Youngster Inc. StartUp zkumparan

Berkah Resep Puding Sang Ayah

Adrian Agus dan Eugenie Patricia Agus

Sang kakak, Adrian, kelahiran Sydney, Australia, November 1991. Dia pernah kuliah di Jurusan Entrepreneurship and Innovation Swinburne University, Australia, tetapi tidak sampai selesai. Balik ke Indonesia, dia kuliah lagi di Universitas Pelita Harapan, ini pun tak diselesaikannya karena telanjur sibuk mengurus Puyo. Sementara adiknya, Eugenie, yang lahir di Jakarta, 5 Maret 1994, tahun lalu menyelesaikan S-1 di Prasetya Mulia Business School, Jakarta.

Sehari-hari, Adrian sebagai CEO yang bertugas memikirkan pengembangan bisnis, ekspansi, dan operasional. Adapun Eugenie bertugas di sisi kreatif, yang disebut brand and culture director. “Saya lebih ke branding, campaign, kerjasama, dan creative side lainnya, serta culture karyawan di kantor, bagaimana untuk bonding karyawan, dll.,” kata Eugenie.

Ide berbisnis puding berawal dari kehidupan sehari-hari mereka di rumah. Adrian menuturkan, ayahnya sangat pintar memasak berbagai jenis makanan, termasuk puding. “Meskipun bukan chef, masakan beliau seperti masakan chef, enak sekali,” ujarnya.

Adrian menceritakan, “Beliau sering menyajikan puding dan kami diminta untuk mencicipi, sebagai dessert keluarga kami.” Puding buatan ayahnya ini, menurut dia, juga enak sekali. “Kami pun mulai berpikir untuk menjualnya. Kebetulan kami berdua, saya dan adik saya, kuliah bisnis.”

Adrian dan Eugenie kemudian melakukan riset pasar kecil-kecilan. Mereka mengamati, buat orang Indonesia, puding kini bukan makanan yang asing lagi. Di pesta pernikahan atau ulang tahun, misalnya, puding seakan wajib disajikan. “Tapi, brand yang top of mind untuk puding belum ada. Kalau makanan lain kan ada, misalnya kalau es krim, ya Walls; kalau kopi, ada Starbucks. Di situlah kami menemukan market fitting-nya,” ungkap Adrian.

Selanjutnya, bermodalkan Rp 5 juta yang dipinjami orang tua, mereka mulai mengembangkan bisnis puding. Uang itu digunakan untuk membeli kulkas dan bahan-bahan untuk eksperimen membuat puding dengan berbagai varian rasa agar menarik, serta melakukan branding. Merek Puyo ternyata berasal dari nama adik sepupu mereka. “Nama panggilannya imut, Puyo. Kami merasa nama tersebut cocok dengan image puding yang mau kami jual. Waktu itu saya bilang ke dia: aku beli nama kamu ya buat puding ini. Lalu, buat lucu-lucuan, kami bikin semacam kontrak, namanya dibeli seharga Rp 30 ribu,” kata Adrian sambil tertawa.

Setelah bereksperimen sekitar tiga bulan, mereka mulai menawarkan secara online melalui Instagram pada Juli 2013. “Beberapa bulan pertama belum mempekerjakan orang, hanya dibantu asisten rumah tangga,” kata Eugenie, yang bersama Adrian menerima SWA di kantornya, PT Puyo Indonesia Kreasi, di Taman Tekno BSD, Tangerang Selatan, Banten.

Setelah beberapa bulan dipasarkan secara online, dari keuntungan yang didapat, mereka memberanikan diri membuka booth resmi pertama di Living World Alam Sutera pada Oktober 2013. Sejak itu, Puyo terus berekspansi hingga sekarang memiliki 41 gerai yang tersebar di mal-mal Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, bahkan sudah mulai merambah Karawang dan Bandung. Semua gerai milik sendiri. “Kami masih fokus untuk menjamin kualitas, mau menguatkan brand dulu. Karena, kalau franchise, quality control-nya harus benar-benar dijaga,” kata Adrian sambil menambahkan, Puyo kini memiliki sekitar 200 karyawan, sebagian besar staf di gerai-gerai Puyo.

Dalam beberapa bulan, kakak-beradik ini sudah bisa mengembalikan uang pinjaman orang tuanya. “Yang kami tidak menyangka, sampai sekarang kami tidak menambah modal lagi. Jadi, uang yang kami putar ya hanya dari Rp 5 juta yang awalnya kami pinjam dari orang tua kami itu,” kata Adrian yang mengaku bahwa orang tuanyalah yang menjadi mentor utama dalam membesarkan bisnis Puyo, bahkan sampai sekarang.

Eugenie memaparkan, produk andalan Puyo ada dua. Pertama, Silky Dessert, yang rasanya terus berganti-ganti. Total ada 12 rasa, antara lain buble gum, cokelat, cotton candy, mangga, leci, stroberi, dan semangka; terkadang ada rasa yang limited, khusus untuk momen atau campaign tertentu. Kedua, Silky Drink, yang juga beragam rasa, seperti kopi, susu, dan yakult. Harga jual Puyo Rp 13.500 per cup, semua rasa harganya sama. “Bahan baku Puyo adalah susu nabati, tidak menggunakan susu sapi, sehingga membuat tidak eneg,” kata Eugenie.

Adrian menambahkan, puding Puyo rendah kalori (hanya 120 kalori), tidak pakai pengawet, serta menggunakan bahan serat yang bagus. “Puyo bisa dibilang dessert yang cukup sehat,” katanya setengah berpromosi.

Menurut Eugenie, awalnya Puyo menyasar segmen anak muda karena waktu itu (2013) yang menggunakan Instagram kebanyakan anak muda. Namun, saat ini banyak ibu-ibu yang membeli Puyo buat keluarganya. “Kebanyakan memang diperkenalkan oleh anaknya. Sekarang, konsumen kami bahkan dari anak kecil sampai orang tua. Apalagi, kami baru saja buka di Eka Hospital, jadi banyak yang beli Puyo sebagai buah tangan,” katanya.

Puyo juga memberi kesempatan kepada pelanggannya untuk berdonasi ketika membeli produknya. Tahun lalu, kata Eugenie, Puyo mendonasikan Rp 102 juta untuk pelestarian habitat penyu di Laut Sawu. Setelah itu, donasi untuk perpustakaan yang bekerjasama dengan Taman Bacaan Pelangi dan menggandeng Vidi Aldiano. Berlanjut lagi bulan lalu, menggandeng Chelsea Islan, untuk donasi membangun perpustakaan di Flores, nilainya sekitar Rp 100 juta.

Model donasinya, Puyo memproduksi varian rasa khusus; jika konsumen membeli rasa tersebut, berarti sudah ikut menyumbang Rp 2.000 per cup untuk membangun perpustakaan. “Core value perusahaan kami adalah to give back to the community that we serve. Ketika kita diberkati oleh sebuah bisnis, kita harus memberkati orang juga lebih banyak lagi. Semakin besar Puyo, give back to community juga harus makin besar. Setiap tahun akan selalu ada campaign donasi,” kata Eugenie bersemangat.

Atas kegigihan dan prestasinya itu, belum lama ini Adrian dan Eugenie mendapat penghargaan Forbes 30 Under 30 Asia 2018. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved