Leaders zkumparan

Pelajaran dari Pak Dhamek

Pelajaran dari Pak Dhamek

Pernah mengalami cobaan hidup yang tidak ringan, Sudhamek yang sukses membesarkan kerajaan bisnis Garudafood, punya sejumlah petuah yang bisa diterapkan baik dalam menjalankan bisnis maupun dalam kehidupan sehari-hari. Terkait dengan ancaman disrupsi, misalnya, Chairman Garudafood ini mengatakan: “Gangguan itu sifatnya hanya akan sementara selama kita memiliki inovasi dan improvement yang berkelanjutan,” tutur kelahiran 20 Maret 1956 yang akrab dipanggil Pak Dhamek ini. Berdasarkan pengalaman membesarkan Garudafood, berikut nasihat Pak Dhamek bagaimana seharusnya kalangan bisnis menghadapi pasang-surutnya bisnis.

Contoh yang dialami anak saya 7 tahun lalu ketika mendirikan DAW Group. Dia itu stres luar biasa. Sudah saya dampingi, saya modali, saya kenalkan ke jaringan. Coba ini gagal, itu gagal, ada yang ditipu. Bisnis baru menetas setelah 7 tahun. Kakinya sampai korengan saking stresnya, digaruk tanpa sadar. Saya semangati terus. Tabah. Walau usianya baru 34 tahun, dia sudah mengalami masa-masa sulit. Bandingkan dengan adiknya yang usianya beda 5 tahun, endurance-nya dalam menghadapi tempaan lebih kuat dari kakaknya. Adiknya, walau biasa saja, rejeki datang. Ini malah ancaman, harus hati-hati.

Saya mencapai kondisi yang sekarang ini setelah mengalami benturan-benturan luar biasa. Paling berat saat anak kedua saya (Sudhamek memiliki 3 anak, tapi yang nomor dua meninggal – Red) dalam usia 23 bulan meninggal karena leukemia. Selama 19 bulan di rumah sakit, 4 bulan keluar masuk rumah sakit. Saya habis, bangkrut. Saya waktu itu masih kerja di perusahaan lain, gajinya hanya bisa untuk membayar biaya rumah sakit 1,5 hari.

Di saat yang sama, di kantor saya dimarahi tanpa tahu kesalahannya apa. Perusahaan waktu itu akan go public, saya di Trias Sentosa. Tubuh saya di Jakarta, tapi pikiran saya ada di Kediri karena anak saya yang besar di sana bersama pembantu, juga pikiran saya ada di Singapura karena adiknya bersama ibunya di sana. Anak pertama saya di Kediri karena hanya dengan pembantu, jadi nakal luar biasa. Kasur dibakar, pembantu diusir, teman dipukul. Dia mencari perhatian karena jauh dari orang tua.

Setelah Gudang Garang go public, saya mengalami puncak kelelahan fisik dan mental. Saat itu saya antre di depan loket mau balik ke Surabaya, saya pingsan. Waktu saya pindah ke Jakarta, orang waktu itu mungkin berpikir, saya posisinya Wakil Presidir Tria Sentosa, punya segala materi. Padahal saya hanya punya mobil Honda Civic. Saya bersyukur tidak jadi menjual emas kawin. Saya merespon masa sulit itu dengan positif. Inilah turning point buat saya. Saya mulai menyadari banyak hal yang harus berubah. Sudhamek yang Anda kenal sekarang berbeda sekali dengan Sudhamek yang dulu.

Karena perjalanan hidup saya yang seperti itu, saya tidak bicara bahwa saya orang yang bijaksana. Tapi karena palu godam-palu godam yang saya alami sepanjang perjalanan hidup, membuat saya semakin bijaksana.

Momen di Garudafood pun ada yang menjadi AHA moment yang meningkatkan kebijaksanaan saya. Pada 2002 Garudafood mengalami penjualan yang menurun. Sejak Garudafood saya pegang, penjualannya meroket. Sampai saya berfikir bisnis kok gampang sekali. Ekspansi saya lakukan pada 2001, kapasitas terpasang siap di 2002, tapi justru penjualan menurun. Saya akhirnya banyak melakukan manuver, profit tercapai sedikit sekali, hampir break event.

Lalu meroket lagi, tak lama melandai lagi. Saya mencoba menggunakan jalur inorganik growth. Ternyata tidak sesimpel yang dibayangkan, sebelumnya saya biasa tumbuhkan bisnis dengan organik growth.Inorganik growth pengetahuan saya masih rendah, ini menguras biaya sampai ratusan miliar rupiah. Orang memang masih melihat saya berhasil, karena bisnisnya besar.

Makanya saya kemudian mengajarkan ke anak saya berdasarkan pengalaman yang saya alami tersebut. Terutama soal karyawan, bahwa karyawan itu bukan mesin. Investasi di karyawan itu harus hati-hati, karena menciptakan fixed cost. Karyawan tidak seperti mesin, yang kalau tidak dipakai bisa masuk gudang. Dulu saya menganut pemahaman: demand lead capacity strategy. Jadi ketika demand masih 100, kapasitas sudah saya siapkan 150. Orangnya pun demikian. Pada saat turun, akibatnya cost-nya besar. Wisdom ini saya ajarkan ke anak saya dalam mengelola bisnis.

Pernah anak saya akan mengambil pabrik di Jambi, pabrik sawit, saya kasih tahu bahwa ketika saya melakukan langkah inorganik growth biayanya sampai Rp 440 miliar. Kamu masih organisasi baru, kamu pastikan prosesnya benar dan baik. Beruntung anak saya ini menurut. Ketika saya kasih tahu seperti itu, dia lakukan itu dengan khitmad sekali. Again system improve performance, saya sudah set up sistem akusisi seperti apa. Pengalaman dan wisdom ini saya dapatkan kala mengalami kegagalan di Garudafood. Jadi DAW mendapatkan manfaat dari pengalaman di Garudafood.

Bisnis itu ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Maka itu ketika di atas, jangan lupa diri menjadi over confidence. Kalau di bawah jangan terpuruk, karena bagian dari proses tadi. Never give up. Jangan pernah lelah membangun sistem. People itu menjadi hal terpenting. Tips saya ini soal manajemen. Bisa diimplementasikan saat sekarang juga. Bukan hanya untuk bisnis saja. Bahkan di BPIP dan organisasi keagamaan di mana saya aktif saya terapkan.

Kondisi ekonomi berat saat ini bagaimana? Menurut saya bisnis itu tidak pernah lepas dari falsafah: tahun pangeran dan tahun pengemis. Tahun pangeran, justru saatnya kita membangun pondasi kuat dan sistem juga. Sehingga saat ‘when winter is coming’ seperti Pak Jokowi sampaikan, we are ready. Jadi saat tahun pengemis, kita masih bisa lakukan semua itu, kita masih lincah di saat sulit. Kita bisa lakukan cost inovation, ini bisa terjadi jika sistem sudah terbentuk. Tidak bisa serta merta mengambil langkah penghebatan besar-besaran kala sulit.

Semua butuh persiapan. Sukses yang berkelanjutan, tidak ada yang bisa diperoleh dari dadakan. Semua dari proses. Proses yang bertumbuh. Bertahan itu lebih sulit. Merebut itu lebih mudah. Karena musuh kita itu diri sendiri. Makanya budaya kompetitif itu penting. Dalam peperangan itu 60% kemenangan sudah di tangan jika budaya kompetitifnya dibangun baik. Maka itu dalam kondisi sekarang ada perusahaan yang tumbuh dobel digit, ada yang negatif, di industri sama.

Mencari keuntungan dengan melakukan kebaikan bisa dilakukan bersamaan. Ini wisdom saya yang saya terapkan di Garudafood dalam proses spiritual based company (SBC). Jadi kalau kita sekadar mengejar keuntungan saja, tidak akan sustain. Jika diuraikan akan panjang. Proses SBC itu berkelanjutan: peaceful and dynamic. Ini proses yang tidak selesai.

Disrupsi saat ini mengganggu di satu titik saja. Apakah disrupsi ini proses yang terus menerus, bukan pekerjaan mudah. Seperti saya bilang, merebut itu lebih mudah daripada mempertahankan. Disrupsi itu hanya bisa dihasilkan sekali dalam kurun waktu sekian lama. Yang bisa kita lakukan adalah melakukan inovasi atau improvement yang berkelanjutan. Kalau kita punya inovasi dan improvement yang berkelanjutan, saya yakin hanya akan terganggu sebenar, tapi tidak akan jatuh.

Sama halnya badan kalau tidak pernah olah raga, akan kaku-kaku kalau tiba-tiba harus bergerak. Tapi inovasi itu dalam satu waktu bisa flat. Mempertahankan inovasi secara terus menerus itu memang tidak mudah. Walau kami di Garudafood punya tagline: Leading in Inovations. Ini diakui kompetitor, Unilever pun pernah studi banding ke Garudafood. Secara fair mereka mengakui Garudafood adalah perusahaan yang inovatif. Tapi sejujurnya dari sekian inovasi tidak semuanya berhasil. Dari ratusan inovasi hanya 5% yang berhasil. Walau demikian, Leading in Inovations menjadi Mantra bagi kami. Ini terus kami tiupkan.***

Editor: Sujatmaka


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved