Leaders zkumparan

Purnomo Prawiro: Kalau Ada Gelombang Jangan Ditahan, Ikuti Gelombang Itu

Purnomo Prawiro: Kalau Ada Gelombang Jangan Ditahan, Ikuti Gelombang Itu
Purnomo Prawiro, Presiden Direktur PT Blue Bird Tbk. Dengan filosofi “mengikuti gelombang” perlahan tapi pasti perusahaan ini berhasil menemukan kembali irama bisnisnya dan mulai siap-siap tancap gas kembali.

Purnomo Prawiro, Presdir PT Blue Bird Tbk, mempunyai wisdom “Jangan menahan gelombang” ketika sedang diterjang krisis, tetapi “ikutilah gelombang itu”. Strategi itu dia terapkan saat menghadapi gelombang krisis ekonomi 1997/1998, yaitu dengan memanfaatkan momentum krisis untuk sebaik-baiknya meningkatkan kualitas layanan. “Jadi ketika bisnis naik lagi, kemampuan kami terutama dalam hal layanan jauh lebih baik,” kisahnya. Dan terbukti, setelah itu bisnis Blue Bird terus melaju kencang.

Kini, ketika dunia bisnis dilanda era VUCA dan disrupsi, Blue Bird termasuk salah satu perusahaan yang terkena serangan sengit terutama dengan hadirnya bisnis taksi online. Toh dengan filosofi “mengikuti gelombang” perlahan tapi pasti perusahaan ini berhasil menemukan kembali irama bisnisnya dan mulai siap-siap tancap gas kembali.

Selain dengan filosofi tersebut, Purnomo juga memandang bahwa dalam menghadapi krisis, people adalah nomor satu. Karena itu dalam situasi apapun dia tetap menjaga hubungan kekeluargaan dan kebersamaan dengan 40 ribu lebih pengemudi yang benaung di Blue Bird. Seperti apakah strategi pebisnis senior ini dalam mengarungi pasang-surutnya bisnis, berikut kutipan wawancara Purnomo dengan SWA.

Menurut Bapak, bagaimana kondisi bisnis dalam 1-2 tahun terakhir?

Saya punya pemikiran, hidup tidak selamanya mudah. Kalau mudah, justru tidak exciting lagi. Setiap orang yang hidup di dunia, sejak bayi, pernah mengalami jatuh. Bahwa ada tantangan, kerikil pasti terjadi. Ini harus disadari. Bagaimana menghadapinya? Ada tiga pilihan meresponnya: kita berhenti hidup, mengasihani diri sendiri, atau coba atasi.

Saya pilih mencoba mengatasi. Dengan begitu kita menambah pengalaman, tambah dewasa. Kita berpengalaman untuk mengatasi. Dunia bisnis riil dan pendidikan tinggi beda. Di perguruan tinggi, semua data tersedia. Di bisnis riil itu data harus dicari. Kalau milih menjadi pebisnis, ada risiko sendiri.

Dalam memetakan masalah, lalu mencari jalan solusinya, saya pikir setiap orang berbeda satu dengan lain, tergantung lingkungannya. Makanya saya sampaikan ke MT (managemen trainee) atau milenials yang baru masuk, biasanya kami tidak fokus pada IPK-nya. IPK 4 dari skala 5, belum tentu dia bisa jadi manajer yang bagus. Bisa saja IPK 2,5 bisa menjadi manajer yang bagus.

Jadi saya pikir dalam melihat talenta yang akan membantu kita mengatasi masalah-masalah bisnis harus seimbang. Bukan hanya nilai sekolah saja. Jadi biasanya yang kami lihat bisa cepat menjadi manajer, pertama memang pendidikan tapi dia juga harus punya pergaulan yang luas dan aktif berorganisasi. Kelebihannya mereka ini bisa mangelola orang, bisa menghadapi tantangan, dan terbiasa melatih dirinya menghadapi dunia bukan saja pendidikan tapi kenyataan berhubungan dengan banyak orang.

Bagaimana Bapak memandang pentingnya people dalam perusahaan?

Di Blue Bird itu ada 40 ribu orang lebih pengemudi. Jadi berbeda dengan orang yang bekerja di pabrik, yang dihadapi mesin. Di perusahaan ini lebih banyak menghadapi orang. Mesin rusak bisa diperbaiki. Kalau mengelola orang itu lain, lebih unik, apalagi puluhan ribu orang yang dikelola. Kami fokus di gaya kekeluargaan.

Supir bertemu dengan supervisor. Para supervisor harus dipilih orang yang memiliki komunikasi baik. Kita juga ada di negara yang kuat adat ketimuran. Dengan perusahaan yang mengelola mayoritas orang, cara berkomunkasinya pun harus dipahami. Orang kita itu perasaannya lebih diutamakan. Dibanding orang barat, perasaan orang timur lebih dominan. Ini fakta yang ada.

Blue Bird memiliki jenjang pendidikan pengemudi yang beragam dari SMP hingga sarjana. Maka itu harus dijaga dengan SOP yang sederhana, plus pendekatan yang kekeluargaan. Keluarga dalam jumlah besar.

Saat sedang kesulitan, kami manajemen harus berada di barisan paling depan. Kami harus menjadi panutan. Mau me-wongke. Karena mereka sudah di-wongke, ketika ada masalah akan mudah diatasi. Ketika mereka ada masalah, kita dengarkan. Saya dulu awal di Blue Bird adalah pengemudi, makanya saya paham perasaan pengemudi seperti apa. Manajer pun harus bisa merasakan yang dirasakan pengemudi. Atasan pun demikian. Barulah mereka bisa dikelola.

Bagaimana perkembangan tantangan yang Bapak hadapi dalam mengelola Blue Bird?

Waktu mengawali bisnis, kami belum ada kepercayaan bank, SOP juga belum ada, karyawan belum ada. Setelah 10 tahun tantangan berbeda lagi, bank mulai percaya, customer mulai banyak, tapi SOP lama sudah tidak sesuai. Karena awalnya anak buah hanya 5 orang, dulu tidak ada hirarki, saya bisa ketemu pengemudi setiap waktu. Hubungannya intim karena perusahaan masih kecil. Setelah 10 tahun, karyawan sudah ratusan, sudah ada general manajer. Sekarang makin luas layernya.

Jadi ketika awal tantangan kami adalah pengakuan (recognition), tahap kedua set up SOP, ketiga sekarang adalah sustain dengan konsisten.

Kita memang tidak bisa tanpa digital dan teknologi sekarang. Tapi kami tetap menegaskan bahwa orang tetap yang paling penting.

Bagaimana Bapak membengun hubungan dengan keluarga karyawan?

Dengan 40 ribu pengemudi lebih penting bagi kami memahami mereka. Bagaimana kita tetap merasa dekat dengan mereka. Kekeluargaan Bluebird itu apa? Kami care dengan family-nya juga, bukan saja pengemudinya saja, juga keluarganya. Ketika mereka terkena bencana, kebakaran, kebanjiran atau terakhir gempa, kami turun ke sana. Ketika ada yang sakit, setidaknya serikat pekerja atau manajer akan menjenguk.

Dulu tidak terbayang Blue Bird tidak akan sebesar sekarang. Kami yakin atas ijin Yang di Atas, lalu karena kerja keras, jujur dan disiplin, tentu saja juga karena dukungan karyawan yang cukup kuat. Itu saya yakin filosofi saya dan juga pendiri Blue Bird. Lalu kami sangat peduli pendidikan.

Anak-anak pengemudi pendidikannya kami perhatikan. Kami memberikan beasiswa kepada 44 ribu anak pengemudi. Tidak harus yang terpandai, anybody, tidak harus yang nilainya tertinggi. IPK yang 2,5 saja kami bantu. Memang ada hirarki yang IPK -nya bagus mendapat beasiswa lebih banyak. Sehingga mereka terdorong meningkatkan nilainya. Anak-anak pengemudi di seluruh Indonesaia kami kasih. Yang SD-SMA juara 1-3 tetap kami berikan beasiswa, walaupun untuk jenjang pendidikan SD-SMA sudah banyak yang didukung pemerintah.

Anak-anak selain mendapat beasiswa, juga dilibatkan dalam kegiatan bersama. Mereka yang mendapat beasiswa dijadikan sukarelawan, misalnya di acara sosial ke anak yatim piatu. Dalam program CSR Blue Bird, mereka yang sudah di perguruan tinggi negeri, diminta memberikan bimbel bagi yang mau masuk universita negeri.

Lalu di Kantor Blue Bird Soetoyo, ada satu lantai untuk para istri pengemudi meningkatkan ketrampilan, seperti menjahit, kerajinan, memasak, dan segala hal yang bisa meningkatkan kemampuan mereka. Nanti mereka bisa mendapat penghasilan dari sini. Anak saya Noni Purnomo yang punya ide ini. Dia pejuang Hak Asasi Wanita hingga ke tingkat internasional, agar para wanita mendapat kesempatan yang sama.

Jadi, apa Wisdom Bapak dalam melewati masa sulit?

Yang terpenting adalah the man behind the gun dan perhatian ke people. Saya menganalogikan seperti perang Vietnam di mana Amerika bisa kalah walau dengan senjata canggih dan makanan lengkap. Vietnam hanya dengan senjata sederhana. People itu itu very important. Sekarang di era teknologi dan digital, orang tetap penting. Kita memang tidak bisa tanpa digital dan teknologi sekarang. Tapi kami tetap menegaskan bahwa orang tetap yang paling penting. Orang menciptakan terobosan dengan IT, bukan IT menciptakan orang. Saat ini disrupsi digital sangat kencang, tidak bisa mengelak, kami pun tak luput dari serangan disrupsi. Namun orang tetap menjadi perhatian utama kami.

Anda ingat masa krisis dan kerusuhan di 97/98? Kami justru ditolong para karyawan. Sebelah kantor kami di Mampang, sisi kanan dan kiri habis dibakar masa saat itu. Orang-orangnya kami selamatkan ke kantor Blue Bird lewat tangga di samping. Kantor kami dijaga pagar betis oleh pengemudi dan karyawan. Direksi tetap bertahan di kantor sampai pagi. Ini menunjukkan kebersamaan.

Saat itu bisnis sepi. Banyak orang meninggalkan Indonesaia termasuk investor. Tidak perlu meratapi keadaan. Hadapi. Kami semua dilatih untuk meningkatkan layanan. Jadi ketika bisnis naik lagi, kemampuan kami jauh lebih baik terutama dalam segi layanan.

Bagaimana Bapak merespon disrupsi dalam beberapa tahun terakhir?

Dalam dua tahun terakhir disrupsi yang terjadi berbeda. Kaum milenials mendominasi. Mereka memiliki cara berpikir berbeda dengan generasai sebelumnya. Dulu menyiapkan strategi bisa 3 tahunan, sekarang tidak bisa, sangat cepat berubah. Bisa-bisa setahun sekali bahkan 6 bulan sudah berubah. Perubahan makin pendek. Tiba-tiba muncul hal-hal berbeda. Filosofi kami, ketika ada gelombang, jangan ditahan. Ikuti gelombang itu.

Sekarang dengan adanya digitalisasi dan cashless, kami ikuti. Walau tetap kami sediakan yang konvensional, dengan pembayaran cash. Kita melihat Cina sangat maju pembayarannya, beli sayur pakai handphone, dengan wechat. Amerika kalah. Mereka berani proteksi pemain lokal. Startup di sini berat melawan pemain besar yang masuk. Dunia menuju ke arah sana, kita ke airport semua ada di hape, epassport dan eVisa. Tidak lagi membawa kartu kredit bahkan ke depan hanya perlu handphone.

Kami bersiap ke sana juga. Pengusaha harus siap tantangan ke depan. Future-nya bagaimana. Buat saya pengalaman sebelumnya, sejelek apa pun, jangan diratapi, siapkan masa depan. Jangan takut salah. Tidak ada keputusan 100% benar. Yang penting kita sudah pikirkan semua, just do it, lalu lakukan evaluasi.

Dukung bisnis dengan IT dan tools. Investasi IT memang mahal, tapi semua bisa disesuaikan dengan kondisi internal. Tidak harus semua diimplementasikan di dalam. Bisa sewa. Sekarang sebenarnya investasi teknologi makin lama makin murah kok. Peralatan bisa disewa, juga solusi dan sistem juga. Jadi disesuaikan keadaan.

Saya tidak ada latar belakang pendidikan manajemen. Saya dokter. Jadi kalau ditanya teori manajemen saya tidak tahu. Tapi ilmu kedokteran dengan manajemen ada hubungannya. Dokter itu melihat pasien dari makro ke mikro. Lihat dia panas atau mata kuning apa tidak. Sekali lagi pendidikan itu kuncinya cara berpikir kita, sistematis. ***

Editor: Sujatmaka


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved