Indonesia Best CFO zkumparan

ANS Kosasih , CFO WIKA : Membereskan Masalah Cash Flow dan Cost of Financing

ANS Kosasih , CFO WIKA : Membereskan Masalah Cash Flow dan Cost of Financing
ANS Kosasih , CFO WIKA
Steve Kosasih, CFO WIKA

Peran CFO sangat strategis dalam perusahaan. Bagaimana Steve Kosasih membenahi kinerja keuangan Wijaya Karya?

Betapa strategisnya peran seorang CFO dalam perusahaan bisa dilihat dari kiprah Antonius N. Steve Kosasih. “Biasanya saya masuk ke perusahaan yang bermasalah untuk kemudian saya restrukturisasi hingga menjadi bagus,” kata eksekutif yang meraih predikat Best CFO peringkat I kali ini.

Steve, begitu ia biasa disapa, adalah eksekutif yang sarat pengalaman. Menurut pengakuannya, dalam 12 tahun terakhir ia terlibat dalam aneka kebijakan strategic financial engineering, business turnaround, dan business development di sejumlah perusahaan. Di antara sepak terjangnya, ia pernah berperan penting membenahi kinerja PT Inhutani (Persero) dengan posisi sebagai CFO. Steve juga pernah dipercaya sebagai Presdir/CEO perusahaan transportasi paling penting di Ibukota, PT Transportasi Jakarta (TransJakarta), pada 2014-16. Dan, sejak awal 2016, ia dipercaya sebagai Direktur Keuangan/CFO PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. (WIKA).

Menurut Steve, berbeda dengan sejumlah perusahaan yang dimasuki sebelumnya, WIKA dinilainya sebagai perusahaan yang sebenarnya bisa dikategorikan sudah baik. “Saya masuk ke dalam perusahaan yang sudah bagus di sektor konstruksi, dan sudah terdiversifikasi, sehingga tidak berat pada satu industri,” kata lelaki kelahiran 1970 ini. “Jadi, prinsip tidak menempatkan semua telur dalam satu keranjang ini sudah dipenuhi oleh WIKA,” ia menambahkan.

Steve menjelaskan bahwa pilar utama bisnis WIKA masih di segmen infrastruktur dan bangunan yang menyumbangkan 64,77% terhadap pendapatan grup. Segmen lainnya sebagai pendukung segmen infrastruktur dan bangunan adalah fabrikasi baja, produksi pre-cast concrete, produksi aspal, dan industri konstruksi. Di segmen realty & property, WIKA mengembangkan perumahan landed house, apartemen (high rise), industrial estate, dan Transit Oriented Development (TOD). Masa depan bisnis WIKA, menurutnya juga, ada pada segmen energi dan industrial plant, yang kini berkontribusi 14,05% terhadap grup. Menariknya, WIKA pun punya unit bisnis investasi. “Sebelumnya, kami hanya membangun sebagai kontraktor dengan margin tipis, sementara project owner menikmati keuntungan yang besar dari yang kami kerjakan. Dengan ikut berinvestasi, margin kami bisa puluhan persen,” ungkapnya.

“Ketika saya masuk, saya menemukan perusahaan menghadapi masalah cash flow yang berat,”

Proyek-proyek WIKA, kata Steve, sudah dibatasi oleh menteri pembina: tidak boleh nilainya di bawah Rp 50 miliar. Namun, pihak internal WIKA sendiri sudah memberi batasan tidak akan mengikuti proyek dengan nilai di bawah Rp 150 miliar. Sebagai contoh, WIKA menangani proyek LRT senilai Rp 5 triliun, proyek MRT Underground Section dengan nilai Rp 2,4 triliun, dan proyek tol Balikpapan-Samarinda dengan nilai Rp 6 triliun. Salah satu proyek terbaru WIKA adalah proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang akan melayani jalur Jakarta-Bandung. Proyek ini merupakan garapan bersama konsorsium BUMN yang bernama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (dipimpin WIKA) dengan konsorsium perusahaan China (dipimpin oleh China Railway Corporation).

Meskipun bisnis WIKA dinilai Steve sudah terdiversifikasi, ia mengakui ada sejumlah tantangan finansial yang dihadapinya sebagai seorang CFO. “Ketika saya masuk, saya menemukan perusahaan menghadapi masalah cash flow yang berat,” katanya. Penyebabnya, ada job owner (pemilik atau pengorder pekerjaan proyek) yang mengganti sistem pembayaran proyek bulanan menjadi turn-key basis (dibayar ketika proyek selesai).

Pembayaran dengan skema turn-key basis ini, dijelaskan Steve, biasanya untuk proyek infrastruktur nasional strategis yang tidak ada anggarannya. Yang menyulitkan, selama ini hampir 100% pembiayaan proyek WIKA menggunakan pinjaman berjangka pendek, sedangkan proyek-proyeknya berjangka panjang. “Ini yang membuat kami ‘kalah cash flow’,” ujarnya.

Selain itu, juga ada beberapa job owner yang beralih dari menyediakan pola down payment (DP) menjadi zero down payment. Pola ini disebut Matching Deposit Guarantee Scheme. Jadi, pihak job owner menyediakan DP, tetapi dananya ditempatkan kembali pada mereka sebagai jaminan. “Ini kan sama saja kami tidak mendapatkan DP,” ujarnya.

Di beberapa proyek, WIKA juga mengalami kerugian nilai tukar (exchange rate losses). Misalnya, pada proyek dari Pertamina yang membutuhkan bahan baku impor tetapi pembayaran proyeknya dengan rupiah.

Selain masalah tersebut, WIKA juga menghadapi tantangan high cost dalam pembiayaan proyeknya. Terutama, karena tingginya bunga pinjaman dari bank. Hingga 2018, untuk membayar bunga bank saja sudah mencapai Rp 919 miliar.

Karena itulah, kata Steve, WIKA membutuhkan skema pembiayaan yang lebih baik dan kapasitas pembiayaan yang lebih kuat. WIKA juga perlu posisi tawar yang lebih kuat yang dapat mendiktekan margin yang lebih baik dan memperoleh suku bunga pinjaman yang lebih murah.Beberapa solusi kemudian disodorkan Steve dan tim keuangannya. Untuk pembiayaan dari perbankan, sebelumnya hanya mengakses pembiayaan dari bank-bank BUMN, kemudian WIKA berupaya mencari pembiayaan dari bank-bank asing. Pilihan jatuh ke bank-bank dari Jepang dan Eropa, karena mereka mau memberikan bunga yang jauh lebih rendah. Alasannya, di negara mereka, bank-bank ini mengalami spread negatif.

Kemudian, karena bisa mendapatkan pendanaan dari bank-bank asing, WIKA bisa melakukan renegosiasi dengan bank-bank nasional, didukung dengan rating dari lembaga rating internasional Fitch Ratings. “Kami satu-satunya perusahaan nasional yang di-rating oleh Fitch Ratings, yang bisa dipakai untuk pinjam ke bank,” kata Steve bangga.

WIKA juga menjalankan strategi right issue yang inovatif untuk pembiayaan jangka panjang proyek-proyeknya. Dengan meluncurkan Global IDR Bonds, WIKA bisa mendapatkan pinjaman dari luar negeri tetapi dalam denominasi rupiah. “Jadi, kami tak terkena risiko nilai tukar mata uang asing,” katanya menegaskan. Dalam hal ini, WIKA mencocokkan periode proyek dengan periode pembiayaan.

Surat utang Global IDR Bonds –atau dikenal juga dengan nama Komodo Bonds– dari WIKA dengan total nilai US$ 405 juta (sekitar Rp 5,4 triliun) ini dijual melalui London Stock Exchange (LSE). Obligasi dengan kupon bunga 7,7% ini oversubscribed (kelebihan peminat), mencapai 250%.

Solusi pembiayaan inovatif lainnya yang dijalankan WIKA dalam hal supply chain financing. Di sini, WIKA tidak perlu membayar para pemasoknya. WIKA cukup mengakui invoice (surat tagihan) dari mereka, lalu mereka akan mengambil pembayarannya di bank yang ditunjuk. Di belakang hari, WIKA yang akan membayar ke pihak bank. “Cara seperti ini membuat kami tidak kalah dari sisi cash flow,” ujarnya.

WIKA juga mengembangkan proyek-proyek yang memungkinkan natural hedging. Maksudnya, mengembangkan bisnis di luar negeri, yang pendapatannya dalam dolar lebih tinggi daripada biaya dolarnya. Sejauh ini, WIKA sudah punya proyek di sejumlah negara Afrika, seperti Senegal, Rwanda, Mauritius, dan Aljazair. Di Senegal, misalnya, WIKA mengerjakan proyek infrastruktur senilai US$ 100 juta dan proyek kawasan wisata senilai US$ 250 juta. Untuk proyek di mancanegara ini, WIKA bekerjasama dengan Indonesia Eximbank dan sejumlah Eximbank negara lain.

Ada perbaikan setelah Steve masuk sebagai CFO WIKA di awal 2016. Di antaranya, terjadi pertumbuhan cash dan setara cash dari Rp 9,2 triliun pada 2016 menjadi Rp 11,2 triliun pada 2017. Pada 2017 juga terjadi pertumbuhan revenue menjadi Rp 26,17 dari sebelumnya Rp 15,6 triliun pada 2016. Hingga kuartal III, revenue yang sudah diraih WIKA sebesar Rp 31,3 triliun. Laba bersih (net income) juga tumbuh, yakni sebesar 4,7%, dari Rp 1,11 triliun pada 2016 menjadi Rp 1,23 triliun pada 2017. “Profitabilitas agak biasa karena kami banyak melakukan investasi,” Steve memberi alasan. Hingga kuartal ketiga, laba bersih tercatat Rp 1,37 triliun.

Steve optimistis pada 2018 kinerja WIKA lebih baik lagi. Indikatornya antara lain margin gross profit WIKA stabil di kisaran 11%, padahal umumnya pemain bidang kontraktor lainnya hanya 3-4%. Ia juga memperkirakan revenue akan meningkat tahun ini (dibandingkan tahun lalu) menjadi Rp 39 triliun dan laba bersih menjadi Rp 2,3 triliun. “Kami optimistis angka itu bisa tercapai, karena kontraknya sudah masuk semua,” katanya meyakinkan. Tercatat hingga akhir 2018 kontrak yang masuk order book sebesar Rp 136,2 triliun. Hal yang menggembirakan Steve juga, setiap tahun, satu atau dua anak usaha WIKA akan melakukan IPO. “Jadi, mereka juga bisa self-financing,” ujarnya.

Roy Sembel, Guru Besar Ilmu Ekonomi IPMI Business School, memuji langkah-langkah inovatif dan komprehensif yang dijalankan Steve. “Banyak kontribusinya pada WIKA untuk mengatasi masalah cash flow yang berat dan untuk memperkuat posisi perusahaan, dengan berbagai macam skema pembiayaan yang lebih baik,” kata salah seorang juri Best CFO yang merupakan ahli keuangan ini. (*)

Joko Sugiarsono & Jeihan Kahfi Barlian


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved