Management Strategy

Jurus Transformasi Bank Mandiri

Budi Sadikin, Bank Mandiri, Direktur, Retail Banking, Micro Banking, Transformasi, Bisnis, perbankan, SWA,

Budi Sadikin

Setelah merger, Bank Mandiri sempat terjungkal pada tahun 2005, ditandai dengan angka kredit macet yang menjulang hingga di atas 25%, laba menukik hingga tinggal Rp 600 miliar saja, dan menempatkan Bank Mandiri dalam status pengawasan khusus Bank Indonesia. Lebih dari 300 pegawai diperiksa pihak berwajib, dan beberapa senior manajemen menghadapi permasalahan hukum. Untuk keluar dari kemelut itu, sejak 2005 Bank Mandiri menggulirkan transformasi bisnis, hingga akhirnya Bank Mandiri menjelma sebagai bank terbesar dan terkuat di Indonesia. Bagaimana langkah Bank Mandiri menjalankan transformasi bisnis? Berikut wawancara Ario Fajar dengan Budi Gunadi Sadikin, Managing Director Micro & Retail Banking Bank Mandiri:

Bisa dijelaskan bagaimana proses awal transformasi Mandiri?

Program transformasi Bank Mandiri selama periode 2005-2010, dilakukan untuk mengatasi permasalahan fundamental yang ada dengan menetapkan strategi konsolidasi dan transformasi yang menyeluruh di seluruh aspek organisasi.

Program transformasi dilakukan dengan memperkuat strategi bisnis, membangun budaya perusahaan, meningkatkan kualitas layanan, mengembangkan risk management serta manajemen yang transparan dan profesional berdasarkan prinsip GCG. Singkatnya, kami diguncang dua krisis. Pertama saat awal berdiri dan kedua pada tahun 2005.

Bagaimana milestone-nya?

Saat merger Bank Mandiri dilakukan (1999), rasionalisasi dari 26.000 menjadi 17.260 orang, remapping cabang dari 740 menjadi 546, penyatuan 9 sistem IT ke dalam sistem MASTER, penyerahan Rp 103 trilun bad loans ke BPPN serta obligasi rekap senilai Rp 178 triliun. Budaya kerja merupakan fokus awal transformasi karena semenjak merger, Bank Mandiri belum sempat mengimplementasikan transformasi budaya kerja secara konsisten.

Pada 14 Juli 2003, Bank Mandiri melaksanakan Initial Public Offering atau IPO. Pada periode itu, kinerja Bank Mandiri terus meningkat meskipun tidak didukung fundamental yang kuat. Misalnya laba bersih tahun 2000 sebesar Rp 1,2 triliun, tahun berikutnya tumbuh menjadi Rp 2,7 triliun, tahun 2002 mencapai Rp 3,6 triliun, 2003 memperoleh Rp 4,6 triliun dan 2004 sebesar Rp 5,3 triliun.

Namun sayang, tahun 2005 Bank Mandiri mengalami krisis kedua yang disebabkan oleh berbagai masalah internal dan eksternal yang kompleks. Krisis kedua telah menyebabkan jatuhnya moral pegawai Bank Mandiri. Lebih dari 300 pegawai diperiksa oleh pihak berwajib, beberapa senior manajemen menghadapi permasalahan hukum, pemberitaan yang tidak kondusif atas hasil pemeriksaan BPK. Walhasil NPL Gross naik menjadi 26,7%, laba bersih pada tahun itu menjadi Rp 603 miliar dan harga saham anjlok ke posisi Rp 1.076 (November 2005).

Lalu apa yang dilakukan?

Menghadapi permasalahan tersebut, manajemen memutuskan untuk melakukan transformasi perusahaan. Kami memetakan tujuh masalah utama di tahun 2005. Pertama, mengatasi non performingloan (NPL) dan risiko kredit yang sangat tinggi. Kedua, governence, risk management dan sistem pengendalian operasional perusahaan masih belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Ketiga, image negatif karena adanya pemberitaan atas temuan BPK dan indikasi korupsi sehingga ada kekhawatiran nasabah dan pegawai bahwa kredit bermasalah dapat dikaitkan langsung dengan indikasi korupsi. Keempat, rendahnya tingkat profitabilitas (Laba, ROE, ROA, NIM) yang didorong oleh rendahnya yield recap bonds, tingginya tingkat NPL, tingginya cost of fund dan rendahnya fee based income, sementara cost to income cenderung meningkat. Masalah kelima adalah corporate values, performance culture dan accountability belum terbangun dengan baik dalam organisasi, consumer dan commercial salesmodel, branch network dan electronic channel belum dioptimalisasikan dengan baik. Terakhir adalah peningkatan NPL yang berpotensi menghambat peningkatan pendapatan.

Prosesnya seperti apa?

Ada tiga fase dalam transformasi Mandiri. Tahun 2006-2007 kami melakukan perbaikan dan peletakan pondasi dasar atau back on track. Pertama, untuk membangun organisasi dan budaya berbasis kinerja, kami melakukan beberapa hal. Misalnya, implementasi corporate culture yang baru dan organisasi berbasis SBU, menyesuaikan SDM sesuai kebutuhan strategis, mempertajam performance managementsystem (PMS) untuk mendukung budaya berbasis kinerja.

Kedua, menyediaan pelayanan spesifik untuk segmen yang diprioritaskan antara lain melalui implementasi client service team (SCT) model untuk segmen large corporate, menerapkan model bisnis segmen komersial yang baru untuk segmen medium dan small commercial.

Ketiga, memperkuat manajemen risiko dan operasional dengan memperbaiki tingkat NPL melalui berbagai program terobosan. Key indicators dalam fase pertama ini antara lain : CAR yang solid, penurunan NPL Net kurang dari 5%, peningkatan PPAP Coverage lebih dari 100%, dan cost efficiency kurang dari 50%.

Fase kedua yakni sekitar 2008-2009 merupakan fase konsolidasi dan menciptakan momentum atau outperform the market. Dalam fase ini kami mengupayakan untuk memiliki SDM berkualitas tinggi, menjadi perusahaan sebagai pilihan utama tempat bekerja dan memiliki program pengembangan SDM yang terbaik. Selain itu, kami juga melakukan akuisisi specialized bank dan multifinance company, berupaya menjadi pemain utama segmen komersial melalui penetrasi pasar yang intensif dan dominasi corporate banking melalui CST model.

Kami menata ulang program aliansi dengan cara mewujudkan tiga program aliansi strategis yang memiliki potensi tinggi. Key indicators dalam fase ini adalah pertumbuhan profitabilitas di atas pasar, ROE 18%-20% dan NIM 5,2%, Cost Eff kurang dari 47% dan PBV tiga kali lipat.

Fase terakhir tahun 2010 merupakan fase menyempurnakan dan menumbuhkan atau shapping the end. Di fase ini kami melaksanakan akusisi dan integrasi dengan bank domestik besar, program aliansi berjalan menyeluruh dan menciptakan sinergi antar segmen. Key indicators-nya adalah dominiasi market share revenue di semua segmen, cost efficiency kurang dari 45%, dan market capitalization sebesar US$ 10 miliar.

Sejalan dengan proses tranformasi, Bank Mandiri juga melakukan perbaikan dari sisi GCG. Tahap pertama adalah merumuskan governance commitment misalnya perumusan visi, misi, corporate value dan code of conduct. Kedua penyempurnaan governance structure, misalnya struktur organisasi, pemenuhan komite-komite, serta penguatan risk management dan internal control. Tahap ketiga, governance mechanism yakni pembuatan charter dan penuangan prinsip GCG dalam setiap kebijakan, penegakan reward and punishment. Keempat, sosialisasi dan evaluasi, contohnya evaluasi pelaksanaan GCG dan corporate value di seluruh jajaran organisasi. Tahap terakhir adalah walk the talk, yakni pelaksanaan prinsip GCG dan corporate value oleh seluruh jajaran organisasi secara konsisten.

Selain itu, kami melakukan perubahan branding pada tahun 2008. Hal itu merupakan salah satu milestone pelaksanaan transfromasi sebagai bagaian dari ekternalisasi transformasi Bank Mandiri. Tagline lama yaitu melayani dengan hati, menuju yang terbaik. Tagline baru : terdepan, terpercaya, tumbuh bersama Anda.

Apa tantangan yang ditemukan saat itu?

Krisis kedua menghadapkan Bank Mandiri pada dua pilihan yakni hanya menjadi sebuah bank besar di Indonesia atau menjadi bank di regional yang disegani kompetitor (regional champion). Akhirnya, kami memilih jalan yang lebih berat yaitu menjadi Regional Champion Bank melalui strategi Dominant Multispecialist Bank.

Caranya?

Untuk menjadi Regional Champion Bank, Bank Mandiri harus melakukan

Budi Sadikin, Bank Mandiri, Direktur, Retail Banking, Micro Banking, Transformasi, Bisnis, perbankan, SWA,

Budi Sadikin

transformasi dalam berbagai aspek. Ada empat strategi utama transformasi Bank Mandiri. Pertama soal budaya, kami melakukan restrukturisasi organisasi berbasis kinerja, penataan ulang PMS, mendorong penerapan standar etika yang tinggi, implementasi corporate culture yang baru, membangun program pengembangan leadership dan talent. Kedua, soal pengendalian NPL. Kami memfokuskan pada panangan kredit macet, memperkuat risk management system yang lebih efektif baik front end(underwriting), middle end(monitoring) maupun back end (restrukturisasi dan collection).

Ketiga, transformasi untuk pertumbuhan bisnis. Caranya dengan menyusun strategi dan value preposition yang distinctive untuk masing-masing segmen, desain jaringan distribusi retail yang optimal, mendorong budaya pelayanan dan penjualan serta pertumbuhan non-organik melalui akuisisi. Strategi ke empat adalah aliansi strategis yakni pengembangan dan pengelolaan program aliansi antar direktorat atau unit bisnis.

Siapa saja yang terlibat dalam transformasi?

Corporate Culture Bank Mandiri lemah. Paska merger Bank Mandiri telah merumuskan budaya kerja yaitu 9 Shared Values dan 3 Nos, akan tetapi budaya kerja tersebut tidak diimplementasikan secara konsisten. Maka dari itu, diperlukan revitalisasi corporate culture. Budaya perusahaan yang kuat dan diimplementasikan secara konsisten sebagai landasan keberhasilan transformasi di Bank Mandiri.

Untuk itu, Bank Mandiri menetapkan budaya kerja baru yang mendukung transformasi. Lima nilai tersebut antara lain : kepercayaan, integritas, profesionalitas, fokus pada pelanggan, dan kesempurnaan. Kami juga menetapkan 10 main acts. Mulai dari : saling menghargai dan bekerjasama, jujur, tulus, dan terbuka, displin, konsisten, kompeten dan bertanggung jawab, memberikan solusi dan hasil terbaik, inovatif dan proaktif, orientasi pada nilai, serta peduli lingkungan

Transformasi itu disosialisasikan ke seluruh jajaran organisasi melalui change agent sebagai role model. Jumlah change agent yang sudah dibentuk sampai dengan triwulan I 2012 mencapai 9.466 pegawai atau sekitar 34% dari jumlah pegawai Bank Mandiri. Melalui berbagai forum dan media untuk memastikan seluruh pegawai memahami dengan baik sense of urgency dan mampu menjalankan program transformasi.

Hasil nyata dari transformasi?

Kinerja Bank Mandiri sejak proses transformasi tahun 2005 meningkat signifikan. Laba bersih terus meningkat dari 2005 hingga kuartal III 2012 yakni Rp 0.6 triliun, Rp 2,4 teriliun, Rp 4,3 triliun, Rp 5,3 triliun, Rp 7,2 triliun, Rp 9,2 triliun, Rp 12,2 triliun, dan Rp 11,1 triliun.

Harga saham terus meningkat. Pada 16 November 2005 saham Bank Mandiri (BMRI) turun tajam ke level Rp 1.100 per lembar dengan kapitalisasi pasar Rp 21,8 triliun. Pada 10 Agustus 2012, harga saham BMRI mencapai Rp 8.359 dengan kapitalisasi pasar Rp 194,04 triliun. Nilai kapitalisasi pasar Bank Mandiri meningkat hampir 9 kali dalam tujuh tahun terakhir.

Ada transformasi berikutnya?

Menyadari beratnya tantangan di masa depan, Bank Mandiri terus melakukan transformasi lanjutan 2010-2014. Transformasi bisnis fokus pada 3 area utama yakni : wholesale transaction, retail depositand payment, retail financing. Transformasi selanjutnya adalah to be Indonesia’s most admired and progressive financial institution dengan kapitalisasi pasar lebih dari Rp 225 triliun, revenue market share 14%-16%, ROE lebih dari 25%, dan gross NPL kurang dari 4%. (Didin Abidin Masud)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved