Management Technology Strategy

Benarkah Fintech Mengancam Kredit UMKM Perbankan ?

Benarkah Fintech Mengancam Kredit UMKM Perbankan ?

Financial technology (Fintech), adalah industri ekonomi yang terdiri dari usaha-usaha yang menggunakan teknologi untuk membuat layanan finansial menjadi lebih efisien. Usaha Fintech biasanya berbentuk startup yang dibangun untuk menjawab gap pembiayaan yang selama ini tidak bisa dilayani oleh lembaga keuangan konvensional seperti bank.

Sebutan Fintech juga diaplikasikan ke teknologi produk front-end konsumen. Tetapi belakangan berkembang isu bahwa kehadiran Fintech dirasa menjadi “penganggu” pasar industri perbankan, khususnya untuk layanan kredit dan payment.

Menurut Reynold Wijaya, Co-Founder dan CEO Modalku (startup Fintech untuk pembiayaan UMKM), isu tersebut tidak sepenuhnya benar. “Fintech seperti kami justru menciptakan pasar baru alias mengisi gap yang tidak bisa digarap oleh bank selama ini,” ungkapnya.

Reynold mencontohkan, Fintech bisa menjawab kebutuhan pembiayaan peer to peer yang tidak bisa dilayani bank. Pun, Fintech bisa melayani pembiayaan kurang dari Rp 10 juta dengan tenor kurang dari 2 tahun, sedangkan perbankan tidak bisa melakukannya,

“Tidak semua UMKM bisa dirangkul bank. Begitu juga sebaliknya, maka kami (Fintech) bisa menjawab gap ini,” lanjutnya.

Keunggulan lain Fintech adalah sebagai perusahaan pembiayaan, basis operasional mereka adalah teknologi infomasi, sehingga tidak memerlukan kantor cabang, karyawan yang banyak atau perangkat lainnya, alhasil jauh lebih efisien dibandingkan perbankan. Bahkan Fintech pun belum dibebani tata aturan yang ketat. Dengan demikian Fintech bisa bergerak lebih luwes dan ringan.

Sementara itu, Fadjar Hutomo, Deputi Akses Permodalan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), melihat bahwa di antara Fintech dan bank ada peluang kolaborasi, “Jika mereka bisa berkolaborasi ini akan jadi evolusi pembiayaan,” jelasnya.

Menurut Fadjar, selama ini dalam sistem pembiayaan tradisional yang dijalankan perbankan, calon debitur harus memiliki aset yang bernilai seperti tanah dan rumah untuk dijadikan agunan, sedangkan 22 % dari total UMKM dengan basis ekonomi kreatif yang berkembang, tidak memiliki aset yang tangible seperti tanah dan rumah, umumnya yang mereka miliki adalah aset intangible alias kekayaan intelektual seperti desain, platform, konsep bisnis dan sebagainya. Semua aset intangible tersebut tidak bisa diterima dalam sistem pembiayaan konvensional.

Umumnya karakteristik usaha kreatif (skala startup) adalah memiliki cash flow yang belum stabil, beberapa tidak memiliki penghasilan bulanan. Juga, berisiko tinggi, sebab data Bekraf menunjukkan hanya 10 % startup yang bisa terus tumbuh, sedangkan 90 % gagal.

Tetapi, menurut Fadjar, karakter unik lainnya dari startup adalah saat ia memperoleh profit bisa 10 kali lipat dari modal yang ditanamkan, “Kalau suskes startup itu bisa tumbuh sampai 1.000 persen, ini yang akhirnya bisa menutup kerugiannya di waktu sebelumnya,” jelasnya. Maka startup yang bergerak di industri kreatif kini bisa mendapatkan pembiayaan melalui Fintech ini.

Data dari Bekraf menunjukkan ada gap yang cukup besar antara kebutuhan dan ketersediaan pembiayaan UMKM di Indonesia. Permintaan akan kredit usaha kecil dan mikro mencapai Rp 4.500 triliun, sedangkan yang bisa diberikan lembaga pembiayaan hanya Rp 580 triliun, jadi masih ada kesenjangan sekitar Rp 3.900 triliun. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved