Property

Mitigasi Risiko Industri Properti Diperkuat Untuk Meminimalisir Risiko Pailit

Model kawasan perumahan. (Ilustrasi foto : Istimewa)

Konsumen perlu mengkaji legalitas proyek properti dan penyerahan sertifikat dipercepat untuk menambah mitigasi risiko yang melindungi konsumen dari penyimpangan perilaku pelaku usaha properti. Konsumen dan perusahaan pengembang properti diimbau pula membuat opsi perjanjian tidak saling menuntut pailit.

Ke depannya, revisi Undang-Undang Kepailitan didorong untuk direalisasikan untuk mencegah penyelewengan sehingga memperkuat industri properti nasional. Demikian kesimpulan dari Cornel B Juniarto, Hermawan Juniarto & Partners (member of Deloitte Legal Network) dan Erwin Kallo dari Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia pada dikusi bertajuk Pailit di Industri Properti, Siapa Untung Siapa Rugi di Jakarta, Jum’at (18/9/2020)

Maraknya kasus kepailitan yang menimpa pada sejumlah perusahaan pengembang properti nasional menambah persoalan baru di tengah masa pandemi Covid-19. Industri properti yang tengah berjuang untuk kembali bangkit akibat anjloknya penjualan terpaksa harus menghadapi persoalan serius yang dipicu oleh terjadinya kasus kepailitan. Kasus kepailitan dinilai justru kontra produktif dan akan sangat merugikan semua pihak, baik konsumen maupun pengembang properti.

Maraknya kasus kepailitan menciptakan bahaya baru bagi industri properti nasional, dan berdampak dapat secara sistemik mempengaruhi 175 industri ikutan dengan 30 juta tenaga kerjanya. Cornel berpendapat undang-undang maupun peraturan tentang kepailitan ibarat pisau bermata dua. Ia mencontohkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). “Mitigasi risiko, seperti mempercepat sertifikasi untuk konsumen dan konsumen ditempatkan statusnya sebagai akun preferen karena pembangunan properti itu biasanya menggunakan uang konsumen,” sebut Erwin, praktisi hukum propert.

UU Kepailitan dan PKPU merupakan payung hukum bagi para pelaku usaha dan pemangku kepentingan yang mengatur tata cara atau mekanisme penyelesaian kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian atau transaksi. Namun demikian, UU Kepailitan dan PKPU telah mengalami beragam ujian, khususnya berkaitan dengan tingkat efektifitasnya sebagai sumber hukum dalam penyelesaian kewajiban antara kreditur dan debitur di masyarakat.

Secara sederhana, kepailitan dikenal sebagai sarana yang dapat digunakan oleh para kreditur untuk “memaksa” debitur menyelesaikan kewajibannya, sementara sebaliknya PKPU merupakan sarana yang dapat digunakan bagi debitur untuk menyelamatkan usahanya dari ancaman kebangkrutan. “Namun kenyataannya, dalam beberapa kasus, UU kepailitan dan PKPU justru digunakan oleh debitur sebagai sarana untuk menghindari pemenuhan kewajbannya terhadap para kreditur,” tegas Cornel menambahkan.

Cornel menyampaikan faktor-faktor penting yang dapat membantu masyarakat atau badan hukum memahami kerangka hukum Kepailitan dan PKPU secara utuh, termasuk kepailitan sukarela (voluntary bankruptcy) dan restrukturisasi utang melalui Pengadilan Niaga.

Khusus bagi perusahaan terbuka atau perusahaan publik, ia menyoroti beberapa aspek kepatuhan hukum (legal compliance issues) yang wajib dilakukan apabila mendapat gugatan pailit dari krediturnya, atau ketika mengajukan kepailitan sukarela. Secara prosedur kepailitan sukarela yang diajukan sendiri oleh debitur memang dimungkinkan dan telah diatur di dalam UU Kepailitan dan PKPU. Kepailitan sukarela diperuntukan bagi debitur yang secara sadar memahami bahwa perusahaan berada dalam keadaan insolvent atau tidak memiliki dana untuk melunasi utang.

Mereka secara sukarela mengajukan permohonan pailit terhadap dirinya sendiri dengan tujuan agar melalui Pengadilan Niaga, seluruh kewajibannya kepada kreditur dapat diselesaikan. Menurutnya kepailitan sukarela seharusnya bukan merupakan sarana bagi debitur untuk menghidari penyelesaian kewajibannya kepada kreditur ketika dalam keadaan solvent.

Namun demikian, ia mencatat ada beberapa kasus yang ditengarai merupakan kepailitan sukarela yang tujuannya justru untuk menghindari penyelesaian kewajibannya kepada krediturnya. “Kepailitan semu semacam ini jelas merupakan antitesis dari tujuan kepailitan sukarela yang diatur di dalam Undang-Undang Kepailitan,” tegasnya lebih lanjut. Pada sisi lain, Cornel juga mencermati adanya fakta bahwa PKPU yang pada dasarnya ditujukan sebagai sarana bagi debitur untuk merestrukturisasi hutangnya kepada kreditur melalui Pengadilan Niaga, malahan digunakan oleh debitur nakal untuk menghindari kewajibannya.

Perlindungan Konsumen dan DeveloperModus lainnya yakni sengaja digunakan oleh distressed investors untuk mendapatkan aset suatu perusahaan yang mengalami masalah keuangan dengan harga yang murah. Pihak developer yang digugat pailit atau PKPU jelas mengalami kerugian dari berbagai sisi, termasuk materiil hingga runtuhnya kepercayaan pasar. Padahal, acap kali gugatan pailit tidak selalu mencerminkan kondisi riil dari perusahaan, namun lebih karena ulah oknum yang ingin menunggang kesempatan. Selain kerugian bagi developer properti, permasalahan pailit yang mendera industri properti juga bisa merugikan dan berdampak signifikan pada konsumen.

Akibatnya konsumen harus melalui jalan berliku nan panjang untuk mendapatkan kepastian haknya. Maraknya kasus kepailitan, menurut Erwin, merugikan banyak pihak. Perlindungan terhadap konsumen dan perusahaan pengembang properti perlu menjadi prioritas karena acap kali kasus pailit justru ditunggangi oleh perilaku oknum yang diduga memiliki kepentingan tertentu.

Pada kenyataannya, menurut Erwin, konsumen properti adalah pihak yang paling dirugikan jika terjadi kasus pailit. Hal ini karena konsumen bukan kreditur preferen sehingga pengembalian dana dilaksanakan paling akhir, jika semua pihak telah terbayarkan. “Justru itu, konsumen mau tidak mau harus mencegah terjadi pailit dalam rapat kreditur dengan menggunakan hak suara,” kata Erwin lebih lanjut. “Dan yang paling untung adalah oknum, para distressed investor dan tentu saja kurator. Karena kurator langsung mendapatkan bagian 7% di depan, apapun hasil akhir kepailitannya,” Ewin menambahkan.

Menghadapi adanya tren dan fenomena kepalitan ini, Cornel dan Erwin menyampaikan pendapat senada bahwa revisi UU Kepailitan dan PKPU diakselerasi oleh pemerintah dan DPR untuk melindungi industri properti termasuk konsumen dan developer dari ulah para oknum.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved