Management Strategy

Diaspora Masih Dipandang Sebelah Mata

Diaspora Masih Dipandang Sebelah Mata

Pemerintah Indonesia tampaknya masih punya PR besar dalam mengelola diaspora, warga perantauan yang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di mata para warga negara Indonesia maupun keturunan, kebijakan yang dilakukan pemerintah belum tertata rapi. Pemahaman tentang Diaspora di kalangan anggota DPR juga masih sangat minim. Padahal di negara-negara lain pemanfaatan sumber daya manusia dan finansial Diaspora sudah bertumbuh dengan baik. Itu kenapa, menurut Ketua Yayasan Diaspora Indonesia, Nuning Hallet, pemerintah belum bisa menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan jutaan diasporanya.

“Meski kehadiran Diaspora Indonesia sedikit terlambat dari negara-negara lain, tapi potensi dan peran Diaspora bagi negara tidak boleh dipandang sebelah mata. Belum ada cetak biru yang jelas tentang bagaimana menciptakan mutual relationship tersebut. Masih ada beberapa ganjalan,” katanya.

Inilah tugas berat Yayasan Diaspora Indonesia untuk meyakinkan pemerintah kalau potensi Diaspora sejatinya tidak boleh dipandang sebelah mata. Ia mencontohkan pemerintah Irlandia yang sukses membangun negaranya dengan lebih baik berkat campur tangan diaspora. Kalangan diaspora mereka merasa diakui berkat kebijakan pemerintahnya yang melegalkan dua kewarganegaraan bagi warga negara Irlandia yang bermukim di luar negeri. “Begitu juga dengan negara-negara di Afrika, seperti Ghana yang sudah mampu memanfaatkan potensi diaspora. Dengan membagikan obligasi US$ 1 kepada diaspora, mereka bisa membangun waduk yang menelan biaya besar,” ujarnya.

Ketua Yayasan Diaspora Indonesia, Nuning Hallet

Ketua Yayasan Diaspora Indonesia, Nuning Hallet

Dia menjelaskan konsep dwikewarganegaraan memang menjadi topik penting menjelang digelarnya Kongres Diaspora Indonesia III, pertengahan Agustus mendatang di Jakarta. Percepatan di pelaksanaan kebijakan tersebut akan melahirkan banyak terobosan untuk menangkap peran diaspora yang lebih maksimal. Di kalangan diaspora, langkah itu adalah bagian dari diaspora friendly policy. “Terbukti, pemerintah dapat terbantu dari segi ekonomi maupun penguatan kualitas sumber daya manusia dengan mengkapitalisasi kemampuan finansial dan skill diaspora,” katanya.

Ada 56 negara di dunia, lanjut Nuning telah menerapkan konsep dwikewarganegaraan. Dari jumlah tersebut, hanya 12 negara yang menerapkannya untuk siapa saja, baik warga asing yang melakukan naturalisasi ataupun para ekspatriat. Sementara, 44 negara lainnya hanya memberlakukan dwikewarganegaraan bagi warga yang dapat membuktikan dirinya memang memiliki darah atau pernah menjadi warga negara tersebut. Masalahnya, aturan di Indonesia menyebutkan, siapa saja yang sudah menjadi warga negara asing, tidak dapat menjadi WNI lagi. “Ini yang sedang kami perjuangkan. Pengajuan ini sudah masuk dalam daftar panjang prolegnas 2015-2019 di Komisi III DPR. Kebijakan tentang investasi sedang kami negosiasikan dengan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal),” ujarnya.

Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah biaya pengiriman uang (remitansi) yang tinggi yakni 10%. Sejauh ini, Yayasan Diaspora Indonesia masih melobi Bank Indonesia agar bisa diturunkan menjadi 3%. Kebijakan pemotongan itu akan lebih menyejahterakan tenaga kerja Indonesia yang mencari nafkah di luar negeri. Sementara, diaspora lebih banyak mengirimkan uang lewat jalur tidak resmi atau dititipkan ke teman yang sedang pulang ke Tanah Air. “Harapannya, semua Diaspora dapat melakukan pengiriman uang lewat jalur resmi, jadi tidak hanya dari TKI saja pemerintah mendapatkan remitansi tetapi lewat diaspora lain yang jumlah pengirimannya lebih besar dapat tertampung,” katanya.(Reportase: Syukron Ali)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved