Covid 19

Cara Taiwan Atasi Corona

Cara Taiwan Atasi Corona

Negara ini bermandi pujian karena mampu mengelola pandemi Covid-19 dengan baik. Apa saja kunci suksesnya?

Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen Memberikan Arahan (foto: The Times)

Taiwan, Hong Kong, dan Vietnam adalah tiga negara yang jadi perbincangan dalam urusan menghadapi serta menangani Covid-19. Tapi itu bisa dihapami. Melansir data worldometers, mereka tergolong mampu menangani pandemi ini dengan baik. Per-22 Mei 2020, di Taiwan hanya ada 441 kasus positif yang terkonfirmasi. Dari angka itu, 407 di antaranya sembuh, dan hanya 7 kasus kematian. Total populasi negara ini sekitar 24 juta jiwa. Sementara itu Hong Kong yang berpopulasi 7,5 juta jiwa, telah mengonfirmasi 1.064 kasus, dengan hanya 4 kematian dan 1.029 orang dinyatakan pulih. Adapun Vietnam mengkonfirmasi 324 kasus dari populasi 97 juta orang. Yang menarik, mereka tidak mencatatkan adanya kematian sama sekali, dan 264 orang sudah sehat kembali.

Dari ketiga negara tersebut, Taiwan tergolong yang banjir pujian karena dianggap paling responsif namun tidak represif. Negeri pulau yang secara geografis jaraknya hanya sekitar 130 km dengan pusat episentrum bencana ini dianggap mampu menjaga virus tetap terkendali ketika bagian lain dunia justru terpuruk dan kebingungan. Lalu, bagaimana cara negara yang tak masuk dalam anggota WHO ini menekan pandemi tersebut?

Kewaspadaan. Ini adalah faktor utama yang membedakan Taiwan dengan banyak negara. Sejak awal, Pemerintah Taiwan meragukan informasi dan jumlah infeksi virus corona yang dilaporkan China (bahkan kata “meragukan” sebenarnya terlalu halus karena sebenarnya, dalam berbagai sumber disebut mereka “tidak percaya pada informasi dari China”). Pada 31 Desember 2019, Wakil Direktur Jenderal Pusat Pengendalian Penyakit melihat sebuah posting di satu situs yang menunjukkan diskusi antara petugas medis di Wuhan tentang para pasien yang menunjukkan tanda-tanda seperti penyakit flu burung. Mereka pun waspada. Mereka segera mulai menjalankan inspeksi di dalam pesawat dari Wuhan sebagai tindakan pencegahan.

Tak cukup sampai di sana, Menurut laporan Council on Foreign Relations (Dewan Hubungan Luar Negeri) yang berbasis di AS, Taiwan bahkan memberi tahu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang potensi virus corona baru dari Wuhan yang menular dari manusia ke manusia pada 31 Desember 2019 (saat itu belum disebut Covid-19). Namun, WHO tidak meresponsnya dengan baik. “Sebaliknya, WHO mendukung penyangkalan China terhadap penularan dari manusia ke manusia sampai 21 Januari 2020. Ketika WHO terlihat meremehkan ancaman global, Taiwan mengadopsi langkah-langkah kuat untuk menyaring, menguji, melacak kontak, dan menegakkan karantina,” bunyi laporan tersebut.

Pemeriksaan yang ketat menjadi salah satu kunci keberhasilan Taiwan memerangi Covid 19 (foto: Chen Chi -Chuan/AFP)

Ya, setelah kewaspadaan, faktor kecepatan memegang peranan kunci. Tsai Ing-Wen, Presiden Taiwan, dalam tulisannya di majalah Time (16 April 2020), berjudul “How My Country Prevented a Major Outbreak of COVID-19” menjelaskan kecepatan gerak itu. Ketika berita tentang corona muncul dari Wuhan menjelang Tahun Baru Imlek, mereka bertindak. “Bulan Januari kami segera mendirikan Central Epidemic Command Center (CECC) untuk menangani tindakan pencegahan. Kami menerapkan pembatasan perjalanan dan membangun protokol karantina untuk para pelancong berisiko tinggi,” dia mengungkap. Taiwan memang segera membuat larangan perjalanan pada pengunjung dari China, Hong Kong dan Makau segera setelah jumlah kasus virus korona mulai meningkat di daratan China. Tak ada pintu terbuka dari wilayah episentrum bencana.

Pada 21 Januari 2020, warga negara Taiwan pertama terinfeksi Covid-19. Pemerintah Taiwan segera melakukan langkah-langkah investigatif untuk melacak riwayat perjalanan dan kontak, melakukan isolasi, sekaligus mencegah penyebaran yang lebih luas. Trauma, diakui Tsai Ing-Wen membuat mereka paranoid. “Rasa sakit kehilangan banyak orang saat SARS 2003 memberikan pelajaran besar yang membuat pemerintah dan masyarakat dalam kewaspadaan tinggi,” papar perempuan kelahiran Taipei, 1956 ini.

SARS memang membuat pemerintah dan masyarakat Taiwan kompak. Di bawah arahan Menteri Kesehatan Chen Shih-chung, mereka bekerja sama. Mereka memainkan peran secara konstruktif. Dari sisi regulator, pemerintah mengatur protokol kesehatan secara ketat. Tak ada karantina (lockdown) nasional seperti yang ditempuh banyak negara. Namun diberlakukan kewajiban menggunakan masker dan desinfektan secara intensif, juga physical distancing yang ketat.

Tsai Ing-Wen menceritakan bahwa untuk mencegah masyarakat terjebak mass panic buying, pemerintahannya bergerak taktis. Dalam mengantisipasi kelangkaan, penimbunan, dan permainan harga masker, pemerintah juga mengambil alih serta memperketat produksi, distribusi berikut penjualannya.

Dari sisi produksi, mereka menginvestasikan Rp 99,5 triliun untuk membuat masker bedah. Kementrian ekonomi mengoordinasikan kerjasama pemerintah dengan pihak perusahaan machine-tool dan pemasok alat kesehatan untuk memproduksi masker sekaligus menggenjot kapasitas produksi. Presiden Tsai ingin memastikan persediaan masker tercukupi. Kerjasama ini meningkatkan kapasitas produksi harian Taiwan dari 1,8 juta masker menjadi 8 juta masker. Mereka menyebutnya sebagai “Masker Keajaiban Taiwan”.

Tsai juga melarang ekspor masker medis sejak 24 Januari, sehari sebelum Imlek. Dia ingin sejak awal Februari, masker dapat diakses seluruh warga negaranya. Intuisinya sudah bicara wabah ini tidak bisa dianggap main-main sehingga masker harus cukup.

Agar keinginan itu terpenuhi, wanita berkacamata ini pun membuat sistem jatah penjualan masker untuk mencegah penimbunan sekaligus memastikan semua orang memiliki akses yang mudah untuk mendapatkannya. Pemerintah juga yang kemudian mendistribusikan masker ke rumah sakit, apotik, supermarket, sampai convenience store (toko kelontong), untuk memastikan semua warga dapat dengan mudah mengakses pembelian masker. Bahkan mereka juga menetapkan harga masker. Sementara di banyak negara mengalami kekurangan, masyarakat Taiwan dapat membeli masker dengan harga terjangkau: hanya Rp 2.500 per masker.

Walaupun dijual murah, warga Taiwan tetap harus menunjukan kartu identitas asli dan kartu asuransi nasional agar bisa membeli masker. Tak hanya memastikan persediaan masker, pemerintah juga melakukan gerakan penggunaan hand sanitizer di seluruh ruang-ruang publik.

Beruntung, ketika protokol kesehatan yang ketat diterapkan sejak dini, masyarakat Taiwan tidak ngeyel. Dalam urusan penggunaan masker, umpamanya. Menggunakan masker wajah sudah jadi kebiasaan mereka selama bertahun-tahun, bahkan sebelum ada wabah virus korona. Masyarakat di sana menggunakannya untuk terhindar dari penyakit menular lainnya dan polusi udara. Ditambah dengan pengalaman SARS, mereka menjadi sangat waspada terhadap potensi penularan virus yang baru pada 12 Februari 2020 disebut WHO sebagai Covid-19 itu.

Apa yang dilakukan Taiwan benar-benar langkah yang sangat maju. Sementara negara-negara lain masih sibuk memperdebatkan apakah serta bagaimana caranya mengambil tindakan preventif – dan beberapa pemerintahan membuat tindakan konyol karena merasa bebas ancaman Covid-19, bahkan ingin mengundang turis demi pariwisatanya – Taiwan sudah sangat siap.

Pada tanggal 25 Januari, ketika dunia masih santai-santai saja, Taiwan mencatat empat infeksi baru di wilayah mereka. Tsai Ing-Wen dan jajaran pemerintahannya pun kian waspada dan sigap. Mereka tak mau terluka kembali seperti saat SARS melanda. Mereka tahu potensi pandemi telah benar-benar hadir di depan mata. Untuk melengkapi pengetatan pintu masuk dan perjalanan, menggenjot produksi dan distribusi masker, mendirikan pusat komando epidemi sentral, protokol kesehatan, mereka memanfaatkan media massa sepanjang waktu untuk menyebarkan pengetahuan tentang virus corona kepada masyarakat secara terbuka. Artinya, mereka memberlakukan transparansi data menjadi elemen vital mengatasi pandemi.

Dr. Jason Wang, seorang ahli kebijakan kesehatan masyarakat di Universitas Stanford di AS menyebut langkah ini sebagai “Reassure and Educate the Public, While Fighting Misinformation”. Yang menarik, Jason Wang melanjutkan, keterbukaan informasi ini ditopang dengan pemanfaatan teknologi yang baik. Dalam makalahnya yang diterbitkan Journal of American Medical Association berjudul “Response to COVID-19 in Taiwan; Big Data Analytics, New Technology, and Proactive Testing”, dia menyoroti penggunaan teknologi untuk melacak keberadaan warga negara yang berada di bawah karantina.

Tsai Eng-Wen mengecek parik masker

“Pemerintah akan memanggil Anda dan mencoba mencari tahu di mana Anda berada,” dia menjelaskan. Pemerintah juga dapat melacak lewat telepon sehingga memastikan orang-orang yang dikarantina tetap berada di tempatnya, tidak keluyuran tak keruan. Tak lupa, Pemerintah Taiwan juga memberikan dukungan semaksimal mungkin bagi mereka yang dikarantina. Para pemimpin desa setempat membawa satu tas perlengkapan kebutuhan pokok seperti makanan atau pun buku kepada individu yang dikarantina. Presiden Tsai juga meluncurkan program kesejahteraan yang memberikan tunjangan harian US$ 30 bagi mereka yang terkena karantina selama dua minggu. Langkah ini membuat masyarakat berani melaporkan keadaannya dengan jujur. Karena mereka tahu pemerintahannya menjamin buat yang dikarantina. Ada trust yang terbangun antara masyarakat dengan pemerintahnya. Sesuatu yang ironisnya banyak hilang di negara lain. Sebuah modal sosial yang begitu berharga.

Taiwan bisa melakukan hal di atas karena menggunakan big data dan teknologi. Data kependudukannya rapi jail. Mereka menggunakan teknologi dalam mengintegrasikan asuransi kesehatan nasional serta database imigrasi dan bea cukai. Dengan cara ini, pemerintah bisa mengidentifikasi kasus-kasus potensial berdasarkan riwayat perjalanan dan gejala klinis warga negaranya. Pemerintah Taiwan juga mengharuskan para pelancong untuk mengisi formulir pernyataan kesehatan online sebelum keberangkatan mereka ke Taiwan, sehingga mereka dapat dipisahkan berdasarkan risiko infeksi di kantor imigrasi. Upaya ini bahkan telah intens dilakukan sebelum pemerintah mengambil langkah ekstrim menutup perbatasan, melarang ekspor masker wajah dan meningkatkan produksi masker di dalam negeri.

Dr. Wang menyebut keunggulan Taiwan dalam mengatasi Covid-19 adalah recognizing (mengakui potensi ledakan krisis, bukan bersikap denial), managing crisis (pengelolaan yang baik), serta communication (mengomunikasikan dengan transparan untuk membangun trust). Efektivitas langkah-langkah tersebut terbukti memungkinkan Taiwan untuk tidak menekan kegiatan ekonominya secara drastis. Dunia bisnis sebagian besar beroperasi seperti biasa. Restoran, mal, buka dan tetap ramai. Sekolah pun ditutup hanya karena liburan musim dingin yang sedikit diperpanjang, tetapi dibuka kembali pada akhir Februari dengan tindakan protokol kesehatan yang begitu ketat dan disiplin tinggi, baik antara pemerintah maupun masyarakatnya. Tak ada lockdown.

Akhirnya, Taiwan pun dapat menyelesaikan masalah yang begitu pahit dan bikin puyeng bagi pemerintahan yang lamban dan tidak kompeten: ekonomi atau kesehatan dulu? Negeri ini mendapatkan keduanya sehingga diberikan aplaus oleh banyak pihak. Ekonomi tetap jalan, angka kematian pun ditekan.

Pada akhirnya, di luar faktor-faktor di atas sebagai langkah penanganan krisis (waspada, gerak cepat, komunikasi, dst.), faktor kepemimpinan Tsai dianggap berperan demikian penting dan vital. “Pada bulan Januari, begitu tanda-tanda penyakit terlihat, dia (Tsai) langsung memperkenalkan 124 langkah untuk memblokir penyebaran (Covid-19), tanpa harus menggunakan penguncian (lockdown) yang menjadi hal lumrah di tempat lain,” tulis Avivah Wittenberg-Cox, berjudul “What Do Countries With The Best Coronavirus Responses Have In Common? Women Leaders” di majalah Forbes, 13 April 2020. Tsai pun tak pernah bicara atau pidato yang aneh-aneh serta tak konsisten, yang membingungkan warganya. Atau membuat acara-acara seremonial untuk membangkitkan solidaritas dan trust di masyarakat. Perempuan pertama yang menjadi presiden di negaranya ini jauh dari kebijakan populisme.

Catatan menarik: saat Covid-19 mulai merajalela, Tsai sebagai calon dari Democratic Progressive Party baru saja terpilih untuk periode kedua sebagai Presiden Taiwan. Pada 11 Januari 2020, dia memperoleh 8,17 juta suara (57,1%), mengalahkan calon presiden dari Partai Kuomintang, Han Kuo-yu, dengan selisih 2,65 juta suara (38,6%), sementara calon presiden dari People First Party, James Soong, hanya memperoleh 608 ribu suara (4,3%).

Akan tetapi Tsai tidaklah sendirian. PhD dari London School of Economics and Political Science tahun 1984 ini bukanlah pemain solo yang senang one man show dan pencitraan dengan jepretan kamera di kanan-kiri. Keberhasilan Taiwan dalam melawan Covid-19 sejauh ini, juga tak bisa dilepaskan dari peran Chen Chien-jen, Wakil Presiden Taiwan yang juga ahli epidemiologi. Seperti jendral perang yang mendampingi panglima tertinggi (presiden), Chien-jen berperan mengatur strategi bagaimana cara mengendalikan virus corona. Selain memainkan strategi berperang, dia juga kerap diminta nasihatnya untuk mengembangkan vaksin dan obat Covid-19 oleh para ahli kesehatan di sana.

Bukan karena posisinya sebagai Wapres yang membuatnya diposisikan seperti itu. Chien-jen memang saintis. Dia adalah ahli epidemiologi lulusan Johns Hopkins University. Dia guru besar di National Taiwan University. Sebelumnya menjabat Direktur Graduate Institute of Epidemiology, dan Dekan College of Public Health di National Taiwan University. Karyanya banyak. Dia menerbitkan lebih dari 500 artikel di sejumlah jurnal, termasuk menulis buku, “The Taiwan Crisis: a showcase of the global arsenic problem (Arsenic in the environment)”. Pengalamannya pun panjang, termasuk saat menghadapi SARS. Ketika itu dia menjabat Menteri Kesehatan Taiwan (2003-2005) dan dipuji karena sukses mengatasi wabah itu. Dengan latar belakang serta pengalamannya, maka begitu pandemi corona menghantam negeri, suaranya begitu didengar.

Chien-jen sendiri turun ke gelanggang menjadi garda terdepan menghadapi pandemi. Dia tak mau membuang waktu di tengah debat soal siapa yang paling bertanggung jawab atas wabah corona, atau diskusi antara ilmuwan penuh ilmu pandemi dengan politikus asal bunyi berbalut kepentingan tentang bagaimana virus menyebar dan manfaat lockdown. Dalam menangani wabah, dia hanya bersandar pada satu hal yang menurutnya paling krusial: sajikan fakta lalu buat kebijakan.

Duet kepemimpinan inilah yang membuat Taiwan bisa berselancar dengan relatif mulus sementara negara-negara lain megap-megap dengan korban yang terus bertumbangan. Yang menarik, keberhasilan ini telah mengundang sejumlah negara lain untuk meniru dan merekomendasikannya untuk bergabung dengan WHO. Sayang, sejauh ini usulan tersebut mental karena China menolaknya mentah-mentah. Maklum, China memang sejak lama menganggap Taiwan adalah bagian dari teritorinya.

Terlepas dari penolakan tersebut, fakta telah berbicara bahwa Taiwan sukses menghadapi virus corona dengan baik. Itu sulit dibantah kecuali oleh mereka yang bebal dan sok pintar. Dan Tsai sendiri tetap menawarkan pengalaman serta bantuan negaranya kepada yang membutuhkan. “Sekalipun kami tak dimasukkan ke dalam PBB dan WHO secara tidak fair, kami tetap berkenan dan mampu untuk menggunakan gabungan kekuatan di sektor manufaktur, pengobatan, serta teknologi bagi dunia. Kita harus menyingkirkan perbedaan dan bekerjasama demi kemanusiaan. Perang melawan Covid-19 membutuhkan kerjasama kolektif seluruh dunia,” ujarnya.

Mencermati dinamika yang berlangsung, terutama di WHO dengan bersikukuhnya China untuk menolak Taiwan dan isu desakan investigasi menyeluruh atas awal mula Covid-19 dari sejumlah negara, menjadi amat menarik bagaimana peran Taiwan kelak dalam membantu warga dunia mengatasi pandemi ini. Bedanya, setelah dilantik menjadi Presiden Taiwan periode 2020-2024 pada 20 Mei 2020, Tsai kali ini didampingi Lai Ching-te sebagai wakil presiden baru, menggantikan Chien-jen. Namun warga Taiwan setidaknya merasa tenang karena Lai Ching-te adalah lulusan Harvard T.H. Chan School of Public Health. Artinya lelaki kelahiran 1959 ini juga memahami isu-isu kesehatan dengan baik. Bukan politisi yang tidak jelas latar belakang pendidikannya, apalagi hanya mengandalkan nama besar dan popularitas orang tua. (Riset: Armiadi Murdiansyah)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved