Book Review Strategy

Bila Sendirian, Media Sosial Tak Berdaya

Bila Sendirian, Media Sosial Tak Berdaya

Judul Buku : Marketing in the Round, How to Develop an Integrated Marketing Campaign in the Digital Era

Penulis : Gini Dietrich dan Geoff Livingston

Penerbit : Que Publishing

Cetakan : Pertama, April 2012

Tebal : 220 halaman

Media sosial tak bisa bekerja sendirian. Dia harus diintegrasikan dengan saluran komunikasi lain, termasuk media konvensional. Inilah yang disebut sebagai era post-social media, era di mana pemasar tidak hanya memikirkan media sosial, tetapi juga media konvensional.

Minggu kedua Desember lalu, dalam suatu presentasi di depan peserta Konvensi Nasional Humas 2012 yang diselenggarakan Perhumas Indonesia, Guru Besar Universitas Indonesia Dr. Rhenald Kasali memaparkan sesuatu yang menarik. Dia mempertotonkan video tentang protes warga di suatu negara Eropa tentang jalan yang rusak. Intinya, awalnya, warga di situ protes melalui media sosial. Namun, tetap saja pemerintah daerah setempat tak menggubrisnya. Baru setelah protes – dengan mural – itu diberitakan televisi, pemerintah bertindak.

Beberapa bulan lalu, bangsa Indonesia menyaksikan kelahiran pemimpin “nasional” baru: Joko Widodo, yang terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta. Banyak orang mengakui peran media sosial dalam mengangkat popularitas Jokowi. Namun, orang melupakan adanya kekuatan komunikasi tatap muka, berupa blusukan Jokowi ke kampung-kampung dan berdialog langsung dengan rakyat. Itulah yang membuat media sosial “gaduh”. Kegaduhan itu makin menjadi setelah media konvensional – termasuk televisi – memberitakannya.

Tak bisa dimungkiri, hampir 10 tahun sejak pertama kali blog diluncurkan, media sosial mendominasi percakapan yang dilakukan para profesional di bidang pemasaran. Pengaruh media sosial di pemasaran tidak perlu dipertanyakan lagi. Sudah 5-6 tahun, pemasar menikmati media yang dikenal dengan media sosial. Secara fundamental, platform ini telah mengubah cara perusahaan berinteraksi dengan pelanggannya.

Nyatanya, studi terbaru mengungkapkan bahwa sementara media sosial banyak diberitakan karena peluang yang diciptakanya, banyak juga perusahaan yang masih menganggap media sosial seperti mentega. Ia hanya menjadi pelengkap public relations (PR) tradisional, periklanan dan pemasaran langsung. Akhir 2011, CMO Council mengeluarkan laporan yang mengungkapkan, hanya 34% dari anggotanya yang benar-benar mengintegrasikan media sosial ke dalam strategi besar pemasaran mereka. Studi lainnya yang dilakukan IBM terhadap 1.700 CMO mengungkapkan, hanya sebagian kecil dari mereka yang memonitor percakapan pelanggan mereka (48%) di media sosial dan posting-an yang relevan dengan perusahaan dalam blog (26%).

Saya kutip data lain. Survei Software Pitney Bowes pada September lalu terhadap pengguna Internet dewasa dan pengambil keputusan pemasaran di AS, Inggris, Prancis, Jerman dan Australia menemukan sebuah paradoks. Temuan inilah yang membuat mereka mengingatkan pemasar untuk berhati-hati agar mereka jangan terlalu berkomitmen pada media sosial tertentu.

Hasil jajak pendapat itu juga seakan-akan mengingatkan bahwa penggunaan media sosial hendaknya dilakukan selaras dengan preferensi konsumen. Mengapa? Survei itu menemukan adanya perbedaan yang mencolok antara konsentrasi konsumen di beberapa jaringan media sosial dan persentase pemasar yang menggunakan jaringan sosial itu. Namun, dalam kasus lain, jumlah pemasar di platform yang tersedia justru melampaui pelanggan potensial yang ada.

Di Twitter, misalnya, 57% pemasar dilaporkan menggunakan situs tersebut. Di sisi lain, hanya 31% konsumen yang menggunakan situs yang yang sama. Twitter diakui sebagai pendorong utama di balik fenomena yang relatif baru, televisi sosial. Menurut studi terbaru yang dilakukan NM Incite dan Nielsen, selama Juni 2012, sepertiga dari pengguna Twitter men-tweet secara aktif konten teve atau naik 27% dibandingkan Januari. Seperempat dari pengguna media sosial adalah mereka yang berusia 18-24 tahun yang selalu memberikan komen atas konten teve sosial yang dilihatnya. Karena itu, muncul hipotesis bahwa dengan menggunakan Twitter, strategi pemasaran berjalan lancar.

Informasi lainnya menunjukkan ada 51% pemasar memanfaatkan kehadiran Google+, padahal hanya 21% konsumen yang menggunakannya. Di bagian lain, survei menemukan 53% dari konsumen memanfaatkan YouTube, tetapi hanya 41% pemasar yang memanfaatkannya. Artinya, sementara banyak pengguna Internet yang memelototi YouTube, di sisi lain jarang pemasar yang melongok jejaring itu. Mereka menyukai menggunakan mikroblog.

Artinya apa? Fenomena di atas menunjukkan betapa pemasar sibuk mem-posting tetapi tak menghiraukan tanggapan yang diberikan akun member media sosial miliknya. Ini jelas bukan sesuatu yang ideal, karena pada dasarnya posting perusahaan seyogyanya mendorong publik berkomentar dan membicarakannya secara positif sehingga brand-nya menjadi hidup.

Itulah alasan Gini Dietrich dan Geoff Livingston menulis buku yang berjudul Marketing in the Round ini. Mereka ingin menunjukkan realitas sebenarnya dari fenomena perluasan saluran komunikasi tersebut. Mereka menyadari, memahami bagaimana mengintegrasikan dan memilih taktik yang beragam, memadukan media tradisional dan online — bukan bagaimana memulai Twitter — adalah tantangan besar yang dihadapi pemasar.

Saat ini, menurut mereka, hampir setiap buku pemasaran kontemporer membahas media sosial, apakah itu Facebook, ROI, konten atau customer relationship. Secara langsung, ini merupakan bentuk pengakuan penulis literatur tersebut bahwa mereka telah membawa perubahan media yang sejatinya bersifat sosial ke ranah pemasaran. Karenanya, buku-buku tersebut gagal untuk menyadari tantangan pemasar sebenarnya. Bukan dalam pemanfaatan media sosial, tetapi tantangan mentransformasi diri menjadi organisasi modern yang bekerja di media dan taktik untuk mencapai tujuannya.

Namun, hal itu bukan berarti mereka membenci media sosial. Melalui buku ini, mereka ingin menunjukkan bagaimana pemasaran multichannel bekerja di abad ke-21 atau di era pasca-media sosial seperti sekarang. Sebab, bagaimanapun, media sosial telah menggeser paradigma praktik pemasaran di banyak perusahaan. Sebelumnya, dalam berkomunikasi, perusahaan menggunakan pendekatan product-driven, kini mereka mengaplikasikan metode customer-driven marketing dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Di Indonesia, menurut Irawati Pratignyo, Direktur Pengelola Media Nielsen Indonesia, dari sisi tren konsumsi terhadap media, tahun ini konsumen/pemirsa teve tetap tinggi sementara konsumen/pembaca pada media cetak (koran dan majalah versi cetak) dan radio tidak setinggi teve. “Kami melihat ada pengaruh pertumbuhan kepemilikan telepon seluler dan peningkatan jumlah pengguna Internet, serta adanya perubahan konsumsi terhadap media cetak dan radio yang kini dapat diakses melalui Internet,” kata Ira.

Situasi ini membuat pemasar tak lagi hanya memikirkan apakah melakukan branding melalui Twitter atau Facebook. Mereka harus berpikir tentang bagaimana mengintegrasikan semua saluran komunikasi pemasaran, termasuk media konvensional. Inilah yang disebut era post-social media, era ketika pemasar tidak hanya memikirkan media sosial tetapi juga media konvensional.

Ini bukan berarti bahwa media sosial tidak dibutuhkan lagi dalam pemasaran, terutama dalam konteks interaksi. Media sosial masih tetap dan sangat diperlukan. Akan tetapi, seperti ditulis Dietrich dan Livingston, media sosial tidak bisa bekerja sendiri, terutama jika digunakan untuk menerobos pasar atau menyampaikan pesan. Sebab, tujuan penggunaan media sosial adalah membangun engagement. Tujuan ini secara efisien tercapai bila mengintegrasikan media sosial dan media konvensional. Beberapa fenomena membuktikan itu, mulai dari kasus Prita hingga Cicak vs. Buaya.

Engagement berarti pelanggan atau stakeholder menjadi peserta, bukan sekadar pemirsa. Ini yang membedakan antara menonton dan berpartisipasi dalam pemutaran film, misalnya. Engagement, dalam koteks bisnis sosial, berarti pelanggan Anda bersedia meluangkan waktu dan energi mereka untuk berbicara dengan Anda tentang Anda dalam suatu percakapan dan melalui proses yang memengaruhi bisnis Anda. Proses keterlibatan ini merupakan dasar kesuksesan bisnis sosial. Keterlibatan dalam konteks sosial menyiratkan bahwa pelanggan telah mengambil kepentingan pribadi dalam apa yang Anda bawa ke pasar.

Dalam konteks ini, keistimewaan media sosial bagi perusahaan adalah, pertama, mampu mengidentifikasi pengguna kunci yang loyal terhadap perusahaan dan berpengaruh terhadap hubungan mereka. Kedua, mampu menyebarkan pesan secepat virus. Berdasarkan penelitian, strategi pemasaran yang paling baik adalah membiarkan pelanggan sendiri menjadi pemasar. Individu-individu dengan kepentingan bersama berkomunikasi satu sama lain, sehingga mereka memiliki sikap, keyakinan atau kepentingan yang sama. Ketika Nikon merilis kamera DSLR seri D4-nya ke pasar fotografi profesional, selain menggunakan kampanye top-down PR yang konvensional, Nikon melanjutkan tradisi mereka memberikan DSLR baru kepada blogger berpengaruh untuk me-review kamera tersebut disertai foto hasil jepretannya dengan kamera itu. Tujuannya, membuat para blogger membicarakannya ketika kamera itu dirilis. Peluncuran itu pun direspons dengan percakapan online yang luas.

Contoh di atas menginformasikan bahwa target pemasaran melalui jaringan media sosial bisa menjadi jauh lebih efisien dan hemat biaya ketika pemasar dapat mengidentifikasi pengguna kuncinya. Dalam konteks ini, kesadaran maksimum terhadap produk atau jasa dapat ditransfer dengan biaya minimal, jika pengguna utama telah diidentifikasi dengan benar. Mereka bisa menyebarkan informasi kepada pengguna lain. Ini akan menjadi cara difusi informasi yang tepat, yang memengaruhi tujuan niat pengguna kunci berdasarkan kepercayaan dari orang lain.

Ketika seorang pengguna kunci puas, kepercayaan mereka kepada perusahaan tumbuh dan mendorong mereka menggunakan layanan terus dan bertindak seperti seorang pemasar bagi perusahaan. Dia akan menyebarkan pengalaman positifnya kepada orang-orang dekat mereka. Karena itu, media sosial adalah tempat yang sangat eksklusif untuk berbagi pengalaman positif mereka dengan teman-teman dekat mereka. Di sini kepercayaan berperan memfasilitasi dan mempertahankan hubungan jangka panjang.

Di sinilah pemahaman tentang pengalaman para pengguna atau stakeholder media sosial makin penting. Pemasaran yang terlalu fokus pada Facebook adalah contoh klasik pemasaran media sosial yang masih dipertanyakan. Mengapa? Saat ini, orang tidak melihat Facebook di rumah. Mereka membaca, menonton teve, online untuk membaca dan berpartisipasi dalam media sosial lainnya, mengomentari pernyataan orang atau situasi sosial, mendengarkan musik dan seterusnya melalui ponsel/mobile tablet. Pada malam hari, pengalaman media mereka jauh melampaui penawaran apa pun dari Facebook. Mereka mengakses lebih banyak tawaran atau fitur media.

Namun, di sisi lain, ketika smartphone dan komputer tablet menjadi bagian dari kehidupan konsumen, kesempatan bagi peritel untuk membagikan katalognya makin besar dan cepat, kesempatan untuk catalogers ritel dan pedagang langsung meluas dengan cepat. Bagi pengecer multichannel, percakapan tidak hanya tentang channel belanja yang digunakan oleh pembelanja yang jumlahnya makin tumbuh ini. Mereka akan menggunakan semua saluran — termasuk saluran tradisional — tersebut untuk mendekatkan produknya ke pelanggannya. Itu sebabnya, media sosial harus diintegrasikan ke dalam bauran pemasaran yang lebih besar.

Pemasaran modern bukanlah suatu fenomena sosial, juga bukan sikap yang telah mengakar sejak abad ke-20. Ini adalah era yang lahir karena resesi dan masa pemulihan yang menuntut pelaku pemasaran menjadi lebih bertanggung jawab atas setiap anggaran yang dikeluarkan. Ketika pendekatan primer dipilih, biasanya karena sumber daya sudah ada di depan mata. Namun, perusahaan sering memiliki beberapa sumber daya. Jika kampanye PR memadukan acara peluncuran dan PR untuk memasarkan produk baru, mengapa tidak menggunakan sumber daya media sosial?(*)

Edhy Aruman, Redaktur Eksekutif Majalah MIX-Marcomm dan Dosen Stikom LSPR Jakarta


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved