Trends Economic Issues zkumparan

Pemerintah Harus Atur Harga Batu Bara untuk Kelistrikan

Pemerintah harus mengeluarkan ‎kebijakan harga batu bara khusus untuk sektor kelistrikan, sebelum komponen harga batu bara masuk ke formula pembentukan tarif listrik.

Tujuannya untuk meredam kenaikan tarif listrik yang dibebankan kepada masyarakat. Saran ini mengacu pada tingginya harga batu bara sekarang yang mencapai US$100 per metrik ton. Ini tidak terlepas dari harga batu bara mengikuti harga pasar dunia yang naik signifikan. Kondisi tersebut tentu memberatkan PLN karena lebih dari 50 persen listrik yang dihasilkan berasal dari PLTU.

Pemanfaatan batubara di sejumlah negara di dunia, menjadikan para penambang batu bara juga tergiur mengekspor. Itu sebabnya pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan penjualan batu bara untuk kepentingan dalam negeri (Domestic Market Obligation) tahun 2018, menjadi 25 persen dari rencana produksi dalam negeri.

“Berdasar ketentuan tersebut, maka kewajiban DMO tahun ini berpotensi naik menjadi 121 juta ton. Kementerian ESDM menyatakan, batas atas produksi tahun ini adalah 485 juta ton, “ ujar Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono dalam diskusi energi interaktif bertema, ”Proyek 35 Ribu MW, DMO Batubara & Harga Listrik,” di Jakarta, pekan ini.

Kendati setiap tahun DMO belum mencapai target, namun ketentuan DMO ini harus didukung untuk kepentingan yang lebih besar di dalam negeri. Seperti tahun 2017, penyerapan DMO di dalam negeri adalah 97 juta ton, artinya masih lebih rendah dari kewajiban seharusnya DMO tahun 2017 yaitu 121 juta ton.

Tahun 2018, Kementerian ESDM menetapkan DMO mendekati 121 juta ton, atau paling tidak dapat mencapai 114 juta ton. Ini didasari pada mulai beroperasinya sejumlah PLTU dan terjadinya peningkatan kebutuhan sejumlah industri yang menggunakan batu bara di dalam negeri.

Penerapan DMO yang paling penting adalah harga batu bara untuk konsumsi domestik, khususnya untuk perusahaan seperti PLN dalam kaitan sebagai PSO (Public Service Obligation). Adapun kategori batubara yang digunakan untuk konsumsi di dalam negeri adalah yang kalori-nya 4.000’an. Sementara yang diekspor, minimal adalah batu bara dengan kalori di atas 5.000, sehingga tidak masuk akal kalau harga di dalam negeri mengikuti harga yang diekspor (market price).

Prof Iwa Garniwa, pakar kelistrikan sekaligus Guru Besar Teknik UI, mendukung penetapan DMO. Sebab, hal tersebut merupakan salah satu bentuk distorsi pemerintah, sepanjang hal tersebut bertujuan menjaga kepentingan masyarakat, dan sebagai solusi untuk meningkatkan daya saing produksi di dalam negeri.

“Untuk mengimplementasikannya dalam bentuk penetapan harga atas dan harga bawah dalam DMO, perlu dibicarakan bersama antara kepentingan masyarakat, pemerintah, dan asosiasi pengusaha batu bara,” jelasnya.

Target listrik 35 ribu MW mendesak

Sebagai bagian dari upaya pemerintah menyediakan listrik 35 ribu MW sekitar 5 tahun sejak 2015, yang membutuhkan dana sekitar Rp 1.200 triliun, akan dipenuhi oleh PLN sebesar Rp 585 triliun untuk pembangkit sebesar 10 MW maupun investor yang bergerak di sektor swasta sebesar Rp 615 triliun dengan sistem penjualan IPP (Independent Power Producer), bagi pembangunan pembangkit listrik 25 ribu MW.

Dari total dana Rp 585 triliun, PLN mengalokasikan untuk pembangunan pembangkit sebesar Rp 200 triliun, sedangkan transmisi serta gardu induk sebesar Rp 385 triliun. Dana ini 35% berasal dari modal kerja dan 65% dalam bentuk sindikasi pinjaman.

Karena itu tuduhan LSM Walhi, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menggunakan uang rakyat tidak terbukti, karena dana diambil dari investasi swasta, modal kerja, dan pinjaman.

Pada diskusi yang diselenggarakan oleh Radio MNC Trijaya Network, pengamat ekonomi energi UGM, Fahmy Radhi, menyatakan hal senada. Menurutnya, pengadaan listrik 35 ribu MW di Indonesia, akan menjadi satu posisi kedudukan, apabila industri di dalamnya sudah mulai bertumbuh. Hal tersebut yang akan membedakannya dengan negara-negara maju di dunia. Sementara itu, mayoritas pembangkit listrik tersebut adalah PLTU yang menggunakan batu bara, karena saat ini PLN sudah menggunakan teknologi pembangkit batu bara yang efisien, ramah lingkungan, dan rendah emisi.

Pemanfaatan batu bara ini dianggap paling masuk akal dalam perhitungan PLN. Hal tersebut mengacu pada melimpahnya sumber daya alam ini di Indonesia. Saat ini kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik di Indonesia berada pada kisaran 84,8 juta ton/tahun, namun jumlah ini relatif kecil dibandingkan dengan cadangan nyata batubara di Indonesia, yang mencapai 123,52 miliar ton.

Angka ini setara yang digunakan PLTU di seluruh Indonesia, di mana jumlah tersebut hanya mencapai 84,8 juta ton/tahun. Pemanfaatan batu bara sebagai tenaga listrik di seluruh dunia rata-rata di atas 40%, karena biayanya relatif murah. Dengan biaya operasional yang murah tersebut, maka harga jual ke konsumen menjadi lebih murah.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved