Selamatkan Kelapa Sawit Kita!
Beberapa bulan lalu, tepatnya April hingga Oktober 2024, penulis mendapatkan kesempatan berharga untuk mengikuti Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I (PKN I) Angkatan ke-60 (LX) yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN RI). Dalam pelatihan ini, penulis memperoleh pengalaman dan wawasan yang sangat berharga, terutama terkait peningkatan kompetensi manajerial, mulai dari kepemimpinan kolaboratif, kemampuan berpikir holistik, hingga keterampilan dalam memimpin kebijakan lintas instansi/sektor.
Pagi ini, ditemani hujan dan secangkir espresso favorit, penulis mengenang kembali pengalaman pelatihan yang begitu berkesan. Salah satu momen paling menarik adalah saat penulis bersama rekan-rekan menyusun Policy Brief (Polbrief). Dokumen ini akan disampaikan kepada para pemangku kepentingan sebagai rekomendasi kebijakan strategis. Oleh karena itu, pemilihan topik yang tepat menjadi sangat krusial. Diperlukan pemikiran yang holistik agar tema yang diangkat benar-benar memberikan dampak positif bagi kebijakan nasional.
Mengapa Kelapa Sawit?
Bagi penulis, isu terkait kelapa sawit sangatlah menarik. Indonesia tidak hanya menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia, tetapi juga merupakan salah satu konsumen terbesarnya. Berdasarkan data, Indonesia menyumbang 59% produksi minyak sawit global, sementara konsumsi domestiknya mencapai setara 24% dari total konsumsi minyak sawit global. Bersama Malaysia, Indonesia menguasai 85% pasokan minyak sawit global.
Dengan pangsa pasar sebesar ini, potensi pendapatan negara yang bisa diraih tentu sangat besar. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal ini belum berjalan maksimal. Muncul pertanyaan: ada apa dengan tata kelola kelapa sawit kita?
Mari kita kaji ulang. Jika kita melihat lebih dalam, kelapa sawit dan produk turunannya telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia, dengan menyumbang 3,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 16 juta orang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebuah angka yang fantastis, bukan?
Tak hanya itu, nilai ekspor crude palm oil (CPO) Indonesia mencapai US$25,07 miliar, menjadikannya penyumbang ekspor non-migas terbesar pada 2023. Program Biodiesel 35 (B35) yang memanfaatkan minyak sawit juga berkontribusi pada penghematan devisa negara sebesar Rp161 triliun.
Dengan pencapaian tersebut, sudah sewajarnya sektor ini menjadi perhatian (concern) bersama untuk membenahi tata kelola agar lebih optimal lagi sebagai salah satu sumber penghasilan negara.
Namun, di balik potensi besar tersebut, tantangan tidak bisa diabaikan. Penulis ingat betul, pembahasan kelapa sawit ini sangat seru ketika membahas mengenai tantangan kelapa sawit. Di antaranya adalah persaingan dengan minyak nabati lain seperti minyak bunga matahari yang semakin ketat, terutama setelah adanya Black Sea Grain Initiative pada 2022 yang membuat harga minyak nabati lain lebih kompetitif.
Tantangan lainnya adalah adanya penurunan permintaan di pasar utama CPO sebagai akibat tuntutan yang semakin tinggi terhadap tata kelola pengusahaan kelapa sawit terhadap perubahan iklim, kerusakan lingkungan dan polusi.
Berbicara langkah perbaikan, tentu sudah banyak hal yang dilakukan, diantaranya melalui moratorium perluasan kebun sawit; pengoptimalan fungsi Satgas Sawit untuk menangani kasus-kasus perizinan atas penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit; pemenuhan kewajiban kemitraan perusahaan dan masyarakat; perbaikan tata kelola ketenagakerjaan sesuai amanat Undang-undang Cipta Kerja; rencana pemutakhiran ISPO; serta perluasan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada petani kelapa sawit. Namun pelaksanaannya menghadapi tantangan yang cukup besar.
Ke depan, transformasi tata kelola investasi kelapa sawit perlu diarahkan untuk menjadikan misi investasi kelapa sawit selaras dan sebangun dengan misi pembangunan keberlanjutan.
Strategi Transformasi Kelapa Sawit
Agar sektor kelapa sawit dapat menjadi sumber pendapatan negara yang lebih optimal, penulis meyakini diperlukan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
- Peningkatan efektivitas regulasi: Penegakan hukum, audit, dan penyelarasan regulasi terutama terkait perizinan, penggunaan lahan, dan pendirian pabrik harus lebih tegas dengan dukungan integrasi kebijakan satu data dan satu peta kelapa sawit.
- Ratifikasi konvensi internasional: Indonesia perlu segera meratifikasi beberapa konvensi penting seperti ILO 110 tentang kondisi kerja buruh perkebunan, ILO 184 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja/K3, serta ILO 129 terkait pengawasan ketenagakerjaan di sektor pertanian, dan melengkapinya dengan aturan-aturan turunannya.
- Pembentukan badan khusus kelapa sawit: Badan ini harus memiliki kewenangan dari hulu ke hilir, didukung oleh fungsi dan kewenangan Satgas Sawit yang diperkuat selama masa transisi.
- Kolaborasi dalam pengawasan: Melibatkan instansi pusat, daerah, hingga masyarakat desa dalam mengawasi perizinan, kesesuaian penggunaan lahan dan tata ruang, ketenagakerjaan, kemitraan, dan pengutamaan pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.
- Hilirisasi yang terintegrasi hulu-hilir: Akselerasi hilirisasi kelapa sawit hulu-hilir perlu didukung oleh SDM berkualitas, inovasi teknologi, infrastruktur yang andal, serta partisipasi aktif dari UMKM, koperasi, dan BUMDesa.
Memajukan Kemandirian Indonesia Melalui Program Asta Cita
Pemerintahan Prabowo Subianto telah memperkenalkan visi yang dikenal sebagai Asta Cita, atau delapan tujuan utama yang berfokus pada mewujudkan kemandirian bangsa Indonesia di berbagai sektor strategis. Beberapa pilar utama dari visi ini mencakup hilirisasi industri, swasembada energi, serta swasembada pangan dan peningkatan asupan gizi. Visi ini memberikan angin segar bagi upaya pembenahan tata kelola kelapa sawit di Indonesia.
Hilirisasi industri menjadi perhatian khusus dari pemerintahan Prabowo, dengan rencana percepatan pengembangan industri hilir di sektor pertambangan, perkebunan, dan perikanan. Salah satu contoh konkret adalah pengolahan nikel menjadi baterai kendaraan listrik, serta pengembangan industri kelapa sawit menjadi biofuel.
Dukungan berupa insentif investasi, kemudahan perizinan usaha, dan pembangunan infrastruktur akan diberikan. Melalui strategi hilirisasi ini, diharapkan dapat tercipta lapangan kerja baru, peningkatan pendapatan negara dari ekspor produk bernilai tambah, serta mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
Dalam agenda energi, pemerintahan Prabowo berkomitmen mempercepat transisi ke energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan meningkatkan eksplorasi sumber daya energi domestik. Salah satu fokusnya adalah pengembangan biofuel berbasis kelapa sawit, disertai dengan pembangunan infrastruktur energi yang efisien dan ramah lingkungan.
Dengan mengoptimalkan sumber daya energi domestik, Indonesia diharapkan dapat meningkatkan ketahanan nasional, mengurangi beban subsidi energi, dan mendukung agenda pembangunan yang berkelanjutan.
Kemudian, dalam hal swasembada pangan, Pemerintah Prabowo berencana untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian dengan memberikan dukungan berupa subsidi pupuk, bibit, dan teknologi pertanian. Fokus utama adalah modernisasi pertanian, perluasan lahan, serta akses pembiayaan bagi petani.
Dengan mencapai swasembada pangan, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor, menstabilkan harga bahan pangan, dan meningkatkan kesejahteraan petani lokal, tidak terkecuali untuk para petani kelapa sawit.
Selain itu, pemerintahan Prabowo juga meluncurkan program peningkatan gizi dengan memperkuat edukasi masyarakat mengenai pentingnya pola makan sehat. Program ini mencakup pemberian makanan tambahan di sekolah-sekolah, khususnya di wilayah rentan kekurangan gizi.
Dengan adanya inisiatif ini, diharapkan dapat menurunkan angka stunting, memperbaiki kesehatan generasi muda, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Program Asta Cita ini menunjukkan komitmen Prabowo untuk meningkatkan kemandirian Indonesia di bidang pangan, energi, dan industri, sekaligus memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui akses pangan yang lebih bergizi.
Jika berhasil diimplementasikan, visi ini diharapkan dapat memperkuat ketahanan nasional, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan tak kalah penting, sumber daya alam yang ada di bumi pertiwi Indonesia, termasuk kelapa sawit tetap dapat dinikmati oleh anak cucu kita di masa yang akan datang.
Semoga.
Mari selamatkan kelapa sawit kita! (*)
Penulis: Dr. Drs. Mulyadin Malik, M.Si., CIGS - Kepala Pusat Pelatihan Pegawai ASN Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal