Youngster Inc. StartUp zkumparan

Harapan Mario dan Vicky Kembangkan Kibo Cheese Cake

Harapan Mario dan Vicky Kembangkan Kibo Cheese Cake

Vicky KurniawanBooming bolu keju Jepang (Japanese cheese cake) menggelitik kakak-beradik Mario Rovani (32 tahun) dan Vicky Kurniawan (27 tahun) untuk mencoba mengembangkan bisnis makanan itu di Indonesia. Ketika mengunjungi sang kakak yang tengah menempuh studi S-2 bioteknologi di Jepang, Vicky menemukan betapa banyak aneka dessert menggiurkan di sana. “Saya mencicipi cheese cake-nya dan inspiring sekali untuk membuat itu. Saya berpikir kalau dibawa ke Indonesia, akan pecah banget,” kata Vicky mengenang kejadian pada tahun 2014 itu.

Rupanya minat Vicky didukung Mario yang diam-diam menyukai dunia masak-memasak. Bahkan karena hobinya itu, sembari kuliah Mario juga sekolah masak. “Di situ kami sepakat terjun ke dunia kuliner,” cerita Vicky yang mula-mula terkendala jarak untuk mengeksekusi mimpinya bersama sang kakak.

Baru pada awal 2016, sekembalinya Mario dari Jepang, mereka dapat mewujudkan keinginan membuat penganan asal Jepang itu. Namun, karena tak mau berkompetisi langsung dengan para pemain besar, Mario dan Vicky berusaha membuat inovasi produk. Serupa tetapi tidak sama: penganan bertekstur lembut dan empuk itu dibuat lebih soft dan di dalamnya ada melting-nya. “Selama lima bulan kami benar-benar trial and error,” kata Vicky.

Setelah merasa cukup kuat dan menemukan formula yang pas untuk lidah konsumen lokal, Mario dan Vicky berani mengibarkan bendera Kibo Cheese Cake. “Kibo” dalam bahasa Jepang berarti harapan. Harapan untuk kemajuan dan keberhasilan. Seperti terlihat dalam logo, ada titik dari kecil sampai besar, yang diartikan dari sesuatu yang kecil harapan itu semakin besar. “Background saya di bidang marketing, communication, dan public relations juga. Jadi, dari pertama saya mengurusi masalah campaign, branding, dan sebagainya,” ungkap Vicky yang lulusan Universitas Binus. “Kami berbagi tugas. Kakak bertugas urusan resep dan produksi, sementara saya lebih mengurus manajemen, operasional, dan marketing,” lanjutnya. Dengan pembagian tugas, tidak terjadi tumpang tindih dalam pekerjaan.

Diakui Vicky, modal mengembangkan bisnis bolu keju Jepang ini tidak sedikit, sekitar Rp 500 juta. Mario dan Vicky berpatungan dengan om mereka yang menempatkan saham di Kibo. Untuk modal online, Vicky memperkirakan sekitar Rp 50 juta, untuk membeli oven, alat pengemas, bahan, serta kulkas. “Sementara ketika kami ekspansi, Om menyertakan dukungan yang kini diwujudkan dalam saham,” papar Vicky yang memiliki enam gerai (di Grand Indonesia, Kota Casablanca, Lotte Avenue, PIK Avenue, Aeon, dan SMS).

“Tahun ini kami akan ekspansi ke Bekasi dan Bogor, sekitar tiga store di semester dua,” ungkapnya tentang ekspansi Kibo.

kue kibo

Ditegaskannya, inovasi produk adalah hal mutlak yang harus dilakukan. Pada dasarnya, ada empat rasa, yaitu orisinal, saltedegg, cokelat, dan matca. Di luar rasa ini, setiap bulan Kibo mengeluarkan satu sampai dua rasa baru yang seasonal. Misalnya, di bulan Desember sempat mengeluarkan rasa mangga, stroberi; pada bulan April ada rasa Taro. “Inovasi produk kami lakukan, terus-menerus,” ujar Vicky yang setiap hari bisa menjual 150-200 kue/per gerai. Pada akhir pekan, penjualan meningkat kira-kira 350 kue/gerai.

Setelah tiga tahun berjalan, Vicky optimistis Kibo sukses di pasaran. Saat ini omset per bulan setiap gerainya Rp 150 juta-200 juta. Kibo memiliki keunikan yang pas dengan lidah konsumen lokal. Selain itu, ia juga meyakini, seiring dengan perkembangan budaya Jepang di Tanah Air, tren dessert Jepang akan terus berkembang. Masih banyak hal yang bisa dieksplorasi dari penganan khas Negeri Matahari Terbit itu.

Optimisme itu semakin kuat karena jenis kue yang dibuatnya belum terlalu banyak yang meniru. “Kompetitor langsung memang belum ada, tapi kompetitor tidak langsungnya cukup banyak, seperti softcake dan pillowcake,” kata Vicky. Menurutnya, memang harus melakukan inovasi terus, terutama mengenai varian rasa. Diakuinya, tantangan di bisnis kuliner cukup besar. Bisnis ini berkembang cepat sekali. Banyak investor besar masuk ke bisnis kuliner. “Sehingga, kami memang tidak boleh lengah,” ia menegaskan kembali.

Bagi Vicky, yang terpenting sekarang, bagaimana pelanggan benar-benar puas dan menyukai produknya sehingga mereka terus kembali membeli. “Prinsip saya, harus double wow,” ujarnya. Wow pertama, tertarik dan suka; sedangkan wow kedua, konsumen terus membeli dan membeli lagi. Hal itu diakuinya tidak mudah karena persaingan terus terjadi, terutama dalam hal harga. “Harga kami relatif tinggi karena bahan bakunya masih impor langsung dari Jepang,” kata Vicky seraya menambahkan, harga kuenya Rp 30 ribu-35 ribu per potong. (*)

Reportase: Sri Niken Handayani

Riset: Elsi


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved