My Article

Fanatik terhadap KPI, Bahaya!

Fanatik terhadap KPI, Bahaya!

Oleh : Melani K. Harriman, Ak, MBA, CFA

Krisis ekonomi menimbulkan pertanyaan serius pada pelaku bisnis, khususnya chief executive officer (CEO) yang berada di garis depan pasukan bisnis, mengenai tujuan bisnis mereka yang seharusnya. Di tengah tudingan beberapa pengamat bahwa berbagai temuan bidang keuangan adalah penyebab krisis, sebut saja bagaimana mortgage backed securities yang dipecah menjadi berbagai trance yang kemudian dikemas sedemikian, sehingga risiko yang sebenarnya tidak transparan lagi.

Istilah “meningkatkan nilai bagi pemegang saham” sering kali disamakan dengan harga saham dan berbagai indikator populer, misalnya laba per saham (P/E), earning per share (EPS) atau yang lebih operasional kenaikan laba bersih.

Bila investor ataupun CEO perusahaan sama-sama setuju bahwa perusahaan mengejar penciptaan nilai bagi pemegang saham alias peningkatan nilai investasi, dapat kita sepakati bahwa semua keputusan tertuju pada penciptaan nilai pemegang saham. Adanya tujuan utama ini – jungkir balik pokoknya menciptakan nilai pemegang saham – berbeda dari fokus mentah-mentah mengejar pencapaian sejumlah indikator tanpa fokus pada penciptaan nilai sebagai tujuan utama.

Apa itu Menciptakan Nilai?

Untuk menciptakan nilai sebuah perusahaan perlu berinvestasi di proyek-proyek yang menghasilkan kas masuk lebih besar dari kas keluar. Kas masuk dan kas keluar dihitung dengan nilai sekarang atau istilah keuangannya net present value (NPV). Proyek yang menciptakan nilai menghasilkan NPV positif.

Bila harga saham dapat diamati setiap saat, nilai intrinsik perusahaan tak dapat dilihat oleh seorang manusia pun. Bila harga saham merupakan hasil ramalan sejumlah analis, nilai intrinsik yang merupakan nilai yang dapat diharapkan dari kas masuk dan keluar dari suatu perusahaan bukan ramalan itu. Namun, investor yang teliti akan mengetahui adanya penyimpangan besar dalam ramalan kolektif yang menjadi harga pasar dan nilai intrinsik. Bila harga pasar dianggap terlalu rendah, investor jagoan itu akan membeli. Sebaliknya, bila harga dianggap terlalu tinggi, investor itu bahkan dapat melakukan short sell. Dengan proses seperti ini, harga akan berfluktuasi di dekat nilai intrinsik dan harga saham menjadi indikator nilai intrinsik.

Jadi, bedakan antara kumpulan harapan para analis dan pembeli dengan penjual saham dan nilai. Harga adalah hasil negosiasi dari pembeli dan penjual yang terbentuk dari harapan masing-masing pembeli dan penjual. Manajemen perusahaan punya kekuasaan untuk meningkatkan nilai intrinsik itu. Manajemen punya kuasa dalam menentukan nilai perusahaan dengan pengaruhnya terhadap apa yang dapat manajemen lihat dan hitung. Karenanya, perusahaan menentukan key performance indicator (KPI) untuk mengukur seberapa jauh manajernya meningkatkan nilai intrinsik.

Apakah menargetkan KPI dapat otomatis menciptakan nilai? Bila perusahaan membeli usaha lain untuk meningkatkan EPS, akankah otomatis nilai intrinsiknya naik? Bukankah investor yang cerdik dapat menentukan dari perkiraan NPV-nya?

Dari pemaparan di atas kita dapat melihat bahwa sikap kaku mematok seperangkat indikator dapat berbahaya. Ingat, risiko utama bagi seorang CEO adalah risiko penurunan nilai perusahaan. CEO, silakan melakukan “audit nilai” terhadap perangkat KPI Anda! Apakah tim Anda mengejar sejumlah KPI demi bonus tahunan dan bukan pada peningkatan nilai perusahaan?

Manajemen Menentukan Nilai Perusahaan

Apakah implikasinya bagi manajemen? Bila Anda seorang CEO yang menginginkan bursa memberi nilai tertentu pada perusahaan Anda, Anda tinggal menghitung efek berbagai pilihan strategi terhadap nilai perusahaan. Dengan kata lain tentukan apakah berbagai strategi itu NPV-nya positif?

Indonesia memiliki ekonomi yang berprospek tumbuh dibanding ekonomi berkembang di Eropa yang dibebani oleh usia populasi yang menua dan keterbatasan anggaran pemerintah, misalnya Rusia. Indonesia memiliki struktur kependudukan yang didominasi penduduk usia muda, golongan menengah yang bertumbuh. Dalam persaingan menjual kepada konsumen secara berkelanjutan nampak usaha penyedia barang konsumen untuk akrab, memiliki hubungan emosi dengan konsumen usia muda, serta terus bertahan menjadi sahabat konsumen mudanya yang kemudian tumbuh menjadi golongan menengah dan atas.

Unilever merambah ke pembuatan film animasi Paddle Pop Elemagika, tidak hanya menjual es krim halus dan bermutu yang harganya terjangkau. Film tersebut menganjurkan hidup selaras dengan alam yang terlestarikan. Aqua merangkul konsumen usia muda sampai orang tua yang mengambil keputusan dengan penyediaan air sehat yang semakin langka. Frisian Flag meluncurkan identitas merek dengan tema bagi generasi tunas Raih Esokmu. Kelanjutan keakraban merek dengan pelanggan muda – hubungan emosi – terpelihara, arus kas dari penjualan konsumen pun terjaga. Proyek-proyek pelestarian merek ini menjadi contoh dari usaha menumbuhkan aset tak berwujud dalam bentuk hubungan emosi dengan konsumen, sambil tak lupa berinovasi dalam meningkatkan manfaat produk serta mengendalikan biaya dalam memperoleh uang masuk. Meningkatkan manfaat produk ini misalnya dengan menambah senyawa imunoglobulin yang diyakini dapat membantu kekebalan tubuh konsumen.

Contoh-contoh di atas menunjukkan adanya KPI yang tidak konvensional dalam meningkatkan nilai. CEO, dalam meningkatkan nilai perusahaan, jangkauannya tidak hanya dalam kuartal dan tahun, tetapi perhatikan pertumbuhan dalam jangka panjang. Nilai perusahaan Anda ada dalam genggaman Anda, pusatkan usaha ke nilai, nilai dan nilai dan komunikasikan dengan pasar agar negosiasi harga berjalan secara fair. Harga saham Anda tak akan melenceng terlalu jauh dari nilai intrinsik perusahaan.

Penulis adalah pengajar Corporate Finance di beberapa perguruan tinggi.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved