Leaders Profil Profesional

Tumiyana, Tidak Semua Masukan Harus Dieksekusi

Tumiyana, Tidak Semua Masukan Harus Dieksekusi

Sebagai seorang senior leader, Tumiyana sudah sangat kenyang pengalaman. Ia sukses merintis karier di BUMN hingga posisi CEO, juga punya bisnis keluarga yang berkembang pesat.

Di lingkungan BUMN, Tumiyana pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk. dan Dirut PT Wijaya Karya (WIKA). Di kedua perusahaaan BUMN ini, ia banyak dipuji berkat prestasinya.

Ia membuat banyak terobosan bisnis dan manajemen di dua perusahaan pelat merah beraset triliunan itu. Dan kini, ia mengelola bisnis keluarga besarnya, Grup Widodo Makmur Perkasa, yang berkembang pesat di sektor agribisnis dan termasuk salah satu pemain agribisnis besar dalam skala nasional.

Berdasarkan pengalaman Tumiyana memimpin perusahaan besar, di setiap situasi selalu saja ada kendala dalam mengeksekusi berbagai target perusahaan. Ibarat sebuah perjalanan, di tengah jalan selalu ditemui rintangan yang harus dihadapi. Kendala yang dimaksud bisa berupa hal-hal yang sifatnya teknis, juga nonteknis, seperti aspek network, kekurangan permodalan, pemasaran, hingga kendala pada aspek legal dan perizinan.

“Kendala seperti itu harus diarahkan ke kanal-kanal yang jelas dari seluruh sendi organisasi. Apabila pemimpin sudah mengarahkan aliran kendala ini ke kanal-kanal, akan mempermudah penyelesaian kendala,” Tumiyana menceritakan pengalamannya.

Baginya, pemimpin banyak mendengar masukan dari berbagai pihak, tetapi tidak berarti semua masukan harus dieksekusi 100%. “Ada dua tipe mendengar masukan pada saat memimpin organisasi, yakni saat kondisi perusahaan normal dan saat tidak normal atau krisis,” katanya.

Pada saat perusahaan berjalan normal, semua sendi organisasi boleh diskusi atau bicara. “Istilahnya kita boleh menerima masukan dari semua pihak. Tetapi, masukan ini harus dievaluasi, apakah bisa dieksekusi dengan baik? Di Widodo Makmur, saya selalu mendengarkan masukan, lalu mengevaluasi. Tujuannya, supaya masukan tetap terkontrol,” Tumiyana memaparkan.

Namun, pada saat kondisi krisis seperti era sekarang di mana ada banyak ketidakpastian, menurutnya pemimpin harus bersikap diktator. “Tidak bisa pemimpin mendengarkan banyak omongan orang. Pemimpin harus bisa memberikan direction one way agar perusahaan bisa survive,” katanya tandas. Pada saat krisis dan penuh ketidakpastian, dibutuhkan kemampuan dan kehadiran seorang leader dalam memberikan solusi yang tepat serta memimpin perusahaaan dengan tenang dan cerdas agar perusahaan tetap on the track.

Setiap bisnis, kata Tumiyana, pasti menghadapi risiko. Dan, selama ini, ia akan selalu menghitung risiko yang terjadi. “Katakanlah perusahaan membuat 10 keputusan beserta risiko dan mitigasinya, apakah saya bisa menyelesaikan semua risiko yang muncul? Kalau saya tidak bisa, saya lempar ke jajaran tim, siapa yang bisa menyelesaikan risiko ini. Kalau masih tidak ada, keputusannya harus diturunkan, dari 10 menjadi 9 saja. Harus disesuaikan,” tuturnya.

Namun, jika berdasarkan pemetaan risiko, diyakini bahwa risiko itu tidak bisa diselesaikan alias benar-benar akan membawa masalah bagi perusahaan, hal itu harus diantisipasi dengan memitigasinya. “Jadi, semua spot risiko harus dipotret untuk menemukan mitigasinya,” demikian saran Tumiyana.

Ujian bagi seorang leader yang sesungguhnya akan muncul ketika bisnis sedang menghadapi masalah berat atau pada fase decline. Pada fase decline (belum gagal), kebanyakan leader akan berpikir untuk pindah haluan, seperti pindah perusahaan atau ganti bisnis.

“Tetapi, buat saya, tidak boleh seperti itu. Karena menurut saya, ketika kita merasa gagal, sebenarnya sebentar lagi akan menuju keberhasilan. Learning curve itu mencapai maksimum ketika kita merasa ada masalah,” Tumiyana menjelaskan prinsip leadership-nya.

Dari pengalamannya, ia sangat percaya, pada saat menjelang keberhasilan, justru sering menemui masalah. Namun, dari sana kita dituntut harus memperbaikinya dulu sebelum berhasil. “Karena kalau pindah haluan, akan kembali ke nol lagi. Iya kalau berhasil, tapi kalau tidak?” ujarnya retoris.

Menurutnya, ketika sudah jalan dan menemui decline, sebenarnya itu adalah pertanda akan muncul keberhasilan, karena kita sebelumnya sudah berhitung dan terus mengevaluasi diri. Memang, mengangkat persoalan itu bukan pekerjaan mudah, tetapi hal itu akan lebih mudah ketimbang pindah haluan dan mengembangkan sesuatu dari nol.

Seorang pemimpin perusahaan, bagi Tumiyana, tak ubahnya seperti lokomotif yang sedang membawa gerbong. Pemimpin harus bisa menentukan direction melalui goal setting yang ia buat. Namun, seorang leader juga harus punya fondasi dalam bentuk keyakinan.

“Keyakinan bahwa hidup ini ada yang menghidupi. Sehingga, setiap program tidak luput dari Tuhan,” kata Tumiyana tentang prinsipnya. Selain itu, pemimpin harus punya sifat seperti angin yang mengisi ruang kosong. “Pemimpin harus hadir ketika karyawannya mengalami kesulitan, mereka jangan ditinggal,” ujarnya tandas.

Di sisi lain, pemimpin juga perlu punya sifat api yang bisa mendorong sangat kuat —walaupun bisa berbahaya kalau terlalu besar. Sehingga, ketika seorang leader mendorong pasukan (tim), ia harus tetap bisa mengontrol dan tahu sedang di mana posisi pasukannya agar tidak terbakar dan menjadi risiko yang besar.

Momen-momen leadership yang besar berhasil dilalui Tumiyana karena ia juga banyak belajar dari pengusaha lain yang sukses ataupun yang pernah gagal. “Kalau kita ingin membangun diri menjadi lebih baik, banyaklah membaca biografi orang-orang. Juga, mendengarkan. Saya senang sekali mendengarkan cerita orang,” Tumiyana mengungkap rahasia pengembangan dirinya. Bagaimana dengan Anda? (*)

Sudarmadi & Andi Hana Mufidah Elmirasari

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved