Management Strategy

Pelajaran Gender Harus Masuk Kurikulum

Pelajaran Gender Harus Masuk Kurikulum

Selama ini masyarakat banyak beranggapan bahwa seorang ibu harus berada di rumah untuk memasak, mengasuh anak, dan melayani keluarga. Berbeda halnya dengan ayah. Sebagai kepala keluarga, tugasnya adalah bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Saat pulang kerumah, ia disambut oleh ibu dan dilayani segala kebutuhannya,

Gambaran tersebut mungkin saja masih terngiang dalam benak masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan kultur patriaki yang kuat, masih banyak yang beranggapan bahwa seorang perempuan lantas tidak bisa mengembangkan karier setinggi tingginya dan harus berakhir di ranah domestik.

Sedangkan laki laki bebas dengan kehidupan dan pekerjaannya karena memiliki keleluasaan sebagai pemimpin rumah tangga. Istilah gender seringkali tumpang tindih dengan seks (jenis kelamin), padahal dua kata itu merujuk pada bentuk yang berbeda.

Seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Contohnya jelas terlihat, seperti laki-laki memiliki penis, scrotum, memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, memproduksi sel telur. Alat-alat biologis tersebut tidak dapat dipertukarkan sehingga sering dikatakan sebagai kodrat atau ketentuan dari Tuhan (nature), sedangkan konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, laki-laki itu kuat, rasional, perkasa dan perempuan itu lembut, lebih berperasaan, dan keibuan.

Ciri-ciri tersebut sebenarnya bisa dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang lembut dan lebih berperasaan. Demikian juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ini dapat terjadi dari waktu ke waktu dan bisa berbeda di masing-masing tempat.

Zaman dulu, di suatu tempat, perempuan bisa menjadi kepala suku, tapi sekarang di tempat yang sama, laki-laki yang menjadi kepala suku. Sementara di tempat lain justru sebaliknya. Artinya, segala hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, komunitas ke komunitas yang lain, dikenal dengan gender.

Namun dewasa ini, ketika kesadaran mengenai kesetaraan gender mulai menyeruak di Indonesia, paradigma tersebut sedikit demi sedikit bergeser. Bahkan di dunia sendiri, sebagian besar CFO dipegang oleh seorang perempuan. Tapi tidak sedikit juga yang mempertahankan hal tersebut. Sesuai dengan komitmen Indonesia terhadap tujuan pembangunan milenium yang dicanangkan tahun 2005 silam, kesetaraan gender menjadi hal yang dijadikan pokok bagasan utama.

Bahkan hingga saat ini, kesetaraan gender masih menjadi bahasan utama dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) untuk 10 tahun kedepan. Oleh sebab itu, Ketersediaan pakar gender dalam jajaran pemerintah bersifat mendesak untuk dapat menerapkan dan mempertahankan keadilan gender dalam pendidikan.

Bilamana ada anggota tim yang terlatih, baik laki-laki maupun perempuan , maka perannya strategis untuk memastikan bahwa semua kegiatan dalam sistem pendidikan peka gender. Mereka dapat melakukan peningkatan kapasitas secara efektif dan responsif terhadap keadilan gender di daerah– daerah yang resistensinya terhadap keadilan gender masih tinggi.

Peran guru juga sangat diharapkan dalam melakukan pembelajaran mengenai gender sejak dini. Oleh sebab itu, para guru diharapkan dapat menjadi agen perubahan utama yang penting bagi keadilan gender. Caranya adalah dengan mendorong murid laki-laki dan perempuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, memberikan arahan dan bertindak sebagai teladan.

“ Contoh terbaik dalam memadukan keadilan gender ke dalam praktik pembelajaran adalah dengan ‘menantang’ stereotype yang ada, termasuk dalam memberi respon atau menunjukkan perilaku terhadap kemampuan murid laki-laki dan perempuan, memberikan perhatian yang adil bagi murid laki-laki dan perempuan, serta mendorong murid perempuan untuk ikut dalam kegiatan di luar sekolah yang biasanya diikuti oleh murid laki-laki. Selain itu, perlu dilakukan pelembagaan program pelatihan guru yang menyeluruh, baik saat pra-dinas dan semasa dinas, serta program pelatihan kepala sekolah dan guru yang fokus pada pendekatan yang responsif terhadap gender,” ujar Totok Amin Soefijanto, Senior Advisor for Knowledge Management and Communication, ACDP Indonesia

Selain peran guru, pemerintah juga harus punya andil dalam hal ini melalui sistem kurikulim. Rencana untuk mengkaji kurikulum harus dipastikan agar kurikulum tidak mengandung materi yang bias gender. Revisi atas kurikulum dan bahan ajar secara teratur perlu menyertakan pendekatan yang peka terhadap gender dan perspektif gender itu sendiri, termasuk penetapan badan-badan khusus yang bertugas untuk menghapus stereotipe gender dalam buku teks dan bahan pelajaran lainnya.

gender

“Keadilan dalam hasil eksternal dapat dicapai saat status laki-laki dan perempuan. Bagaiman akses mereka kepada barang dan sumber daya, serta kemampuan mereka untuk berkontribusi, berpartisipasi dan mengambil manfaat dari kegiatan ekonomi, budaya dan politik sudah adil. Dimensi keadilan semacam ini berada di luar sistem pendidikan, namun tercapainya keadilan dalam pendidikan bersifat sebagai katalis dan berkontribusi terhadap keadilan bagi laki-laki dan perempuan di bidang lain dalam hidup, termasuk dalam pasar tenaga kerja dan ranah rumah tangga,” tutup Totok. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved