Covid 19

Pandemi Pacu Pembelajaran Penanganan Kegawatdaruratan bagi Rumah Sakit

Setahun pandemi Covid-19, tenaga medis, organisasi profesi dan kesehatan lainnya memasuki zona bertumbuh, setelah sebelumnya melewati zona ketakutan dan belajar. Para pelaku di sektor kesehatan juga berpacu dengan perkembangan teknologi, termasuk digitalisasi dan di saat yang sama, berjibaku dengan isu keamananan.

Demikian terungkap dalam Workshop Persiapan Kegawatdaruratan Sistem Kesehatan untuk Persiapan Bencana (Disaster Preparedness) Biologis dan Non Biologis yang diselenggarakan dalam rangkaian Indonesia Digital Medic Summit (IDMS) 2021 belum lama ini.

IDMS 2021 diselenggarakan Pusat Digital dan Informasi PERSI (PDPERSI) bekerja sama dengan Komunitas Digital Medis dan Rumah Sakit Indonesia (KITRAS) bergandengan dengan perhimpunan dan asosiasi kesehatan di Indonesia secara virtual.

“Awal-awalnya kita gagap, tapi seluruh dunia juga kini telah memasuki tahap konsolidasi. Sangat penting untuk berkomunikasi agar semua pihak tidak berjalan sendiri-sendiri. Terlebih, kondisi Indonesia belum bisa dievaluasi karena tracing rate juga belum sesuai dengan standar WHO sehingga kita masih harus sangat waspada,” ujar Ketua Bidang Organisasi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI).

Nirwan menekankan konsolidasi ini sangat perlu dilakukan 23 organisasi profesi tenaga kesehatan berdasarkan PP No 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan dan 33 organisasi profesi yang tergabung dalam Forum Organisasi Profesi Kesehatan Indonesia (FOPKI).

“Jangan sampai ada gesekan yang tidak penting, masing-masing organisasi harus punya visi yang sama. Meski sumber daya berbeda, tapi punya potensi untuk bersama-sama menjadi kekuatan dibawah komanda Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),” ujar Nirwan.

Ketua Cabang PDEI Jawa Tengah yang juga Dokter Bedah di RSUP Surakarta Dr Arif Budi Satria Sp.B . menjelaskan RS Lapangan Solo di Benteng Vastenburg Solo diputuskan untuk mendirikan RS lapangan karena saat itu rumah-rumah sakit sudah penuh. Solo pun selalu merah, sesekali saja oranye dan hingga kini masih beroperasi. RS lapangan ini juga baik bagi penanganan pasien karena sirkulasi udara dan temperaturnya.

RS lapangan tersebut, kata Arif, berfokus menangani pasien ringan dan sedang dan dikawal TNI, BNPB serta dokter dari RSUD Dr. Moewardi serta rumah-rumah sakit lainnya di Solo. Pasien yang kondisinya berat, dirujuk ke rumah sakit rujukan.

“Mantranya adalah interkolaborasi antar profesi, seperti keputusan membuka ruang perawatan di asrama haji di Solo. Saat itu kami rapat antar organisasi, adaptasi dilakukan bersama, juga dilakukan delegasi agar dokter tidak kelelahan semua. Kita harus ingat, dokter yang wafat juga sudah banyak, mereka sekolah minimal 10 tahun dan dokter koas juga saat ini juga terhambat sekolahnya,” jelas Arif.

Sementara, Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Kerja sama Muhammdiyah Covid-19 Command Center yang juga Kepala Bagian Instalasi Gawat Darurat RS Muhammadiyah Lamongan dr. Corona Rintawan, Sp.EM menyatakan Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) sebenarnya sudah mengatur simulasi penanganan atau tanggapan kedaruratan, termasuk menghadapi wabah.

Simulasi itu bahkan mengantisipasi konflik yang terjadi antara pribadi dengan rumah sakit, misalnya langkah yang harus dilakukan ketika staf memilih pulang dan tidak melayani pasien.

“Rumah sakit yang kini tengah bertarung dengan Covid-19, sesungguhnya sudah praktik langsung bagaimana menghadapi situasi darurat wabah. Mereka sudah mengatur jadwal tugas tim medis hingga kapasitas rumah sakit. Maka, di akhir perlu dilakukan evaluasi untuk mengukur aspek mana yang masih perlu ditingkatkan,” ujar dr Corona.

Sementara terkait perlindungan hukum untuk tenaga kesehatan dalam penanganan benacana, Direktur Rumah Sakit Haji Jakarta dr. Mahesa Paranadipa M, M.H menyatakan tenaga medis dan rumah sakit harus memahami regulasi, termasuk beberapa diskresi.

“Di antaranya, jika tidak dilengkapi APD, gugur kewajiban melakukan tindakan darurat segera. Hal ini tidak masuk dalam pelanggaran hukum maupun etik. Selain itu, untuk menyelamatkan jiwa/mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan, ini diatur dalam Permenkes No.290/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Perlindungan hukum dan keselamatan seluruh petugas kesehatan menjadi keutamaan dalam situasi pandemi,” ujarnya.

Terkait pengumpulan data Covid-19, Mahesa menuturkan hal itu dinaungi aturan yang menyebutkan pembukaan rahasia kedokteran dalam rangka kepentingan umum yaitu audit medis, ancaman KLB/Wabah penyakit menular, penelitian kesehatan untuk kepentingan negara, pendidikan, ancaman keselamatann orang lain secara individual atau masyarakat. Syaratnya, dilakukan tanpa membuka identitas pasien. Hal itu diatur Permenkes No.36 tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved