Indonesia Best CFO

Dina Middin, Mendorong Kinerja Bank Melalui Analisis dan Tantangan

Dina Middin, Chief Financial Officer (CFO) Standard Chartered Indonesia.
Dina Middin, Chief Financial Officer (CFO) Standard Chartered Indonesia.

Secara umum, ada tiga hal utama yang menjadi tantangan bagi industri perbankan saat ini. Yaitu, mengembangkan neraca yang lebih solid; mengembangkan bisnis yang berkesinambungan dan resilient di tengah ketidakpastian, persaingan, dan likuiditas yang cukup di pasar; serta menghadapi pandemi Covid-19.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, ada tiga solusi yang dijalankan Bank Standard Chartered. Pertama, mempertajam strategi jangka panjang untuk menyesuaikan dengan potensi pasar dan arahan strategi grup. “Baru-baru ini, Standard Chartered memperbarui strategi lima tahunnya untuk memperbarui apa yang dicapai serta merespons kondisi di pasar dan di grup,” kata Dina Middin, Chief Financial Officer (CFO) Standard Chartered Indonesia.

Kedua, menerapkan balance sheet management yang lebih efektif. Ketiga, mengembangkan cara kerja yang agile dan nimble sehingga ketika ada sesuatu yang baru, bank ini bisa cepat merespons. “Peran CFO adalah memberikan saran dan wawasan strategis bagi tim bisnis, membantu menentukan target yang aspirasional namun realistis, mendorong kinerja bank melalui analisis dan challenges,” Dina menjelaskan.

Menurutnya, populasi orang dewasa di Indonesia sebanyak 181 juta jiwa, tapi hanya 23% yang terlayani dengan baik dalam hal kebutuhan layanan keuangan, sementara 26% underbanked. Hal ini membuat sekitar 51% atau 92 juta orang dewasa di Indonesia tidak memiliki rekening bank atau bahkan tanpa akses ke layanan keuangan dasar.

“Ini potensi untuk dijadikan segmen pasar baru. Kalau mau saingan dengan bank lain, membutuhkan waktu dan kapital yang besar. Oleh karena itu, Standard Chartered melakukan proposisi bisnis,” kata Dina.

Standard Chartered memiliki tiga hal yang penting dilakukan dalam 5-10 tahun ke depan. Salah satunya, lifting partisipation dengan mengedepankan financial inclusion. Yang dilakukan adalah melakukan partnership dalam bentuk digital. Misalnya, tidak ada lagi orang yang melakukan kredit dengan mengisi form. Semua dilakukan secara digital, biometrik, dll.

Standard Chartered menjalin kemitraan dengan perusahaan pembiayaan, antara lain Kredivo. Ini untuk mengatasi handicap (rintangan) yang dimiliki karena tidak bisa bersaing dengan bank lain. “Dengan cara ini, kami dapat menjangkau area yang luas,” ujar lulusan Akuntansi Universitas Atma Jaya ini.

Standard Chartered juga memiliki proposisi Banking as a Service (BaaS) melalui Nexus. Saat ini, banyak bank membuat bank digital. Standard Chartered menawarkan dapurnya sehingga bisa ditawarkan ke banyak entitas lain, misalnya e-commerce. Dengan begitu, bank ini align dengan perkembangan industri dan teknologi. Industri keuangan be-revolusi tetapi banking transaction masih ada, sehingga cara ini relevan.

“Kami melakukan kerjasama dengan tim strategi dari grup maupun eksternal untuk melakukan diskusi, riset pasar, financial modeling, sampai akhirnya tertuang dalam rencana bisnis,” kata mantan Senior Manager KPMG Indonesia (1999-2009) ini.

Misi strategis Standard Chartered lainnya adalah membantu negara-negara berkembang tempat bank ini berbisnis untuk mengurangi emisi karbon sesegera mungkin, tanpa memperlambat pembangunan, sehingga menempatkan dunia pada jalur berkelanjutan menuju “net zero” pada 2050. Standard Chartered juga bertujuan memelopori transisi menuju ekonomi berkelanjutan di Indonesia, selaras dengan rencana kerja program keuangan berkelanjutan yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Di Indonesia, juga masih banyak yang bergantung pada industri komoditas dan fosil fuel. Standard Chartered pun melakukan pendampingan agar bisa mencapai tujuan itu tanpa memperlambat pembangunan, misalnya dengan melakukan edukasi, advisory, dan pembiayaan berkelanjutan dalam berbagai bentuk transaksi.

Menurut Dina, sebelumnya, Standard Chartered memiliki komposisi pendanaan yang kurang ideal, yaitu pendanaan dari jaringan Standard Chartered mendominasi sumber pendanaan. Hal ini memberikan keunggulan dari segi ketersediaan funding dalam mata uang US$, tapi bank terpapar risiko fluktuasi nilai tukar dan kurang bersaing dalam hal pemberian kredit berdenominasi rupiah.

Pihaknya telah berupaya mengembangkan portofolio funding dalam mata uang rupiah. Seraya waktu berjalan, kualitas dan kuantitas dana pihak ketiga makin membaik dan meningkatkan kemampuan berkompetisi dalam pemberian kredit berdenominasi rupiah.

Selain itu, komposisi pendanaan juga senantiasa diperbaiki. CASA ratio secara berangsur menguat dan menembus 80% di 2020, mengindikasikan bahwa bank ini mengelola bisnis melalui pendanaan yang lebih ekonomis dan stabil

Menurut Dina, kita hidup dan bekerja di masa istimewa, yaitu masa ketika kemampuan untuk melakukan perubahan secara cepat, inovasi, dan transformasi menjadi semakin penting dan relevan. Standard Chartered pun menyadari kebutuhan untuk melakukan transformasi lebih lanjut dan cepat dalam cara bekerja dan berpikir.

Sebagai contoh, pekerjaan finance identik dengan kolaborasi dan jam kerja yang panjang di kantor. “Selama pandemi Covid-19, saya harus memimpin tim finance Standard Chartered di Indonesia, Australia, Brunei, dan Filipina secara remote,” ungkap wanita yang juga menjabat sebagai Cluster CFO Indonesia & ASEAN Markets (Australia, Brunei, Filipina) ini.

Berbagai tantangan seperti gangguan infrastruktur serta dinamika tim yang berbeda di tiap-tiap negara berhasil dilalui guna terus memberikan hasil terbaik kepada stakeholders. Mulai dari proses budgeting hingga penyampaian berbagai laporan untuk pihak regulator, seperti rencana bisnis bank ini.

Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, tim finance menerapkan jam kerja tim yang lebih fleksibel, penyederhanaan proses, dan otomasi untuk sejumlah laporan berkala. Ke depannya, cara kerja dan berpikir ini akan selalu diterapkan, bukan hanya sebagai solusi taktis selama pandemi

Dina menjelaskan, pengelolaan permodalan bank dengan prinsip kehati-hatian menghasilkan permodalan yang kokoh. Ini sejalan dengan terus pesatnya perkembangan bank ini: per kuartal II/2022 capital adequacy ratio (CAR)-nya mencapai 23,67%.

Kemudian, selama pandemi, net interest margin (NIM) terus tergerus. Melalui berbagai upaya terarah dan terstruktur, bank ini berupaya memperbaiki NIM. Pada kuartal II/2022, NIM meningkat 50 bps dari Desember 2021. Kualitas aset juga terus diperbaiki melalui portfolio rebalancing secara proaktif. Non performing loan/NPL (net basis) selalu dijaga di bawah 1% sejak 2020. Bahkan, tetap stabil selama pandemi.

Dari sisi pencapaian laba, kombinasi perbaikan kinerja pendapatan dan kualitas kredit ditunjang oleh berbagai inisiatif untuk menghemat biaya. Sebagai hasilnya, pada kuartal II/2022, laba sebelum pajak bank ini tumbuh signifikan sebesar 57% secara YoY di tengah ketatnya persaingan dalam mengembalikan kinerja setelah puncak pandemi. (*)

Anastasia AS dan Dede Suryadi

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved