Profile Diaspora zkumparan

Livi Zheng Konsisten Angkat Budaya Indonesia

Livi Zheng Konsisten Angkat Budaya Indonesia

Meski meniti karier di negeri orang, sutradara Hollywood asal Indonesia Livi Zheng, memiliki prinsip untuk tidak pernah melupakan tempat dia berasal. Perempuan kelahiran Malang, 3 April 1989 ini mengungkapkan keinginannya untuk terus memasukkan unsur-unsur budaya Indonesia dalam setiap karyanya. Seperti film terbarunya yang berjudul Bali: Beats of Paradise yang mengangkat gamelan dan budaya Bali.

Film tersebut mengisahkan perjalanan hidup Nyoman Wenten, seniman gamelan dari Pulau Dewata yang tinggal di Los Angeles. Wenten juga dikenal sebagai pengajar etnomusikologi di UCLA dan Herb Alpert School of Music, serta California Institute of the Arts. Dalam film itu pun mengupas persinggungan Wenten dengan gamelan sejak kecil di Bali hingga membawanya melanglang buana.

Menariknya, film ini terpilih untuk berkompetisi dalam seleksi nominasi Academy Awards atau Piala Oscar 2019. Film tersebut baru saja masuk daftar bersama 76 film yang dianggap telah memenuhi syarat menuju nominasi Best Documentary Feature dan bakal bersaing dengan film-film dokumenter seperti Won’t You Be My Neighbor?, Three Identical Strangers, The Bleeding Edge, Crime + Punishment, Free Solo, Hal, dan The King. Rencananya, film ini akan mulai tayang di bioskop Indonesia pada Juli 2019 mendatang.

Seperti apa kisah Livi dalam mempromosikan budaya Indonesia? Berikut wawancara SWA Online bersama Livi Zheng.

Saat ini apa tantangan terbesar bergelut di industri film?

Kendala terbesar di film itu lebih ke tantangan mental ya, karena dulu-dulu banyak ditolaknya. Pertama kali script-ku ditolak 32 kali, dan beratnya itu kita kan mengerjakan script berbulan-bulan tapi ditolak-ditolak aja, there is no reason and it’s really hard.

Kemudian, dulu kalau sedih itu berminggu-minggu, padahal tidak ada gunanya juga. Bahkan, orang yang menolak juga sudah lupa siapa kita. Kalau sekarang aku sedih itu ada limitnya cukup kalau sedih 4 jam misalkan. Biasanya aku cari makanan Indonesia karena it’s comforting for me. Aku nyetir satu jam cari makanan Indonesia, lalu pulang dan kerja lagi. Jadi walaupun kita ditolak tetap kita harus bangkit lagi.

Kemudian, kendala lain adalah pengurusan visa. Di sana untuk apply visa seniman itu 594 halaman, padahal hanya untuk mendapatkan visa.

Dari mana inspirasi untuk memproduksi film Bali: Beats of Paradise?

Awalnya Konsulat Jenderal Republik Indonesia di LA itu meminta aku membuat semacam teaser atau trailer untuk konser Bali. Kebetulan aku suka ngajar dan aku sudah mengajar di lebih dari 30 universitas, jadi aku kembangkan menjadi film pendek untuk bahan ajar dan konsulat juga bisa menayangkan itu. Ketika itu aku banyak belajar bahwa ternyata gamelan itu sudah dipakai di film “Avatar”, TV Series “Star Tek”, Nintendo Games Mario Brothers, dan juga diajarkan di sekolah-sekolah di Amerika contohnya di Harvard.

Akan tetapi, banyak orang yang tidak tahu gamelan. Jadi, di Amerika itu kalau orang yang sekolahnya composer pasti tahu, kalau bukan they don’t know. Ini sedih dan aku pikir sayang juga kalau ini tidak dijadikan film layar lebar sehingga dibuat lah Bali: Beats of Paradise ini.

Membutuhkan waktu berapa lama untuk memproduksi film tersebut?

Totalnya sekitar satu tahun lebih sedikit untuk memproduksi film ini. Kita juga syutingnya 3 bulan di Indonesia dan Amerika.

Film tersebut sudah tayang di Amerika, bagaimana responsnya?

Responsnya bagus banget karena tayang cukup lama juga, terus kemarin juga kita premier di Academy of Motion Picture Arts and Sciences atau lebih dikenal dengan Headquarter Oscar di New York, ditayangkan di Walt Disney, di bioskop-bioskop, dan diliput lebih dari 100 radio.

Untuk film ini promosinya tidak hanya sekali, pertama dari konser Bali, lalu kita buat acara dekat pantai di Santa Monica, kita buat music video “Queen of the Hill” itu kolaborasi gamelan dan funk music tapi visual dan baju-bajunya Indonesia banget, lalu kita baru tayangkan film, dan setelah itu ada live show music tradisional. Pertengahan tahun ini pun kita akan tayangkan di kampus-kampus di Amerika. Jadi kami promosikan Indonesia itu tidak bisa hanya satu kali karena orang kan belum tahu.

Bagaimana dukungan dari Pemerintah Indonesia dan komunitas diaspora terhadap film ini?

Dukungan dari pemerintah baik, kami launching teaser film Bali: Beats of Paradise pun saat Annual Meetings of the World Bank Group and the IMF Global Media Gathering yang diadakan di World Bank Headquarter bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia Luhut Pandjaitan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo.

Film ini juga diapresiasi oleh tiga menteri yaitu Menteri Pariwisata Arief Yahya, Menteri Pemuda dan Olah Raga Imam Nahrawi, dan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga dalam acara “WOW Brand Festive Day 2019” sebagai Tourism Marketeers of The Year 2019. It’s been great, aku senang didukung oleh mereka. Lalu, dukungan dari komunitas Diaspora pun baik, mereka juga datang ke premier.

Apa harapan Anda untuk industri film di Indonesia?

Di Indonesia itu banyak sekali orang yang berbakat, tapi bioskopnya itu kurang ya. Aku harap setiap kabupaten itu ada bioskop, bioskop itu tidak harus yang 200 seat yang mewah. Di Amerika itu di komplek ada bioskopnya, seat-nya mungkin hanya 20 atau 30. Jadi tidak harus yang mewah, disesuaikan saja misalkan di komplek mungkin 30 seat. Semakin banyak bioskop semakin bagus kan, itu yang saya harapkan.

Apakah berniat kembali ke Indonesia dan berkarya di sini?

Aku inginnya bekerja di Indonesia dan akan sangat senang, tapi saat ini 90% pekerjaanku masih di Amerika.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved