Management Leaders

Setia N. Milatia Moemin, Memimpin Transformasi DAMRI ke Arah Service Industry

Setia N. Milatia Moemin, Direktur Utama Perum DAMRI (Foto: dok. pribadi).
Setia N. Milatia Moemin, Direktur Utama Perum DAMRI (Foto: dok. pribadi).

Setia N. Milatia Moemin tak merasa canggung ketika pada awal 2018 ditunjuk menjadi Direktur Utama Perum DAMRI yang menuntutnya harus banyak turun ke lapangan dan melakukan pekerjaan keras. Maklum, sejak lulus dari S-1 Teknik Sipil Universitas Indonesia, kariernya memang sudah diwarnai dengan pekerjaan yang bukan ladies friendly, alias lebih banyak ke dunia laki-laki.

Yang membuat Milatia kaget justru saat melihat kondisi internal DAMRI ketika pertama masuk BUMN ini, yang dari sisi tata kelola sangat jauh untuk dikatakan excellent. Maklum, sebelumnya dia selalu bekerja di perusahaan non-BUMN yang sistemnya sudah rapi.

“Ketika masuk DAMRI, saya lihat semuanya masih manual. Punya aset 3 ribu-4 ribu bus, tetapi semua transaksi dikerjakan manual, padahal dalam sehari bisa ribuan transaksi. Buku keuangan juga masih manual, pencatatan keuangan masih pakai bolpen. Bayangkan, human error bisa tinggi sekali. Itu tantangan berat di awal sehingga yang pertama saya lakukan, membangun teknologi informasi, melakukan digitalisasi,” kata Milatia mengenang.

Belum lagi dari sisi kualitas SDM. Karyawan di DAMRI saat itu hanya 8% yang lulusan SMA ke atas, sisanya SMA ke bawah. “Sementara saya masuk ke DAMRI punya dua S-2, dan biasa bekerja dengan orang-orang yang memiliki gelar minimal S-1. Ini tantangan karena saya harus mengubah bahasa komunikasi. Yang dulu lebih akademis, sekarang harus sangat sederhana,” ungkapnya.

Belum lagi, hampir 70% karyawan DAMRI ada pertalian saudara sehingga menjadi tantangan ketika harus menggerakkan SDM perusahaan. Di dalamnya pun kultur organisasinya bukan kultur korporasi, masih kental kultur birokrasi.

Tak mengherankan, yang kemudian dilakukan Milatia yaitu mentransformasi DAMRI secara total. “Namun, itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Artinya, ada resistensi, ketidaksukaan, benturan, demo, surat kaleng, dan segala macam. Karena, orang dipaksa untuk sesuatu yang baru, keluar dari zona nyaman,” kata mantan Direktur Keuangan PT Eka Sari Lorena ini.

Beruntung, akhir 2018, di bawah Milatia, DAMRI bisa mencatatkan kenaikan laba lebih dari 300%. Laba bersih di 2018 sebesar Rp 21,56 miliar dan 2019 sebesar Rp 43,26 miliar. “Itu hasil dari revenue control, cost control, sampai inventori kami didigitalisasi,” ujar Milatia yang sebelumnya pernah menjadi Anggota Komite Audit PT Kereta Api Indonesia ini. Diakuinya, tahun 2020 DAMRI mengalami kerugian karena armada busnya di banyak kota banyak yang tidak beroperasi disebabkan aturan pembatasan social berskala besar.

Hingga kini DAMRI masih bisa bertahan dan tidak melakukan PHK karyawan walaupun memang cash flow perusahaan tergerogoti. Anggaran keuangan diprioritaskan untuk menutup biaya pegawai. Gaji direksi pun sering mengalami penangguhan pembayaran. Namun, pihaknya optimistis bisa melewati masa sulit ini.

Kini pihaknya justru menggunakan momentum pandemi untuk melakukan efisiensi dan digitalisasi. Tak lupa, Milatia juga aktif melakukan capacity building di internal organisasi. “Dulu DAMRI itu konotasinya tukang bus, sekarang kami bangun mindset sebagai service industry, tak ada bedanya dengan hotel, di mana harus ada hospitality, service management,” kata mantan Dirut PT Trias Cipta OSG dan PT Saoda Trias Cipta ini.

Menurutnya, memimpin DAMRI butuh kiat khusus karena organisasinya “setengah kerah putih setengah kerah biru”. Setinggi apa pun posisinya, CEO sekalipun, tetap harus menangani transportasi umum, harus mau turun ke bawah.

“Transportasi itu dunianya agak keras. Kalau kamu masuk sebagai leader di dunia transportasi, customer needs menjadi yang paling utama. Interaksi di frontline itu penting. Sebagai leader, kita tidak bisa hanya melihat dari langit, kita juga harus mau kotor,” Milatia menjelaskan pengalamannya. Sebagai perempuan, dia tak merasa canggung menghadapi itu semua karena sudah terbiasa dengan pekerjaan detail. Menurutnya, keunggulan wanita eksekutif seperti dirinya yaitu bisa multitasking dan terbiasa detail.

Dalam menjalankan tugas sebagai CEO DAMRI, hal pertama yang dia lakukan yaitu mengubah visi-misi dan melakukan rebranding DAMRI, dari warna biru menjadi putih. “Tantangan terberatnya, menanamkan service management, experience oriented, dan digitalisasi. Kami sekarang sudah ada control room, ada CCTV, sudah bisa dibeli lewat Traveloka, bisa beli di Indomaret. Ini yang mengganggu beberapa orang karena mengusik zona nyamannya,” tutur Milatia.

Bagi Milatia, ada hikmah dari pandemi ini walaupun memang cash flow perusahaan terganggu. Antara lain, bisa mempercepat proses digitalisasi dan transformasi.

Merujuk pada aliran baru leadership, Milatia berkeyakinan eksekutif terbaik itu bila sudah bisa mencapai level lima yang di dalamnya menuntut humility atau jiwa rendah hati. ”Leader yang berhasil itu yang mampu melawan dirinya sendiri, rendah hati, simpel. Bukan lagi yang keren, menjaga jarak, menjaga wibawa,” Milatia menjelaskan gaya kepemimpinannya.

Menurut Milatia, bila seorang CEO mau rendah hati dengan turun langsung ke bawah, akan memunculkan empati. Hal itu penting untuk memberi motivasi tim agar bekerja sesuai dengan arah perusahaan. “Kalau pemimpin puncaknya kasar, songong, tidak pedulian, juraganisme, otomatis ke bawahnya akan seperti itu,” katanya tandas. (*)

Sudarmadi & Vina Anggita

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved