini oleh para pegiat bisnis digital di seluruh dunia– dengan nama “PayPal Mafia”.

Buat orang yang baru mendengarnya, sekilas seperti mengesankan kelompok gangster ataupun sebuah kelompok organized crime. Tapi, bagi mereka yang telah mengenal atau mengetahui kiprah dan sepak terjang mantan orang-orang PayPal ini (terutama komunitas di Silicon Valley), sebutan tersebut justru disandangkan dengan rasa kagum dan sikap hormat buat mereka. Tak lain, karena orang-orang yang dulunya terhimpun di perusahaan sistem pembayaran digital itu kini dikenal sebagai orang-orang sukses di bisnis berbasis teknologi.

Mantan orang-orang PayPal ini –pendiri, eksekutif dan karyawan-karyawan awal itu—bertebaran setelah keluar dari perusahaan tersebut tak lama setelah PayPal diakuisisi oleh eBay pada 2002 dengan nilai pembelian US$ 1,5 miliar.

Peter A. Thiel, Co Founder & Former CEO PayPal, “Alumni PayPal Masuk ke Manan dalam Berbagai Perusahaan Bernilai Miliaran Dolar.” (foto: https://images.axios.com

Menurut Peter Thiel, salah satu dedengkot “mafia” ini dan mantan CEO PayPal, yang bisa dimasukkan dalam kelompok ini sekitar 220 orang. Ia menegaskan bahwa PayPal Mafia ini tidak termasuk sekitar 700 karyawan customer service PayPal yang kala itu dijalankan di Omaha, Nebraska, AS.

Anggota “gerombolan” ini lalu menyebar dan berkembang menjadi pemain-pemain besar di bisnis yang berbasis teknologi –tidak hanya terbatas pada teknologi konsumer berupa aplikasi, tetapi juga teknologi mobil listrik dan roket– baik sebagai pendiri perusahaan startup baru ataupun sebagai pemilik atau pengelola venture capital (VC). Dan, kesuksesan mereka bisa dibilang fenomenal.

Sekadar menyebut contoh, YouTube yang Anda kenal itu –dan kini sudah jadi milik Google—didirikan oleh tiga alumni PayPal: Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim. LinkedIn yang dimanfaatkan banyak profesional dan eksekutif perusahaan dibangun oleh Reid Hoffman, juga alumni PayPal. Mobil listrik Tesla yang premium dan futuristik itu –yang kabarnya sudah dimiliki sebagian orang kaya Indonesia– dibuat oleh pabrikan yang didirikan oleh Elon Musk, pemegang saham terbesar PayPal sebelum diambil eBay. Musk juga mendirikan perusahaan roket SpaceX, yang belum lama ini mengorbitkan satelit PT Telkom. Lalu, di luar nama-nama ini –dan juga beberapa nama yang sudah disebut di bagian awal artikel ini—masih ada banyak sekali perusahaan startup/produk teknologi terkemuka di dunia yang tak lepas dari sentuhan tangan ataupun pendanaan anggota “mafia” ini, misalnya Pinterest, Square, Lyft, Evernote, Palantir, Yammer, Quora, juga Facebook.

Elon Musk, Co-Founder PayPal, yang juga pemilik terbesar Tesla Motors, Spacex, Solarcity, dan juga produser flm. (foto: https://www.incimages.com)

Sekilas kisah, pada akhir 1998, trio Peter Thiel, Max Levchin, dan Luke Nosek mendirikan Confinity, cikal bakal PayPal, dengan mengembangkan konsep digital wallet. Tadinya, fokus untuk digunakan pada PalmPilot dan PDA (yang kala itu memang amat populer). Namun, seorang karyawan berhasil mengembangkan layanan transfer uang lewat e-mail, yang kemudian layanannya diberi nama PayPal. Selanjutnya, PayPal yang sudah masuk dalam platform eBay merger dengan layanan internet bank bernama X.com yang didirikan Elon Musk (yang kemudian menjadi pemegang saham terbesar di PayPal saat itu). Pada musim panas 2001, disepakati nama perusahaan ini menjadi PayPal Inc.

Fast Company (2016) menyebutkan, meskipun kiprah PayPal Mafia ini fenomenal, bukan hal mudah mengetahui sejauh mana tentakelnya merambah di bisnis berbasis teknologi ini. Namun, dengan menggunakan visualisasi data dari Fleximize, bisa membantu melihat koneksi jaringan di antara alumni PayPal ini. Kesimpulan besarnya, bahwa alumni PayPal masuk ke mana-mana dalam berbagai perusahaan bernilai miliaran dollar –yang dikenal sebagai unicorn— dan banyak di antaranya yang saling terhubung. Sebagai contoh, Peter Thiel, Co-founder dan mantan CEO PayPal, punya jejak ataupun kepemilikan di Airbnb, SpaceX, dan Facebook. Elon Musk, selain merupakan pemilik terbesar Tesla Motors, SpaceX, dan SolarCity, juga merupakan produser film. Ia sudah menghasilkan film berjudul Thank You for Smoking – yang juga ikut diproduseri oleh Peter Thiel, seorang senior dari PayPal Mafia.

Sayangnya, belum ada data seberapa besar kepemilikan total dari para alumni PayPal — kalau dijumlahkan– di berbagai perusahaan teknologi tersebut. Penjelasan berikut mungkin bisa memberikan gambaran besaran nilainya. Ketika ditanyakan hal seperti ini pada akhir 2007, dua dedengkot “mafia” ini, Peter Thiel dan Max Levchin, menyebutkan bahwa dari lusinan perusahaan yang mereka miliki, total nilai perusahaannya secara kasar sekitar US$ 30 miliar. Bisa dimengerti, karena saham yang diperoleh Thiel di masa awal Facebook senilai US$ 500 ribu itu, pada 2007 sudah bernilai sekitar US$ 1 miliar. Jadi, bisa diperkirakan nilai total kepemilikan orang-orang kelompok PayPal ini sudah berkali-kali lipat dari nilai US$ 30 miliar tadi.

Co-Founder PayPal & Former CTO Paypal. (foto https://cms.qz.com)

Perbandingan berikut, sebagaimana diungkap TechRepublic.com (pada 2014) juga bisa memberikan gambaran betapa suksesnya PayPal Mafia. Dari hanya 220 orang itu, pada 2014 tercatat telah lahir tujuh unicorn, berturut-turut dari yang nilainya terbesar, yakni Tesla Motors, LinkedIn, Palantir, SpaceX, Yelp, Youtube, dan Yammer. Bahkan, dari tujuh unicorn tersebut, empat di antaranya (yang teratas) memiliki valuasi ataupun kapitalisasi pasar mencapai US$ 20 miliar atau lebih (Tesla, yang sudah go public, pada 2014 market cap-nya di atas US$ 40 miliar). Adapun kelompok orang yang terkait dengan Google –yang kala itu 20.000-30.000 orang– melahirkan tak lebih dari tiga unicorn, dan tak ada satu pun yang valuasinya melebihi US$ 10 miliar. Dengan demikian, dalam perhitungan TechRepublic.com, tingkat sukses rata-rata jaringan alumni PayPal untuk menciptakan perusahaan miliaran dolar sebesar 350 kali dibandingkan jaringan Google.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, apa yang menyebabkan orang-orang PayPal Mafia bisa sesukses ini? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu diungkapkan bahwa tak lama setelah akuisisi eBay itu, terjadi eksodus massal yang dilakukan orang-orang yang sekarang dikenal bagian dariPayPalMafia ini. Alasan besarnya karena ketidakcocokan mereka dengan budaya birokrasi eBay, yang pada tahun 2000-an itu sudah dikenal sebagai raksasa di bidang e-auction (lelang online). Budaya orang-orang PayPal sendiri sebelum diakuisisi eBay, yang memang terdiri dari banyak anak muda kreatif, boleh dibilang budaya yang antibirokrasi dan anti-pikiran-mainstream.

Bila tak cocok, lalu mengapa waktu itu PayPal dijual ke eBay? Menurut penjelasan Peter Thiel, ini semacam keterpaksaan. Pasalnya, pada waktu itu, volume transaksi terbesar PayPal (sekitar dua pertiga), berasal dari platform eBay. Karenanya, posisi PayPal kala itu memang rentan. “Pada dasarnya, kami seperti ditendang dari negeri kami, dan mereka (orang-orang eBay) membakar puri-puri kami. Jadi, kami terpencar ke empat penjuru dunia,” kata David Sacks, mantan CEO PayPal dan pendiri Yammer, mengibaratkan. Menurut para pentolan PayPal Mafia, eBay waktu itu terbukti hanya menyukai produknya (yakni PayPal) tetapi tidak suka pada orang-orangnya.

Kembali pada pertanyaan mengapa mereka bisa sukses setelah eksodus dari PayPal, jawabannya mungkin banyak faktornya. Tampaknya memang belum ada analisis mendalam dan ilmiah (misalnya, berbasis riset) dan juga kepustakaan hingga saat ini yang telah mengungkapnya. Namun, penulis berupaya merumuskannya secara simpel dengan menelusuri bagian-bagian penting dari cerita bagaimana kultur di PayPal (era sebelum diakuisisi) membentuk karakter dan kapabilitas orang-orang ini –sebagaimana diuraikan berikut ini.

Faktor pertama yang bisa disebutkan sebagai kunci keberhasilan PayPal Mafia, bahwa pada dasarnya mereka adalah sekumpulan orang-orang kreatif dan punya spirit entrepreneurial yang tinggi. Mereka telah terbukti membangun produk yang berhasil. Ketika mereka “dipaksa” menyingkir dari sesuatu yang mereka bangun, apa yang akan mereka lakukan? Pastilah, membangun sesuatu yang lain.

Menurut Peter Thiel, ini soal motivasi, yakni menciptakan atau membangun sesuatu. “Selalu ada perasaan bahwa jika kamu tidak melakukannya, tidak akan ada orang lain yang melakukannya. Jika tak ada yang mengerjakannya, hal seperti ini tak akan terbangun. Itulah sesungguhnya visi orisinal PayPal,” ujar Thiel.

Faktor kedua, mereka punya kompetensi dan pengalaman dalam membangun dan membesarkan usaha startup. Ketika masih mengelola dan mengembangkan PayPal, terutama di masa-masa awal, mereka menghadapi masalah-masalah yang tidak bisa dibilang mudah. Maklum, ketika itu, layanan pembayaran online ini merupakan perintis di bidangnya dan masih relatif baru. Otomatis mereka harus kerja keras meningkatkan adopsi konsumen. Proses di sisi customer service-nya pun cukup merepotkan dan butuh karyawan banyak. Dan, karena layanan baru, mereka harus bisa menyesuaikan produk dan fitur-fiturnya dengan regulasi yang berlaku.

Itu masalah-masalah yang “normal”. Sebab, ternyata mereka masih menghadapi kerasnya dunia bisnis keuangan. Terutama sekali masalah fraud (kecurangan atau penipuan). Sebagai misal, sistem pembayaran mereka menghadapi serangan dari para hacker canggih dari Rusia. Di luar itu, mereka juga menghadapi ancaman “dihajar” dan diambil alih oleh raksasa-raksasa pembayaran seperti Visa dan Mastercard. Dan, dalam beberapa hal mereka juga berkompetisi dengan eBay — yang akhirnya memang merenggut PayPal dari para pendiri dan profesional loyalisnya.

Masalah-masalah itu memberikan tekanan kepada tim PayPal. Namun, mereka justru menyikapi tekanan masalah ini untuk meningkatkan kompetensi dan kapabilitas tim. “Bisa dikatakan, kami melihat semua masalah besar yang harus dihadapi oleh sebuah startup. Masalah-masalah itu tak mudah dipecahkan, tetapi kami berupaya mencari jalan keluarnya,” ungkap Thiel. “Karena itulah, orang-orang kami punya pengalaman menghadapi semua jenis masalah yang dihadapi oleh sebuah startup,” kata pria yang juga ahli di bidang ilmu hukum (dengan gelar J.D. dari Stanford) ini.

PayPal juga merupakan perusahaan yang pertama menggunakan strategi iteratif dalam pengembangan produk. Dengan cara iteratif, fitur-fitur langsung dirilis begitu selesai dikembangkan, tidak perlu menunggu siklus produk tertentu. Kalau tidak berjalan, langsung didesain ulang dan dikembangkan ulang. Sementara itu, dari segi gagasan, mereka menyebutkan adanya “budaya konfrontasional”, di mana gagasan-gagasan baru dibiarkan berkembang melalui sejumlah perdebatan seru.

Lingkungan dan budaya kerja PayPal memang menghadirkan pendekatan baru bagi Silicon Valley. Bagi yang mengenal sejarah lembah teknologi ini –yang sebelumnya lebih diwarnai kiprah perusahaan hardware dan pengembang software korporat– tim energik dan dinamis dari PayPal memang telah membawa budaya dan pendekatan baru. Budaya dan pendekatan baru inilah yang kini dikenal orang sebagai budayanya Silicon Valley, khususnya di dunia bisnis startup.

Faktor keempat, para alumni PayPal bisa sukses di dunia startup lantaran mereka termasuk orang-orang yang lebih berpengalaman dan mengenal bidang ini lebih awal dibandingkan yang lain, terutama di bidang consumer technology. Perlu diingat, PayPal termasuk segelintir startup yang bisa bertahan dari era dotcom bubble.

Di tahun awal 2000-an itu, ketika gelembung dotcom pecah, hampir tak ada orang di Silicon Valley yang percaya dengan masa depan teknologi konsumer. Tak ada investor ataupun VC yang mau menuliskan cek untuk startup yang berbau teknologi konsumer. Namun, orang-orang PayPal Mafia.

Riset : Elsi Anismar (dari berbagai sumber)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved