Sajian Utama

Iriawan Ibarat, CEO PT Goodyear Indonesia Tbk.: Komandan Muda Jago Turnaround

Oleh Admin
Iriawan Ibarat, CEO PT Goodyear Indonesia Tbk.: Komandan Muda Jago Turnaround

Kalem dan tenang. Nyaris tanpa ekspresi, ia terus mencermati acara peluncuran ban baru Goodyear Assurance Fuel Max di Immigrant, Plaza Indonesia, pada Oktober 2010.

“Saya memang agak pendiam. Lihat dulu, analisis dulu, baru bicara. Mungkin karena saya orang keuangan,” begitu pengakuan Iriawan Ibarat, CEO PT Goodyear Indonesia Tbk. (GI).

Iriawan, yang akrab dipangil Alex, tampaknya memang sosok yang bersahaja. Hal ini tampak dari sikap penyandang gelar sarjana Accounting, Finance and Operations Management dari Indiana University, Bloomington, AS (1993) ini yang tak suka menonjolkan diri. “Mungkin karena usianya yang muda, ia kerap menempatkan diri sebagai

teman, lebih egaliter, tidak terlalu berjarak,” ujar Irwansyah, Manajer Hubungan Industri GI yang telah berkarier selama lima tahun di perusahaan itu. Adapun di mata Deisi Christianti, Corporate & Marketing Communications GI, Iriawan adalah sosok yang to the point, kalkulatif dan hati-hati.

Iriawan adalah CEO termuda dari seluruh jaringan perwakilan Goodyear di seluruh dunia ketika ditunjuk sebagai CEO GI pada 2008. Saat itu usianya baru 36 tahun. Pria kelahiran 15 Juli 1972 asal Tapanuli ini bergabung sejak 30 Mei 2006 sebagai Direktur Keuangan.

Meskipun usianya relatif muda, Iriawan memiliki pengalaman kerja di berbagai negara seperti Singapura, Myanmar dan Vietnam. Pria yang menyelesaikan SMA-nya di Padang ini tercatat sebagai Country Manager Kuok Singapore (perusahaan keuangan) dan Manajer Keuangan & Proses Bisnis Kodak Singapore Pte. Ltd. Di Indonesia, sebelum bergabung dengan Goodyear, ia sempat berkiprah di PT Allianz Life Indonesia sebagai General Manager Finance, Administration & Customer Relations Health & Pension Division, serta di PT APL Zuellig Pharma sebagai Manajer Unit Bisnis OTC Products & Consumer.

Menurut sulung dari tiga bersaudara dari pasangan pedagang asal Tapanuli ini, kepulangannya ke Indonesia beberapa waktu lalu berawal dari panggilan telepon dari head-hunter yang menawarinya bergabung dengan Allianz. Tawaran itu pun ia terima meskipun kala itu ia sama sekali tidak mengerti bisnis asuransi. “I come from the consumer good company, tapi saya dan bos saya bekerja sama untuk turnaround bisnis asuransi,” ujarnya. Pilihan kepadanya bukan tanpa alasan. “Saya boleh dibilang seorang turnaround specialist. Jadi, saya selalu dikasih challenge di perusahaan yang situasinya sulit,” ujar pria yang mengawali kariernya sebagai Akuntan dan Analis Keuangan Imitation Singapore Pte Ltd. pada 1994 ini.

Julukan itu diberikan kepadanya merujuk pada pengalamannya menghadapi krisis pada 1998 di Kodak Singapore Pte. Ltd. Di sana ia harus mengatasi kondisi keuangan perusahaan yang stuck sekaligus menangani perusahaan yang berada di Singapura dan Malaysia. Di sini, ia banyak belajar berbagai aspek. “Restrukturisasi bukan sesuatu yang mudah karena sometimes you must combine, you have to let go some people, lalu mengembalikan revenue kembali dalam waktu dua tahun seperti sebelum krisis,” kata Iriawan yang saat itu duduk sebagai Manajer Keuangan dan Proses Bisnis.

Ia mengaku tak menyangka tugas serupa datang kembali padanya 10 tahun kemudian. Tepatnya pada Juli/Agustus 2008 ia diminta langsung oleh kantor pusat Goodyear di Amerika Serikat untuk menjadi CEO perusahaan yang merupakan salah satu dari perusahaan pertama yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada 1980 itu.

Lalu, bagaimana respons Iriawan tentang penunjukan itu? “Saya tidak memikirkan jabatan. Saya hanya berpikir bagaimana krisis (pada 2008) ini tidak membuat semakin buruk. Saat itu harga minyak US$ 140 dan harga bahan baku naik, di mana banyak perusahaan kolaps. Jadi, semua energi dipikirkan untuk tidak melakukan lay off,” ujar pria yang membawahkan 1.166 karyawan ini. Ia menengarai pilihan dijatuhkan padanya karena ia sudah bergabung selama dua tahun sehingga mereka telah memastikan penjiwaan, kematangan, kepemimpinan, kapabilitas dan kompetensinya. Alhasil, aspek probabilitas untuk mengerti bisnis ban dan sukses lebih besar. “Saya (berusaha) melakukan yang terbaik, without any expectation. Secara personal jika Anda ekspektasi sesuatu tapi tidak mendapatkannya, hal itu akan menyakitkan. Jadi, lakukan saja yang terbaik di segala sesuatu,” katanya menandaskan.

Namun, pilihan pada Iriawan tampaknya tak lepas dari prestasinya selama dua tahun menjadi Direktur Keuangan. Ketika ia bergabung pada 2006, kondisi keuangan GI mengalami rugi sejak 2005. Waktu itu, ia bersama tim melakukan pembenahan dari sisi internal dan eksternal. Memasuki 2007, GI mengalami turnaround alias untung. “Tahun 2008 sebetulnya untung juga, tapi lima bulan terakhir (dari tahun buku 2008) mengambil tujuh bulan di depannya (karena krisis global). Nah, pada 2009 turnaround-nya besar sekali. Kami bisa menjaga demand dan pricing management konstan dengan bahan baku yang lebih murah,” ujarnya bangga sambil menjelaskan, selama 2006-09, tingkat pertumbuhan pendapatan GI mencapai 70%. Ia memperkirakan pendapatan GI hingga akhir 2010 mencapai Rp 1,44 triliun atau naik 20% dibandingkan 2009 yang sebesar Rp 1,29 triliun. Pasalnya, GI meningkatkan kapasitas produksi dari 8.000 ban/hari menjadi 11 ribu-12 ribu ban/hari.

Terkait usianya yang muda, diakuinya, awalnya kadang-kadang sulit. “Kebanyakan yang memberikan report ke saya lebih tua dari saya. Ada yang usianya 50-an tahun yang pantasnya jadi bapak saya,” ujarnya terus terang. Namun dengan pengalamannya selama delapan tahun di luar negeri — di mana dalam bekerja seseorang tak dilihat dari usianya, tetapi kapabilitasnya — persoalan usia ini bisa diatasi.

Penunjukan Iriawan sebagai CEO perusahaan yang didirikan pada 1935 ini punya arti penting dan istimewa. Selama 30 tahun terakhir GI selalu dipimpin ekspatriat. Orang Indonesia yang pertama kali memimpin perusahaan ini adalah Syafiri Alim, ayah pebalap Chandra Alim. Iriawan merupakan orang Indonesia kedua yang jadi komandan di GI. Di sisi lain, tampaknya penunjukan ini terkait dengan imbas krisis global yang mendera perusahaan tersebut. Dengan bekal pengalamannya, ia diyakini mampu mengatasinya.

Kekhawatiran kantor pusat cukup beralasan karena akibat krisis sejumlah pabrik Goodyear di berbagai negara ditutup. Alhasil, negara yang dilayani perusahaan yang berada di atas lahan seluas 172.000 m2 di Bogor ini pun bertambah, dari 25 negara sebelum 2008 menjadi 52 negara sejak 2008. Tak hanya sampai di situ, dalam kondisi permintaan turun, pabrik hanya beroperasi lima hari, Sabtu-Minggu libur. Bandingkan dengan sebelumnya, yang beroperasi 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. “Untuk industri apa pun, terutama padat modal, jika basis produksinya tidak jalan selama dua hari, biasanya akan berdampak besar. Karena, fixed cost mereka setiap hari,” ungkap Iriwawan. Karena itu, ia mengakui, tak mudah mengelola pabrik. “Mereka harus punya economies of scale.”

Dijelaskan Iriawan, untuk menghadapi krisis global waktu itu, ia melakukan sejumlah langkah. “Saya mempersiapkan diri dari kemungkinan terburuk. Caranya, kami mencari demand-nya sehingga bisa berproduksi lima hari, dan jangan sampai libur tiga hari,” ujarnya. Target pencapaian lain, tidak mem-PHK-kan siapa pun, kecuali restrukturisasi beberapa support function. Di pabrik, sama sekali tidak ada. “Ini untuk mengurangi man hours-nya. Sebenarnya barang Indonesia tidak sulit berkompetisi, tapi ini imbas krisis global sehingga kredit juga agak macet,” katanya. Di sisi lain, baginya, krisis bisa dipakai sebagai kesempatan untuk me-review organisasi perusahaan, produksi dan pelanggan, serta mengganti distributor.

Untuk melayani kebutuhan dari negara lain, GI pun menambah kapasitas produksi hampir 46%. “Saat itu juga saya meminjam dana perbankan lokal,” katanya. Padahal, umumnya masalah pendanaan pada perusahaan multinasional ditangani perusahaan induknya. “Saya pikir alangkah bagusnya kalau kita bisa membantu perbankan lokal, berarti multiplyer effect-nya lebih bagus,” katanya lagi. Dan terhitung sejak 2008, Goodyear telah menginvestasikan lebih dari US$ 50 juta untuk mengembangkan pabrik di Bogor dan meningkatkan kapasitas produksi ban radial sebesar 65%.

Penunjukan Indonesia sebagai basis produksi untuk memenuhi kebutuhan negara lain, bagi Iriawan, memiliki makna lain. “Artinya, produk Indonesia memiliki kualitas ekspor dan sesuai dengan standar di 52 negara. Istilahnya, produk Amerika, harga Bogor,” ujarnya. Dan, hal ini memperkuat posisi pabrik di Indonesia, sebagai salah satu aset paling penting dan vital bagi Grup Goodyear di dunia.

Pilihan kantor pusat Goodyear pada pabrik di Indonesia bukan tanpa alasan. Yakni, pabrik di sini merupakan pabrik yang paling kompetitif dalam Grup Goodyear. Begitu pula dalam hal produksi, harga dan kualitas. Saat ini perbandingan antara produk untuk ekspor dan lokal 50:50.

Kepercayaan terhadap GI semakin kentara jika melihat fasilitas dan kemampuan pabrik. Iriawan menjelaskan, sekarang GI merupakan salah satu pabrik dengan fasilitas terbesar yang memproduksi cross-ply/bias ban secara global, plus ban yang spesifik untuk off-the-road dan kendaraan pertanian. Sementara untuk pasar domestik, selain ban, Goodyear juga memproduksi original equipment bagi sejumlah perusahaan otomotif terkemuka (Toyota, Honda, Daihatsu dan Mercedes-Benz).

Diungkapkan Iriawan, hal yang disukai dari GI adalah tantangannya yang keras. “Goodyear dikelola dari end to end atau dari produksi sampai penjualan kepada customer. Tidak banyak perusahaan seperti ini, biasanya hanya services industry, atau mengambil barang impor,” ujarnya. Ia menjelaskan, mereka tidak suka membangun pabrik karena harus berhadapan dengan serikat pekerja, sejumlah tuntutan, dan lingkungan sekitar pabrik.

Di sisi lain, persaingan di bisnis ban sangat kompetitif karena pabrik produksi di Indonesia hampir 75% over-capacity untuk ekspor. “Jadi kalau kapasitasnya kecil, akan mengatrol market share. Tapi kalau kapasitasnya besar, persaingan akan menjadi sangat kompetitif. Karena, setiap orang mau menjual hasil produksinya,” ujarnya. Ia bersyukur sampai saat ini posisi GI berada di tiga pemuncak kelas (top). “Biasanya naik-turun. Tapi komposisinya tidak berbeda. Sama juga di global, top three-nya Goodyear, Michelline dan Bridgestone,” ujarnya. Goodyear di Indonesia bukan pemegang pangsa terbesar, bukan yang termahal, tetapi ia meyakini Goodyear yang paling affordable dengan kualitas yang sama.

Dengan kondisi ini, ia dan timnya nya pun harus mengelola aspek penjualan dan pemasaran, selain mengelola pabrik. “Ini hal yang menarik,” ujar penyandang gelar master Marketing Management dari Macquarie University (1998), plus master Applied Economics (1999) dan Management of Technology (2001) dari National University of Singapore. “Kami bukan market leader, melainkan market challenger (penantang) sehingga harus bisa tahan banting dan mencari siasat supaya bisa mendahului,” katanya.

Sebagai profesional yang banyak bergelut di bidang keuangan, mandat sebagai CEO tentu sebuah tantangan baru. “Sekarang saya dibilang lebih ke orang sales dan marketing. Bukan orang finance lagi,” ujarnya. Dijelaskannya, meskipun pengalamannya lebih kental sebagai orang keuangan, ketika berada di Allianz, dan bertugas di Vietnam dan Myanmar, sebagai manajer unit, ia banyak menangani general management atau aspek overall. “Jadi, kekuatan di finance dipakai untuk menganalisis beberapa aspek,” ujarnya lagi. Toh, ia tak melihat hal itu sebagai kendala. “CEO dari perusahaan apa pun, dengan latar belakang yang berbeda, tidak ada kurangnya. Tinggal lihat profil perusahaan dan siapa yang mengelilingi orang-orang di CEO.”

Sebagai konsistensi terhadap pengembangan produk Goodyear di mata konsumen, GI juga memperkenalkan Goodyear Auto Care yang merupakan Branded & Exclusive Outlet Goodyear dengan Konsep One Stop Shopping dan Automotive Services. “Dulu Goodyear lebih diklasifikasikan sebagai perusahaan industri, sekarang menjadi perusahaan konsumer,” ujar Iriawan. Cara ini juga bertujuan meningkatkan volume penjualan. Saat ini total gerai premium Autocare yang menjual ban Goodyear ada 14 dari total 130 gerai yang menjual Goodyear. Dan, ia berkomitmen terus menambah gerai di beberapa kota besar di Tanah Air, walaupun hal itu tidak murah.

Terkait dengan kariernya yang cepat melesat di usia muda, Iriawan buka rahasia: kunci keberhasilannya ada tiga, yaitu working hard , moving smart, konsisten dan punya jiwa kepemimpinan.

Apa visi Iriawan? “Every body want to be the best in what they do. Tapi bagi GI, kami menjadi salah satu basis produksi global dan itu tidak gampang, Sebab, harus memenuhi kualitas yang diinginkan. Kedua, untuk domestik dan investor lokal saya mau Goodyear menjadi top three,” ujarnya. Perkembangan ekonomi Indonesia ia lihat cukup bagus, dan terbesar di ASEAN. Ia melihat Indonesia memiliki tempat istimewa di mata investor karena populasinya cukup bagus, konsumsi domestik cukup besar, dan potensinya sangat menarik. (*)

Yuyun Manopol


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved