Next Gen

Reynold Wijaya, Mantab Terjun di Bisnis Fintech

Reynold Wijaya, Mantab Terjun di Bisnis Fintech

Buah tak jauh jatuh dari pohonnya. Mungkin itulah peribahasa yang cocok menggambarkan Reynold Wijaya, anak ketiga dari pasangan Harsono Pangjaya dan Susylia Sukana, pendiri Grup Unifam (United Family). Kiprah Grup Unifam di Tanah Air bisa dikatakan cukup besar. Di bidang makanan misalnya, perusahaan yang berdiri sejak tahun 1981 ini punya merek yang telah mengglobal, seperti permen Milkita, serta es Kiko dan Phino.

Reynold Wijaya

Meski sebagai anak seorang pengusaha besar, tak lantas membuat Reynold begitu saja nebeng kesuksesan orang tuanya. Alih-alih ikut nimbrung di perusahaan orang tua, kini Reynold lebih sibuk mengurus bisnisnya sendiri di bidang teknologi finansial. Ia mengaku sedang asyik-asyiknya bereksperimen dengan usaha barunya itu.

Toh, Unifam, ia ceritakan, masih bisa berjalan tanpa dirinya. Orang tuanya masih terlibat dalam aktivitas perusahaan. Ada kakak-kakaknya pula yang membantu bisnis keluarganya. “Tanpa saya, bisnis keluarga tetap bisa berjalan. Sekarang ini, saya lebih memilih menarik diri, tetapi tidak menutup kemungkinan jika nanti saya akan kembali. Pertama-tama, saya ingin usaha saya maju dan berkembang lebih dulu,” Reynold menegaskan.

Awalnya, ia sempat menjajal karier di perusahaan keluarga selama kurang lebih tiga tahun. Reynold pernah menjabat sebagai asisten vice president manufakturing, jabatan yang memang cocok dengan latar belakang pendidikannya. Ia merupakan lulusan Industrial and Operations Engineering dari University of Michigan untuk gelar sarjana dan master. “Saya pikir awalnya saya akan kembali ke perusahaan keluarga setelah lulus kuliah, tetapi keinginan saya berubah setelah saya melanjutkan pendidikan lagi di Harvard Business School,” ujarnya menceritakan.

Di Harvard ia berteman dengan Kelvin Theo, yang memiliki latar belakang pendidikan dan karier di dunia finansial. Lewat perbincangan sederhana di asrama mahasiswa, terbesitlah ide untuk membuat sebuah perusahaan teknologi pinjam-meminjam langsung atau peer to peer landing. Mereka berdua telah sangat familier dengan model bisnis tersebut, lantaran praktik bisnisnya telah lazim dilakukan di AS. “Kami ingin mengadopsinya ke Asia Tenggara,” ia menjelaskan.

Tahun 2015, singkat cerita mereka mulai merealisasikan mimpinya. Keduanya berhasil memperoleh pendanaan dan membentuk perusahaan teknologi finansial bernama Funding Societies di Singapura. Hampir setahun kemudian, mereka bahkan melebarkan sayap ke Indonesia dengan nama Modalku. Ia punya pertimbangan tersendiri mengapa memilih Singapura lebih dulu dibanding Indonesia. Salah satunya, pembuktian diri bahwa adopsi tersebut bisa berjalan lancar. “Karena kalau di Indonesia lebih tricky, saya harus yakinkan diri dulu I can do this. Kalau sudah membuktikan diri akan lebih mudah, dibanding belum ada apa-apanya lalu masuk ke sini, itu lebih sulit,” Reynold menuturkan.

Ia mengaku bangga bisa menghadirkan sebuah platform yang bisa mempermudah usaha kecil dan menengah memperoleh modal kerja. Musababnya, menurutnya, banyak UKM yang saat ini belum bankable, padahal punya prospek yang bagus bila diberi kesempatan. “Saya ingin hadir di sana, ingin mempermudah UKM memperoleh pendanaan. Karena kalau berbicara bisnis, semua perusahaan besar dulunya juga UKM. Unifam dulunya juga UKM sebelum bisa sebesar sekarang,” ujar Reynold.

Dari sisi kinerja, bisa dikatakan, bisnis besutan Reynold dan Kelvin ini bertumbuh signifikan. Funding Societies misalnya, telah menyalurkan pinjaman sebanyak S$ 5 juta atau sekitar Rp 48,2 miliar dengan tingkat pembayaran 100% atau NPL 0%. Begitu pun Modalku, yang baru berjalan tiga bulan, tercatat telah menyalurkan pinjaman sekitar Rp 2,1 miliar kepada 10 peminjam.

Reynold tidak mematok target tertentu dari segi angka. Nomor tiga dari empat bersaudara ini memilih membangun kepercayaan dan ekosistem yang baik lebih dulu. Salah satu yang dilakukannya adalah dengan proses screening yang ketat dan menjalin kerja sama dengan Bank Sinarmas sebagai pihak escrow agent yang akan mengelola rekening penampungan selama proses pemberian pinjaman berlangsung. “Karena, bagaimanapun, ini merupakan bisnis kepercayaan,” ia menandaskan.

Para investor, menurutnya, tak perlu ragu menginvestasikan uangnya di Modalku. Sebab, para peminjam telah melalui proses seleksi yang panjang, mencakup lima tahap, baik online maupun offline. Peminjam harus melewati verifikasi aplikasi, profile screening, verifikasi antifraud dengan cara melakukan site visit, psychometric testing untuk mengetahui psikologi atau karakter peminjam, hingga evaluasi bisnis dan keuangan. “Peminjam yang memiliki risiko bisnis sangat tinggi, tidak akan kami terima,” Reynold menambahkan.

Di Modalku, ia melakukan monetisasi bisnis dengan membebankan fee atas setiap kesepakatan nilai yang rampung. Besarannya 3%-4% untuk pemberi pinjaman, dan 3% untuk peminjam. Adapun jumlah pinjaman yang dapat diminta oleh peminjam berkisar Rp 50-500 juta dengan tenor 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan. Bunganya 15%–20% per tahun. Pemberi pinjaman bebas menaruh uangnya di UKM yang mereka anggap menarik. “Tapi untuk mengurangi risiko, kami sarankan melakukan diversifikasi portofolio,” ujarnya.

Dihubungi secara terpisah, ibunda Reynold, Susylia Sukana, mengatakan, dirinya sangat mendukung langkah anaknya itu. Ia tidak berkeberatan Reynold memilih mengembangkan bisnis sendiri di luar bisnis keluarga. Ia tidak punya kekhawatiran bila anaknya itu gagal. “Kalau tidak diberi kesempatan tidak akan mandiri. Kami sebagai orang tua membebaskan dia untuk berkreasi,” ujarnya.

Susylia pun mengaku tak memberikan arahan tertentu bagi Reynold dalam menjalankan bisnisnya. Ia punya keyakinan Reynold telah belajar dengan sendirinya dari pengalaman hidupnya dibesarkan dalam keluarga pebisnis. “Kami ini keluarga bisnis. Kalau kumpul bicaranya bisnis, jadi selalu tukar pikiran kalau sedang kumpul. Tidak perlu diarahkan lagi,” Susylia menandaskan.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved