Covid 19

Stigma Masyarakat Menyulitkan Penanganan Covid-19

Pendampingan sosial dengan memberikan penguatan di kalangan masyarakat perlu dilakukan guna mengikis stigma atau anggapan negatif pasien Covid-19. Hervitra Diatri, Pengajar KSM Psikiatri FKUI/ RSCM Psikiatri Komunitas (PDKSJI) menjelaskan, stigma terkait dengan Covid-19 utamanya terjadi karena ketakutan akan tertular oleh orang yang terinfeksi atau orang yang dinilai sangat mudah menjadi sumber penularan. Itulah yang membuat orang-orang di sekitarnya menjaga jarak agar tidak terkena penularan.

“Stigma itu ketika kita melabeli orang lain atau sekelompok orang karena sesuatu yang berbeda di dalam dirinya, terutama karena penyakitnya. Saat ini stigma tentang Covid-19 tidak hanya untuk individu, bahkan negara juga bisa terkena stigma,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Stop Stigma: Sebar Cinta Saat Pandemi secara virtual, Senin (28/12/2020).

Menurut Hervita, dampak dari pemikiran tersebut membuat orang yang terkena Covid-19 menjadi dijauhi. Bahkan dampaknya lebih dari itu, bisa muncul rasa marah hingga kekerasan secara fisik. “Masalahnya tidak hanya sampai dijauhi, bahkan muncul kemarahan karena kamu akan membawa risiko kepada saya,” katanya

Hervita menilai pemberian label atau stigma negatif terhadap orang yang terpapar Covid-19 menjadi sangat mudah. “Akhirnya kita ingin melakukan sesuatu yang menjauhkan dia daripada kita seperti komunikasi tidak mau, tutup pintu, hingga kekerasan fisik dan memang yang repot membuat kita menjadi sulit untuk meceritakan apa yang sebenarnya kita alami,” tambah dia.

Padahal mereka yang ketakutan dan tidak mau terbuka akan menyulitkan petugas kesehatan melakukan penelusuran dan tes dengan kontak terdekat. Retno Asti Werdhani, Anggota Subid Tracing Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19/Pengajar FKUI menyebut, jika pasien Covid-19 tidak terbuka memberikan informasi atau tidak kooperatif itu sangat bahaya.

Sebab, orang-orang yang berkontak erat dengan pasien terinfeksi virus corona berpotensi untuk menjadi sumber penularan berikutnya. “Kita tahu bahwa yang terinfeksi Covid-19, itu secara sistem kita mintakan mereka menyebutkan kontak eratnya. Kenyataan di lapangan, karena stigma ini banyak yang ketakutan untuk mereka mengakui bahwa mereka terpapar Covid-19 dan tidak mau dipantau,” katanya.

Ia menjelaskan, dalam penanganan Covid-19 ini tidak hanya 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan) tetapi juga ada 3T (testing, tracing, treatment). Menurut dia, fungsi dilakukan telusur sebenarnya bukan ingin mengindentifikasi atau mencari “tersangka”, tapi ingin membantu mereka memastikan bagaimana kondisi kesehatannya dan terpenuhi kebutuhan logistiknya. Jika hal tersebut tidak ditangani dengan cepat dampaknya orang menjadi menutup diri.

Retno mengungkapkan, stigma terjadi di individu, keluarga/komunitas, dan organisasi. “Khawatirnya yang organisasi ini, misalnya ada yang positif langsung di PHK atau pernah terjadi kasus perawat yang diusir dari kos-kosannya. Ini tidak bagus dari segi fungsi sosialnya,” tuturnya.

Seluruh stigma negatif itu, kata Retno, murni karena kurangnya informasi yang diterima masyarakat dan sebenarnya wajar karena kita baru mengalami hal ini. Hal itu juga bisa terjadi karena banyaknya berita bohong atau hoaks yang beredar. Untuk menangkal hoaks yang beredar, dia berharap semua elemen masyarakat ikut membantu meluruskan persepsi yang salah mengenai Covid-19 dengan penggunaan bahasa yang positif.

Salah satu caranya dengan menginformasikan bahwa Covid-19 merupakan penyakit menular yang dapat sembuh. Sehingga pasien yang sudah sembuh tidak menerima stigma negatif karena dianggap masih membawa virus dalam tubuh mereka.

Selain itu, masyarakat juga bisa berempati terhadap pasien Covid-19 yang harus terisolasi saat menjalani perawatan dan dikucilkan ketika sudah sembuh. “Kita pun jika diberikan stigma seperti itu tidak enak rasanya,” katanya.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved