Diaspora zkumparan

Sumbang Saran Para Diaspora Tentang Kota Masa Depan

Sumbang Saran Para Diaspora Tentang Kota Masa Depan

Kongres Diaspora Indonesia ke-5 yang diselenggarakan pada 10, 12-13 Agustus 2019 di The Kasablanka bukan saja menampilkan para diaspora Indonesia yang berbagi pengalaman dan cerita sukses mereka di negeri orang. Juga ada tokoh-tokoh di Indonesia yang telah memberi inspirasi berbagi cerita sukses. Salah satu sesi dalam kongres tersebut, menyampaikan bagaimana gambaran kota masa depan.

Dalam salah satu sesi yang di gelar di Aruba Room The Kasablanka, Jakarta, Iwan Sunito, CEO Grup Crown, berbagi panggung dengan Bima Arya, Wali Kota Bogor; Sutedja Sidarta Darmono, Direktur Jababeka dan Daliana Suryawinata, Atect & Founder of Shau Rotterdam melontarkan ide-ide dan pemikiran tentang kota masa depan.

Menurut Iwan, diaspora Indonesia mestinya jangan dianggap sebagai ‘brain drain’, melainkan ‘brain gain’, dengan keberadaan mereka di banyak belahan dunia. Dengan demikian, mestinya bisa menjadi aset bangsa dan konektor Indonesia di seluruh dunia.

Pria kelahiran Pangkalan Bun Kalimantan yang kini menjadi warga negara Australia ini, mengatakan, para diaspora Indonesia jangan dipersulit atau ditutup jalannya hanya karena kewarganegaraannya, untuk memberikan sumbang tenaga, ide dan pemikiran demi kemajuan Indonesia. “Tidak perlu kembali ke Indonesia, mereka bisa kok menjadi promotor yang bagus buat Indonesia, ambassador bagi negara ini,” terangnya.

Tentang ide ibu kota baru, sebagai kota masa depan Indonesia, pria yang dikenal sukses membangun kerajaan bisnis properti di Australia ini, berpendapat, “Where follow what, merencanakan kota lebih besar itu harus dipikirkan kebutuhan, tren ke depan dan akan seperti apa kota itu nantinya. Bukan sekadar dipindahkan. Ide untuk saat ini yang bagus, bisa jadi 7 tahun kemudian tidak relevan lagi.”

Ia berpendapat, yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah luxury about access, kemudahan masyarakat mendapatkan akses-akses utama ini harus menjadi perhatian dalam membangun kota modern. “Saat ini milenial sangat menyukai co-working space. Next, move to co-living, di mana kita tinggal, di situlah kita bekerja,” ungkapnya. Seperti Iwan sampaikan, harus diset dulu targetnya, untuk membangun ibu kota baru itu, apakah Indonesia ingin menjadikan kota itu sebagai kota terbaik dunia atau kota terbaik se-Asia Tenggara. Dan Iwan mengingatkan kota modern dan terbaik dunia itu, selalu memperhatikan pendidikan.

“Kami ingin mengambil peran dalam membangun Ibu Kota baru di Indonesia, dengan latar belakang Crown. Kami bisa sumbang saran sebagai masterplanning . Kami mau jika diajak kerja sama oleh pemerintah. Membuat smartcity bukan sekadar canggih di teknologinya saja, tetapi harus fokus di edukasi, memahami masyarakat agar lebih bahagia tinggal di dalamnya dengan membawa kebersamaan dan ruang terbuka lebih banyak,” terangnya.

Iwan mencontohkan Ibu Kota Australia, Canberra, meski sudah pindah sejak lama, menurutnya masih termasuk sepi untuk ukurang kota besar. Karenanya, ia mengingatkan dalam membangun kota baru, jangan sekadar membangun, kita harus fokus membangun perguruan-perguruan tinggi terbaik di kota tersebut. New York, salah satu contoh kota besar yang berhasil karena banyak perguruan tinggi bagus.

Bima Arya, mengatakan kota masa depan adalah kota dengan ruang publik yang memadai, bukan saja digunakan untuk kebersamaan warganya, juga sebagai identitas. “Sekitar 2-3 tahun kepimpinan yang saya utamakan dan rapikan adalah ruang terbuka publik. Lalu kota masa depan harus berjalan transparan, layanan perizinan secara online kami bangun, dan minggu depan kami akan meresmikan mal perizinan online di Bogor,” terangnya.

Ia juga menuturkan, dalam upaya membangun komunikasi publik yang mudah di Bogor, pihaknya menyediakan Si Badra untuk komunikasi publik, langsung terkoneksi ke Kepala Dinas agar setiap masalah di kotanya bisa langsung ditangani.

Bima juga menegaskan pemimpin harus mudah dihubungi, maka itu ia menunjuk jubir digital, kemudian menantang para lurah untuk melakukan perubahan secara cepat. dalam Lurah Challenge. Contoh di Sukasari, sungainya kotor dan dalam waktu cepat bersih. “Kota masa depan juga harus mendukung keberagaman, serta menjadikan kolaborasi sebagai keyword, banyak diskusi, ketemu dengan pihak kampus, komunitas, swasta dan media,” terangnya.

“Mengubah mindset warga dan birokrat penting. Tantangan bukan membangunnya, tapi menjaganya. Tantangan lain di anggaran yang terbatas dan Anggota Dewan. Mengajak ASN ke kota-kota dunia adalah cara saya membuka mata mereka, lalu mengajak pimpinan harus turun ke bawah juga,” jelasnya.

“Infrastruktur dibangun untuk changing mind set, pedestrian kami perlebar salah satunya, sempat dicibir. Pedestrian lebar akan makin subur kaki lima, diprotes jalanan jadi lebih sempit. Nyatanya tidak, orang tidak enak buka lapak karena pedestrian bagus,” tandasnya.

Sutedja Sidarta Darmono, Direktur Jababeka, berpendapat, kota masa depan harus ada Transit Oriented Development (TOD), Jababeka sudah tertata sebagai basis industri naik yang siap naik ke 4.0. “Meningkatkan pengembangan ke segala kota,” katanya.

Daliana memandang kota itu seperti tubuh manusia. “Harus ada perencanaan, sebagai upaya preventif dari masalah yang akan terjadi. Lalu kuratif, memperbaiki dan mengembangkan,” katanya. Ia mengaku telah bekerja sama dengan Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, memugar rupa di bawah tol Pasopati sebagi taman film. Juga Microlabrary Bima dan Babakan Sari.

“Kota modern harus membangun lebih banyak ruang bersama yang menarik. Tapi yang utama harus ada strategic planning, ini menjadi kunci membangun kota masa depan. Menyiapkan sumber daya energi dan koneksi transportasi umum,” kata daspora Indonesia yang membangun bisnis konsultan arsitektur di Belanda ini.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved