Trends Covid 19

Adu Cepat Membuat Sang Pemusnah

Adu Cepat Membuat Sang Pemusnah

Pertama kali dalam sejarah, ada begitu banyak lembaga mengembangkan vaksin untuk satu penyakit dengan triliunan rupiah yang diinvestasikan. Dibayangi risiko kegagalan yang tinggi, beragam kepentingan berkelindan. Dunia pun diliputi rasa cemas dan penuh harap.

Bill Gates, Co-Chair the Bill & Melinda Gates Foundation menunjukkan sebotol vaksin saat konferensi pers. UN Photo / Jean-Marc FerrŽ (sumber foto: humanosphere.org

Kalau ada perlombaan besar tahun ini, dan juga mungkin tahun berikutnya, yakinlah itu bukan lagi perburuan titel Liga Inggris, Italia, Jerman, atau Spanyol. Perlombaan akbar itu adalah menemukan sang pemusnah Covid-19 yang sudah menyengsarakan umat manusia.

Betapa tidak, per 10 Juni 2020, Johns Hopkins University menyebut korban Covid-19 mencapai 7,2 juta orang positif; 3,3 juta sembuh dan 411.279 pralaya. Belum lagi jika dihitung dengan kerugian ekonomi. Pada 9 Juni 2020, dalam laporannya, Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi global tahun ini merosot hingga minus 5,2%. Itu artinya, resesi global (Bank Dunia bahkan menyebut resesi tahun ini adalah yang paling dalam sejak Perang Dunia II). Dan, itu artinya betapa banyaknya bisnis yang gulung tikar.

Tak mengherankan, ada tuntutan bahwa vaksin harus segera ditemukan. Dan, tak mengejutkan pula jika akhirnya begitu banyak pihak terlibat. Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI) mencatat hingga kini ada 224 kandidat vaksin yang tengah dikembangkan secara global.

Dari jumlah tersebut, 49% di antaranya ada di wilayah Amerika Utara. Namun, dalam konteks lintasan membuat vaksin, China menjadi yang terbanyak. Dan dalam lanskap perkembangan vaksin Covid-19 yang dilansir WHO per 9 Juni 2020, dari 10 vaksin yang masuk dalam fase 2, ada lima yang datang dari China, di antaranya Sinovac Biotech, Wuhan Institute of Biological Products, dan The Beijing Institute of Biotechnology. Lainnya adalah konsorsium Pfizer dan BioNTech, Moderna, Inovio, AstraZeneca, serta Universitas Oxford.

Vaksin Covid-19 (Shutterstock)

Yang menarik, pihak militer Amerika Serikat dan China terlibat aktif dalam pengembangan vaksin. The Beijing Institute of Biotechnology, yang berkolaborasi dengan Can Sino, adalah bagian dari Academy of Military Medical Sciences, yang salah seorang ahli virusnya cukup disegani, Mayjen Chen Wei. Sementara di AS, Army Medical Research Institute dan Walter Reed Institute of Research bekerjasama mengembangkan vaksin.

Sukar untuk menafikan telah terjadi perlombaan besar antara China dan AS. Ini seperti perlombaan ke ruang angkasa di tahun 1950-1960-an. Saat itu, sementara negara-negara lain masih banyak yang berkutat dengan ancaman kelaparan, dua negara adidaya (AS dan Uni Soviet) berlomba mengangkasa setinggi-tingginya. Sputnik memang mengudara lebih dulu ke luar angkasa di tahun 1957. Namun, Apollo 11 yang mendarat di bulan pada 20 Juli 1969.

Memang analogi ke luar angkasa tidak begitu tepat karena yang satunya berurusan dengan adu kemajuan teknologi, sementara vaksin berurusan dengan mati-hidupnya manusia. Namun di level negara, Pemerintah China dan AS kini berlomba menjadi yang terdepan dan bersaing paling sengit.

Di Washington, Pemerintahan Donald Trump telah membentuk Operation Warp Speed (OWS) pada April 2020. OWS adalah kemitraan publik-pemerintah yang diisi sejumlah lembaga, antara lain Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Food and Drug Administration (FDA), Biomedical Advanced Research and Development Authority (BARDA), perusahaan-perusahaan swasta, termasuk Departemen Pertahanan AS. Hingga awal Juni 2020 dilaporkan Trump menganggarkan US$ 10 miliar untuk operasi yang dikhususkan buat pengembangan serta distribusi vaksin Covid-19.

Di tempat berbeda, pada 18 Mei 2020, di hadapan World Health Assembly (Majelis Kesehatan Dunia), Presiden Cina Xi Jinping berjanji membuat vaksin secara global begitu segala macam uji klinis berhasil dijalankan. Xi juga berjanji menyediakan US$ 2 miliar selama dua tahun untuk mendukung pengembangan vaksin. Belakangan, pada 6 Juni 2020, Menteri Sains dan Teknologi China Wang Zhigang menambahkan, apabila sudah tersedia, China akan menjadikan vaksin tersebut sebagai “barang publik global” sekaligus siap membaginya dengan negara-negara lain.

Janji manis ini seakan menjadi penawar dan penarik simpati dunia di tengah tudingan China menjadi sumber malapetaka. Xi memang gerah dengan segala tuduhan internasional. Namun, tak urung kecurigaan tetap berkembang. Senator AS Rick Scott bahkan menyebut Pemerintah China menyabotase upaya-upaya negara Barat untuk melakukan riset vaksin Covid-19.

Bill Gates (foto: www.sapologistapologies.word.press.com)

Jangan heran kalau ada tudingan seperti itu. Di tengah perlombaan ini, sesuatu yang dikhawatirkan akan segera terjadi adalah apa yang disebut sebagai vaccine nationalism. Artinya, negara-negara hanya mementingkan dirinya sendiri begitu vaksin ditemukan. Dan celakanya, itu bukan tanpa preseden. Ada kejadian pahit di tahun 2009 ketika negara-negara kaya membeli vaksin H1N1 (flu babi) sehingga menelantarkan negara-negara miskin.

Saking khawatirnya, awal Juni 2020, Federasi Palang Merah Internasional (IFRC) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sampai perlu mengingatkan negara maju serta industri farmasi untuk tidak mengamankan vaksin Covid-19 buat sekelompok masyarakat tertentu atau beberapa negara tertentu saja. Kesetaraan akses terhadap vaksin, kata mereka, menjadi penentu keberhasilan bersama masyarakat dunia dalam mengakhiri pandemi global Covid-19.

Menariknya, layaknya perang, negara-negara tersebut tidaklah bertempur sendirian. Mereka punya “pasukan”. Pemerintah AS memfokuskan dukungan dana pada lima kandidat. Menurut New York Times, kelima kandidat tersebut adalah Moderna, koalisi Univesitas Oxford dan AstraZeneca, Pfizer, Merck, serta Johnson & Johnson. Untuk AstraZeneca dan Oxford, misalnya, mereka menggelontorkan dana senilai US$ 1,2 miliar. Pemerintah AS juga mendekati perusahan farmasi Prancis, Sanofi, buat akses yang sama: mendapat jatah vaksin.

Di tempat lain, Pemerintah Inggris juga melakukan hal yang sama terhadap AstraZeneca dan Oxford dengan gelontoran dana Rp 846 miliar dari total rencana setara Rp 1,5 triliun. Uang muka itu disebut-sebut dikucurkan Inggris untuk mendapatkan sekitar 100 juta dosis vaksin AstraZeneca dan Oxford andai sukses.

Suka ataupun tidak, vaccine nationalism memang membuat negara-negara saling berupaya mengamankan kepentingannya. Seperti prinsip “jangan menaruh risiko dalam satu keranjang”, mereka menebar dukungan ke banyak perusahaan atau pengembang vaksi. Karena itu, sewaktu Pemerintah AS mendekati Sanofi, Pemerintah Prancis disebut-sebut sangat berang. Mereka curiga AS menyabotase kepentingan Prancis dengan menjalin hubungan dengan Sanofi.

Prancis sendiri bersama tiga negara anggota Uni Eropa, yaitu Jerman, Italia, dan Belanda, membentuk aliansi untuk mempercepat produksi vaksin di Tanah Eropa lewat berbagai perusahaan farmasi, mulai dari pengembangan hingga produksi vaksin. Namun, sejak awal mereka mengumumkan sikap terbuka yang simpatik. Aliansi ini menjanjikan akses vaksin yang lebih merata ke semua negara, termasuk negara-negara Afrika yang perekonomiannya relatif lebih lemah dibandingkan negara-negara lain tetapi kini penyebarannya sangat cepat.

Foto: www.statnews.com

Nyata benar pemerintah saling mengamankan kepentingannya. Namun, sejatinya bukan cuma pemerintah yang sibuk. Orang-orang kaya juga ikut terjun ke medan pengembangan vaksin. Dr. Patrick Soon-Shiong, misalnya. Fisikawan yang juga pemilik The Los Angeles Times dan saham klub Los Angeles Lakers ini mengumumkan dirinya memobilisasi dua dari perusahaan miliknya untuk mengembangkan vaksin Covid-19. Perusahaannya itu adalah NantKwest dan ImmunityBio. Keduanya memang belum memublikasikan riset vaksinnya, tetapi pada 27 Mei 2020 menyebut eksperimen mereka sedang ditaksir oleh Operation Warp Speed bentukan Trump.

Miliarder yang paling banyak berkiprah di gelanggang ini tentu saja sosok yang kontroversial, Bill Gates. Dia mendanai Novavax yang termasuk 10 perusahaan tahap uji coba fase 2 sebesar Rp 5,7 triliun. Lalu, mendukung koalisi AstraZeneca dan Universitas Oxford. Kemudian lewat CEP, yang didirikannya pada tahun 2016, bermarkas di Norwegia. Sementara itu, lewat Gates Foundation, Gates juga mendukung Seattle Coronavirus Assessment Network (SCAN) mengembangkan vaksin, dan mengucurkan US$ 1,6 miliar lagi untuk aliansi vaksin, GAVI.

Gates bermain dengan “tangan-tangannya” ini. Jejaringnya di banyak pengembang vaksin tak ayal membuatnya dicurigai ingin mengambil keuntungan karena menanam “saham” di banyak pengembang vaksin. Apalagi, pada 2015 dia sudah menyebut potensi datangnya pandemi karena munculnya virus. Ada tudingan, Gates menanamkan mikrocip di dalam vaksin corona yang bisa mengawasi pergerakan manusia. Benar begitu?

Sulit membuktikannya. Gates sendiri membantah tudingan itu. “I’ve never been involved any sort of microchip-type thing. It’s almost hard to deny this stuff because it’s so stupid or strange,” katanya kepada Business Insider beberapa waktu lalu. Hal itu juga ditegaskannya pada 11 Juni 2020 saat memberikan komitmen dana ke GAVI.

Di luar 10 perusahaan yang sudah masuk ke fase 2, sejumlah nama besar juga masuk gelanggang ini. Di antaranya, BioNTech SE, CytoDyn Inc., Dynavax Technologies Corp., Gilead Sciences Inc., GlaxoSmithKline, Heat Biologics Inc., Inovio Pharmaceuticals Inc., Regeneron Pharmaceuticals Inc., Roche Holding, Translate Bio Inc., Takeda Pharmaceutical Company Ltd., Vaxart Inc., Vir Biotechnology Inc., dan Biogen Inc.

Banyaknya pihak yang terlibat dalam pengembangan vaksin Covid-19 terbilang luar biasa. “Saya pikir dalam sejarah pengembangan vaksin, kita belum pernah melihat laboratorium serta perusahaan sebanyak ini yang berusaha menemukan vaksin untuk satu jenis penyakit yang sama,” cetus Thomas Cueni, Kepala International Federation of Pharmaceutical Manufacturers & Associations (IFPMA).

Namun seperti disinggung di atas, bukan soal banyaknya yang terjun ke gelanggang ini, melainkan soal vaccine natonalism, dan jaminan akses global yang merisaukan. Mengapa demikian?

Ilona Kickbusch, ahli kesehatan dari Jerman, menyatakan bahwa otoritas kesehatan di dunia memang bekerjasama untuk membincangkan soal distribusi vaksi, “Tetapi sampai sekarang, tidak ada aturan internasional untuk berbagi vaksin dalam cara yang adil,” katanya. WHO sendiri tak punya kekuatan untuk menekan hal tersebut.

Pernyataan itu didukung Jürgen Wasem, Guru Besar Healthcare Management University of Duisburg-Essen. Menurutnya, riset dan pengembangan obat bersifat “driven by market forces”. Artinya, kurang–lebih tergantung pada siapa yang mendanai. Alhasil, ketika ada pertanyaan “Negara mana yang harus mendapat vaksin lebih dulu?”, katanya, “Itu akan diberikan ke mereka yang mampu membayar di harga tertinggi. Ini masalah pasar farmasi di seluruh dunia.”

Potensi ini begitu disadari banyak pihak. CEPI bahkan telah mencoba membuat perjanjian di antara anggotanya, bahwa semua penelitian tentang vaksin yang ikut didanai pemerintah harus dibagikan datanya secara terbuka. Jadi, tidak ada yang akan menguasai hak kekayaan intelektual untuk itu.

Akan tetapi, tidak semua perusahaan obat setuju. Ini yang menjadi masalah di Uni Eropa, dan juga di dunia. Curang?

Dalam kacamata bisnis, bisa dipahami jika perusahaan tidak setuju. Di satu sisi, uang yang dibenamkan begitu besar. Di sisi lain, lamanya proses pengembangan vaksin hingga distribusi tidaklah menentu.

Dalam pengembangan bisnis vaksin, halang rintangnya memang berat. Pertama, scientific uncertainty. Mengembangkan vaksin yang sukses sangat kompleks. Tingkat kesuksesannya 10% dari tahap praklinis, uji klinis, hingga lisensi. Kedua, proof of safety and efficacy. Normalnya, butuh 5-10 tahun untuk mendapat regulatory approval buat penggunaan. Ketiga, skala manufaktur. Begitu secara ilmiah tervalidasi, vaksin harus diproduksi dalam skala yang memungkinkan terjadinya herd immunity dalam skala global. Sekarang, dibutuhkan kurang-lebih untuk 60% populasi dunia, atau sekitar 5 miliar dosis, atau 10 miliar dosis untuk penggunaan multidosis agar lebih cespleng.

Karena banyaknya halang rintang tersebut, sebagian kalangan menilai sangat wajar jika perusahaan begitu berhitung dengan potensi keuntungan serta kerugian yang besar. Mereka pun ditengarai kecil kemungkinan akan membuat vaksin bebas paten. Dan preseden itu ada. Dulu, penisilin tidak ada paten, artinya tidak ada yang memilikinya. Akibatnya, setelah Perang Dunia II, harga penisilin turun sangat rendah. Perusahaan farmasi pun tidak menghasilkan banyak uang untuk itu. Saat itu, yang mereka lakukan adalah membuat tiruan berbagai jenis antibiotik seperti streptomycin dan jenis antibiotik lainnya. Mereka mendapatkan paten pada obat-obat itu sekaligus meraup uang.

Sekarang, tentu saja mereka berlomba menghasilkan paten yang pertama untuk vaksin corona. Mereka adalah perusahaan yang harus melayani pemegang saham. Namun, tak sedikit juga yang mencoba menenangkan keadaan. Sanofi, misalnya, mengklarifikasi secara diplomatis dengan menyebut akan mengutamakan kepentingan global. Atau AstraZeneca, yang berkomitmen memberikan 1 miliar dosis untuk negara-negara yang berpendapatan menengah-bawah, sebagai bagian dari perjanjian lisensi dengan Serum Institute of India. Apa itu akan terjadi? Masih ditunggu.

Selain obral janji manis, menariknya, di tengah halang rintang yang demikian beratnya, sejumlah kalangan sudah berkoar akan segera menemukan sang penawar Covid-19. Sejauh ini, Moderna, AstraZeneca-Oxford, serta Pfizer disebut-sebut berada di garis terdepan dan diharapkan bisa masuk ke tahap human trials. Akhir 2020 atau awal 2021 diharapkan sudah ada yang bisa merilis vaksin. Dr. Anthony Fauci, Direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases yang juga anggota White House Coronavirus Task Force, berharap AS akan punya “a couple hundred million doses” dari vaksin potensial di awal tahun 2021. Tentunya, ini didapat dari perusahaan-perusahaan yang kini didanai.

Bagi sejumlah kalangan, mereka yang menyatakan bisa menghasilkan vaksin dalam 12-18 bulan terhitung rekor. Bahkan hingga 24-36 bulan, menjadi rekor dalam pengembangan vaksin. Pasalnya, sicentific confidence tidaklah mudah diraih. Normalnya, pembuatan vaksin membutuhkan waktu tidak sebentar, dapat bertahun-tahun, bahkan belasan atau puluhan tahun, karena memang tidak hanya efektivitasnya yang diuji, teyapi juga keamanan serta efek samping jangka pendek dan jangka panjang yang mungkin muncul setelah pemberian vaksin tersebut.

Kini, sepuluh kandidat vaksin yang masuk tahap 2 bisa dibilang sudah masuk fase kritikal mengingat success rate bisa kurang dari 20% dan bisa jadi memiliki profil safety and efficacy yang berbeda. Belum lagi, hingga kini belum terjawab apakah Covid-19 akan persist, re-emerge dalam gelombang kedua, atau jadi ancaman musiman (seperti influenza).

Ironisnya, di kalangan ilmuwan yang berlomba menghasilkan vaksin itu sendiri, situasinya terbelah. “Sejauh ini kami masih berada di jalur yang tepat,” ujar Pascal Soriot, CEO AstraZeneca kepada BBC, beberapa waktu lalu. Sekondannya di Ofxord juga menyatakan bahwa “80% yakin” vaksin akan bekerja dengan baik sehingga bisa menyelesaikan uji klinis dalam skala besar sesegera mungkin.

Pernyataan ini memantik polemik di antara ilmuwan. Apalagi, sempat ada kesan orang-orang Oxford menganggap dirinya paling hebat dan agak meremehkan yang lain.

Dr. William Schaffner, ahli penyakit menular di Vanderbilt University Medical Center di Tennesse (AS), mengatakan bahwa dia kaget sewaktu mendengar para ilmuwan Oxford menyatakan kemajuan vaksinnya. “Beberapa dari kami di komunitas ilmiah di sini sedikit terkejut dengan kelincahan kolega kami di Oxford,” kata penasihat senior di Centers for Disease Control and Prevention itu. “Kami sudah dibuat marah dengan para pemimpin politik yang menyajikan informasi tak akurat, dan kita seharusnya menahan para ilmuwan terkemuka untuk melakukan hal serupa,” Schaffner menambahkan. Dr. Paul Offit dari University of Pennsylvania yang mengembangkan vaksin untuk rotavirus menyetujui hal tersebut.

Namun, pihak Oxford menepis itu. “Kami akan jadi yang pertama tiba di garis finis,” ujar Dr. Adrian Hill, salah seorang peneliti Oxford terkemuka, penuh keyakinan. “Bagaimana bisa Anda mengkritik apa untuk opini jujur yang kami buat?” dia melanjutkan. Kepala peneliti Oxford Sarah Gilbert mengatakan kepada The Times bahwa dia memang “80% yakin” vaksin dari Oxford akan bekerja dengan baik.

Namun, yang segaris dengan Schaffner dan Offit tidak sedikit. Salah seorang ilmuwan yang skeptis adalah Saad Omer, dari Yale University. “Saya tak pernah menyaksikan Fase 3 dalam sebulan atau enam minggu,” katanya. Dia lalu menambahkan, “Hanya karena jalur yang sekarang terlihat positif, tidak berarti langkah-langkah berikutnya akan on time dan tak punya efek samping,” kata Omer. Dia lalu mengutip filosofi Spider-Man. “Seperti Spider-Man bilang, ‘with great power comes great responsibility’, menjadi bertanggung jawab di sini adalah tidak memproyeksikan hal yang tidak presisi ketimbang fakta di lapangan terkait pengembangan vaksin.”

Kalangan ilmuwan lain juga mengingatkan untuk rendah hati, sekaligus mengingatkan betapa sungguh tak ada jaminan untuk menghasilkan vaksin. Bahkan, sekalipun sudah tampak di depan mata. Apalagi dalam jangka waktu yang cepat.

Dalam sejarah, ada beberapa temuan vaksin yang begitu berpengaruh: cacar, cacar air, folio, hepatitis A dan B, dan human papillomavirus (HPV). Namun, ada satu vaksin yang sampai sekarang belum kunjung tiba: vaksin untuk human immunodeficiency virus (HIV). Padahal tahun 1984, Menteri Layanan Kesehatan dan Kemanusiaan AS Margaret Heckler mengumumkan bahwa para ilmuwan telah berhasil mengidentifikasi virus yang kemudian dikenal sebagai HIV dan memperkirakan bahwa vaksin pencegahan akan siap untuk pengujian dalam dua tahun. Ibaratnya sudah dekat sekali. Nyatanya, 35 tahun berlalu, umat manusia tak kunjung dekat dengan vaksin HIV.

Sekalipun ironis, sejujurnya persaingan di level ilmuwan tidaklah asing. Ini memang soal gengsi kelas dunia. Siapa menemukan vaksin corona, besar kemungkinan mendapat aplaus dan ganjaran besar, termasuk hadiah Nobel. Buktinya pun sudah ada ketika Luc Montagnier dan Robert Gallo, dua penemu HIV, virus penyebab AIDS (acquired immune deficiency syndrome), bersaing mengklaim. Nobel Kedokteran akhirnya jatuh pada Montagnier di tahun 2008 bersama asistennya, Francoise Barre-Sinoussi.

Yang menambah ironi, sementara ilmuwan bekerja dan adu gengsi, ada yang mengail keuntungan pribadi. Dan, ini terjadi pada eksekutif perusahaan yang tengah mengembangkan vaksin. Beberapa waktu lalu, CEO Moderna, Stéphane Bancel, menyebut fase 1 berjalan baik dan tim Moderna akan masuk fase 3 pada bulan Juli. Tak berapa lama, saham Moderna melonjak 30% menjadi US$ 87.

Sejumlah pihak mengkritik manajemen Moderna karena terburu-buru mengungkap apa yang belum matang. Namun. sepertinya situasi psikologi memang membuat bursa bergejolak. Dunia butuh vaksin. Begitu ada kabar baik, saham pun merangkak. Namun, di sini terjadi pelanggaran moral. CFO Moderna, Lorence Kim, mengeksekusi 241.000 opsi sahamnya, menjualnya, merauh untung US$ 16,8 juta. Per 8 Juni 2020, Moderna bertindak cepat. Kim diganti CFO baru, David Meline.

Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Indonesia di tengah perlombaan ini?

Pada 9 Juni lalu, Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegro menyebutkan, ada dua kegiatan uji klinis vaksin virus corona (Covid-19) di Indonesia yang dilaksanakan empat perusahaan farmasi. Pertama, uji klinis vaksin Covid-19 yang dilakukan Bio Farma dengan perusahaan biofarmasi dari China, Sinovac. Kedua, uji klinis Kalbe Farma bersama perusahaan Korea Selatan, Genexine. Bambang mengatakan, uji klinis vaksin Covid-19 akan berlangsung Juni 2020.

Bagaimana akhir dari perlombaan ini, belum diketahui. Di satu sisi, dunia memang membutuhkan vaksin Covid-19, dan ada harapan itu sesegera mungkin ditemukan agar penderitaan berakhir. Namun di sisi lain, masyarakat juga realistis, prosesnya tidaklah mudah. Dan begitu vaksin ditemukan, juga muncul pertanyaan baru yang belum diatur: siapa yang akan mendapatkannya pertama kali?

Melihat vaksin yang market driven dan tidak ada regulasi global untuk pembagian vaksin yang adil, masyarakat dunia digelayuti rasa cemas dan penuh harap. Terlebih, negara-negara miskin yang tak punya kemampuan finansial untuk membeli dalam dosis besar. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved