Sajian Utama

Gatot Prawiro, Tak Pernah Bermimpi Bekerja di Perusahaan Multinasional

Gatot Prawiro, Tak Pernah Bermimpi Bekerja di Perusahaan Multinasional

Tidak terpikir sebelumnya oleh pria kelahiran 17 Juli 1962 ini bahwa dirinya akan bekerja di perusahaan multinasional seperti General Electric (GE). Namun, berkat prestasinya, saat ini Gatot Prawiro menempati posisi puncak sebagai Regional Executive Jenbacher Gas engine GE Energy Asia Pasifik.

Dengan jabatan strategis yang diemban sejak Desember 2009 itu, Gatot membawahkan GE Energy di sejumlah negara, seperti Jepang, Korea Selatan, Vietnam, Filipina, Thailand, Singapura, Australia, Selandia Baru dan Fiji. “Saya pemimpin bisnis Janbacher di Asia Pasifik. Bagi saya ini menantang sekali karena kliennya berbeda kultur. Tentunya, tiap-tiap negara ada perbedaan dalam penanganannya,” Gatot mengungkapkan.

Sebagai gambaran, Janbacher adalah perusahaan penghasil mesin Jenbacher, mesin yang mampu mengubah kandungan gas menjadi energi yang bisa digunakan untuk pembangkit listrik. Jenbacher adalah perusahaan yang dibeli GE. Sejatinya, posisi yang dijabat Gatot merupakan posisi baru. Sebelumnya, Jenbacher ditangani dalam unit tersebar dan kini menjadi unit bisnis tersendiri. Karena produk yang ia tangani, unit bisnis yang ia pimpin itu memiliki tim penjualan dengan pembagian wilayah: Asia Utara, Asia Tenggara, dan Australia-Selandia Baru. Dan, dalam pemasarannya, pihaknya menggunakan sejumlah distributor di tiap negara yang strategis. “Melaui distributor itulah kami menjual, memasang dan juga menyervis mesin yang kami pasarkan,” ungkap pria yang ketika remaja tinggal di Inggris ini.

Gatot bukan orang baru di GE. Tahun 1995, ia mulai berbagung dengan GE Power System — sekarang GE Energy– sebagai Manajer Pengembangan Pasar. Kliennya di GE mirip seperti kliennya ketika ia bekerja di perusahaan sebelumnya, PT Techindo Import, yang menjual genset atau mesin diesel kepada kliennya, seperti PLN dan Goodyear.

Setelah dua tahun di GE, ia dipromosikan sebagai Country Leader Indonesia di GE Power System. Karena Indonesia terkena dampak krisis Asia di 1998, maka tahun 1999 ia dipindahkan ke Schenectady, New York, Amerika Serikat. Di Negeri Abang Sam itu, ia didapuk menjadi Manajer Komersial GE Power System. Schenectady merupakan kantor pusat GE Power System. Lalu, pertengahan 2000-01, ia kembali ke Indonesia, menjabat sebagai Country Manager GE Power System.

Nah, pada pertengahan 2001 Gatot kembali ke AS dan mulai beristirahat dari GE. Di negeri tersebut dirinya terpanggil untuk melakukan pelayanan gereja. Tahun 2003, ia kembali ke Indonesia. Tak lama kemudian ia bergabung dengan Nokia Network Indonesia. “Di sini saya diangkat sebagai Direktur Network Nokia,” kata sarjana lulusan Jurusan Teknik Mesin Bristol Polytechnic, Inggris, ini mengenang.

Gatot mengakui dirinya banyak belajar dari pengalaman bekerja di Nokia, seperti mengasah keahlian manajerial dan kepemimpinan. Kala itu, ia memimpin 95 orang. Bahkan, anak buahnya dari berbagai negara, seperti Filipina, Finlandia, India dan Jerman. Itu ia lakoni hingga 2004. “But still….ternyata DNA saya ada di listrik,” ujarnya. Sempat juga ketika itu, ia ingin mengadu nasib dengan membuka usaha sendiri di bidang energi yang menggunakan energi matahari. Untuk mendapatkan informasi tentang energi itu, saat itu ia sering menyambangi Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Berasal dari sanalah, kepulangan dirinya ke Indonesia langsung diketahui oleh banyak pihak yang dulu sempat berhubungan. Nah, kebetulan ada mantan karyawannya di GE yang membuka perusahaan head-hunter, yang kemudian menawari Gatot agar kembali bergabung dengan GE. Akhirnya, Gatot terdampar kembali di GE sejak Mei 2005 sebagai Country Executive GE Energy Indonesia. “Tugas saya adalah mengawasi segalanya di bawah GE Energy Indonesia agar berjalan sesuai jalurnya,” kata peraih gelar M.Sc. Teknik Mesin dari Cranfield Institute of Technology Inggris ini.

Dan, pada 2008, ia mulai menjabat sebagai Country Executive GE Energy untuk empat negara: Indonesia, Malaysia, Filipina dan Brunei. Nah, sejak Desember 2009, ia dipromosikan untuk menduduki posisi sekarang ini. Sebagai regional executive yang membawahkan wilayah Asia Pasifik, ada dua tugas utama yang diembannya. Pertama, memasuki pasar lebih dalam lagi. Pasalnya, ketika ia mulai memimpin bidang ini, sudah ada hampir 1.000 mesin Jenbacher yang tersebar di Asia Pasifik.

Kedua, membuka pasar baru. Misalnya, sebelum ia memimpin bidang ini, tidak ada wacana coal bed methane (CBM). Nah, sejak awal bergabung, Gatot mengaku sudah mempersiapkan diri untuk mengelolanya. CBM terdapat di lapisan bawah batu bara. Karena terlalu dalam, CBM tidak bisa diperoleh dengan ditambang. Batu bara itu terjepit gas metana. Cara mengeluarkannya adalah mengebor sampai 800 meter ke bawah dari permukaan bumi.

Ketika dibor, air yang berada di lapisan tanah itu harus dipompa. Air itu sebetulnya yang menahan gas untuk keluar. Air itu disedot dan ketika penyedotan dilakukan, gas metana bisa ikut tersedot. Saat itulah mesin Jenbacher bekerja mengolahnya menjadi tenaga listrik. Menurutnya, bisnis ini potensial karena di Indonesia kandungan CBM-nya melebihi kandungan LNG.

Sekarang, sudah mulai banyak pengeboran dilakukan secara umum oleh perusahaan. Tak mengherankan, ada 21 kontrak yang ditandatangani perusahaannya yang berkaitan dengan penyedotan gas. “Dari awal saya sudah melihat potensi itu. Pada dasarnya itu akan menambah jualan mesin di ladang yang sama. Kami bisa masuk ke daerah batu bara untuk memproduksi gas,” ungkapnya.

Gatot meyakini, pertumbuhan dua digit masih bisa dihasilkan dalam bisnis Jenbacher. “Angka setiap negara tidak bisa kami sebutkan,” katanya. Yang pasti, Indonesia, Australia, Thailand dan Filipina merupakan empat negara yang berpotensi dalam target pasarnya. “Tadinya kami melihat Filipina tidak ada harapan. Setelah kami teliti lagi, kapasitas mesin kami bisa memproduksi gas kecil.”

Lalu, apa kiat Gatot bisa memiliki karier cemerlang? “Di mana pun kita bekerja, kalau kita membawa hati kita, pasti pasar melihat kita yang penuh dengan semangat,” katanya memberi nasihat. Artinya, menjaga reputasi itu superpenting. “People will get to know us as a nice person,” ia menegaskan. Namun, sebaliknya, kalau ingin membangun citra sebagai orang tukang tipu, selesai sudah. Klien juga kapok.

“Tahu tidak julukan salah satu Direktur PLN yang sudah almarhum pada saya apa? Dia suka bertanya, ‘Mana supplier kita yang sastrawan itu’,” katanya sambil tertawa lebar. Mengapa begitu? Soalnya, sebagai supplier, dirinya datang seperti seorang akademis dengan visi seperti ingin membangun. Kepada siapa pun pelanggan yang ia datangi, Gatot selalu bilang, “How can I help you?” Ia menceritakan, “Saya tidak datang dengan pertanyaan langsung, ‘Saya dengar Anda membutuhkan sekian megawatt listrik. Saya punya barang yang supercanggih harganya sekian.’ Saya tidak begitu.” Hal itu ia lakukan karena dirinya berhadapan dengan manusia sehingga sangat penting untuk lebih bersikap manusiawi.

Gatot teringat teori yang pernah ia pelajari mengenai lingkaran emas. Pada lingkaran terdalam terdapat pertanyaan why, kemudian lingkaran berikutnya how, what. Nah, menurutnya, kebanyakan dari kita kalau berjualan lebih pada menjalankan what-nya. Padahal, manusia tidak terkoneksi dengan what-nya, bahkan tidak di how-nya. Misalnya, seseorang berjualan alat yang canggih ini karena ini dan itu. Nah, unsur penyebab masuk pada how. Sayangnya, tidak masuk pada why. Padahal, yang membuat manusia bergerak untuk memutuskan adalah why-nya. “Itu sudah masuk pada keyakinan. What I do today is because is I believe,” ia menuturkan.

Gatot pernah mengatakan sesuatu pada timnya pada tahun 2007 ketika GE sedang krisis. Dan, justru pada 2008 GE bisa bangkit. “Saya bilang sama teman saya, ‘Ketika kita bangun di Senin pagi, janganlah kita berpikir hal-hal kecil. Berpikirlah pada hal-hal besar yang bisa kita bangun, seperti saya ingin membangun negara ini’.”

Jadi, untuk apa kita berada di sini? Ya, untuk hal-hal yang besar. Karena kalau berpikir kita berada di sini hanya semata kantong kita, perut kita, itu tidak cukup besar untuk tantangan yang akan dihadapi. “Jadi, kalau kita berpikir, gua bekerja di sini untuk mendapatkan gaji akhir bulan yang cuma sekian rupiah, ya gak bangun. Kenapa? Karena kita gak excited. Tapi kalau kita bangun, dan berjanji dalam hati bahwa hari ini kita akan melakukan sesuatu yang besar, I will do my part. Itu kan suatu visi yang lebih besar. Bahwa kita adalah bagian dari gambaran yang lebih besar lagi,” ujarnya panjang lebar.

Itu sangat penting. Dan itu masuk dalam why-nya. Bahwa, manusia akan bergerak kalau sudah kena hatinya. “Saya juga tidak sengaja menemukan cara seperti ‘How can I help you’. Padahal, saya juga tidak mempelajari buku-buku motivasi,” ungkapnya.

Gatot pun tidak mau kalau tim yang dipimpinnya bekerja karena aturan, hukuman, atau bahkan karena adanya reward. Memang ada betulnya kalau tak terukur, tidak akan dikerjakan, dan sebuah perusahaan memang perlu seperti itu. Namun, sesuatu yang dikerjakan yang berasal dari hati akan menghasilkan sesuatu yang lebih besar lagi.

Ia mencontohkan The Wright Brothers, yang mampu membuat mesin yang bisa terbang. Di satu sisi, saat itu Pemerintah AS menggaji seseorang untuk menciptakan the flying machine. Namun, begitu Wright Bersaudara berhasil membuat cikal bakal pesawat terbang, orang yang khusus dipekerjakan tadi diberhentikan. Mengapa? Karena, mereka bekerja semata karena gaji. Tidak menggunakan passion. Itulah mengapa perlu membakar dan meng-encourage karyawan untuk bekerja dari hati. “Tentunya kalau sudah bekerja dari hati, jangan dieksploitasi dong. Jangan disemena-menakan dong. Tentunya, gaji dan reward-nya juga harus bagus,” ucapnya.

Hal itulah yang selalu Gatot tekankan pada anak buah di Asia Pasifik. “Kalau ada yang bilang. ‘Don’t take it personally’, oh justru saya akan melakukan yang berkebalikannya, take it personally, take it heart. Because you can change the world if you can do work from the heart,” katanya mengungkap prinsip kerjanya. Dengan prinsip itulah, Gatot berhasil menempati posisi puncak di perusahaan multinasional.

Dede Suryadi dan Rias Andriati

Riset: Evi Amanayati


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved