Management Strategy

Pelaku Usaha Perlu Dorong Pemerintah agar Lejitkan Produksi Kakao

Pelaku Usaha Perlu Dorong Pemerintah agar Lejitkan Produksi Kakao

Investasi untuk pengolahan kakao Indonesia terus masuk sejak diberlakukannya bea keluar biji kakao. Mestinya peningkatan nilai investasi ini jadi berkah pagi industri kakao dan cokelat. Kenyataannya, produksi biji kakao mentah tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pelaku usaha.

Sementara itu, produksi wajib jalan terus. Apa antisipasi terbaik yang bisa dilakukan pelaku usaha? Zulhefi Sikumbang, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia, mengungkapkan, pemikirannya pada sejumlah wartawan di sela-sela peresmian pabrik pembuatan kakao liquor di Salodong, Makassar, awal pekan lalu (3/9).

Bangunan pabrik PT Barry Callebaut Comextra Indonesia di Makassar

Bangunan pabrik PT Barry Callebaut Comextra Indonesia di Makassar

Bagaimana kondisi kondisi ekspor kakao Indonesia kini?

Semenjak pajak ekspor diterapkan April 2010, ekspor kita masih 425.000 ton. Tahun 2011, sudah berkurang karena ada pabrik yang langsung menambah kapasitasnya. Jadi, ekspor itu hanya 350.000 ton. Tapi pada 2012, ekspor biji kakao tinggal kurang lebih 150.000 ton. Dan diperkirakan 2013 ini, di bawah 100.000 ton. Kenapa? Karena banyak investor masuk dengan adanya pajak.

Apakah produktivitas pabrik kakao di Indonesia sudah maksimal?

Sebelum pajak ekspor, ada 14 pabrik. Yang jalan hanya 6. Yang 8 tidur. Tapi, yang berjalan hanya 6, kapasitasnya 125.000 ton. Itu sebelum 2010. Setelah 2010 diterapkan pajak ekspor sampai saat ini, pabrik yang jalan hanya 6. Saya memprediksi, dengan operasional Barry Callebaut (pabrik kakao yang baru beroperasi 2 September di Makassar), kapasitas giling Indonesia menjadi 500.000 ton.

Sementara itu, pabrik yang tidak jalan tadi tetap tidak jalan. Karena yang datang adalah investor-investor baru yang besar, perusahaan multinasional.

Tahun depan, Cargill sudah jalan dengan kapasitas 70.000 ton. Diperkirakan kapasitas giling Indonesia 2014, dengan 9 pabrik, kurang lebih antara 570.000-600.000 ton.

Lalu apakah kebutuhan biji kakao untuk manufaktur tersebut bisa terpenuhi semua?

Bijinya dari tahun 2010, itu nggak naik-naik. Mulai dari 2010, produksi kita malah turun terus dari 500.000. Per tahun kemarin, produksi biji kakao menurut data yang kami olah dari BPS dan data ekspor produk, produksi kita hanya 460.000 ton.

Mengapa justru turun terus?

Penyakit banyak. Cuaca berubah-ubah. Tentu produksi buahanya turun. Yang utama, sampai hari ini tidak ada program penyuluhan kepada petani oleh departemen pertanian. Padahal itu sangat penting. Transfer teknologi belum sampai pada petani.

Artinya, kebutuhan biji bagi pabrik kakao tahun ini tak tercukupi?

Diperhitungkan, produksi tahun ini juga di bawah 400.000 ton. Ini sudah lampu kuning mendekati merah kepada Departemen Pertanian. Mereka (investor asing) sudah semangat berinvestasi di sini, namun produksi kita turun terus.

Impor biiji tentu mahal. Mereka datang ke sini tentu berharap biji murah. Mereka sudah berinvestasi di sini sekarang. Kalau impor lagi, tentu mereka akan kecewa. Ini yang harus kita antisipasi.

Suasana peresmian pabrik PT Barry Callebaut Comextra Indonesia awal pekan lalu (3/9)

Suasana peresmian pabrik PT Barry Callebaut Comextra Indonesia awal pekan lalu (3/9)

Jadi, bagaimana supaya produksi Indonesia memenuhi kebutuhan pelaku usaha pabrik kakao?

Departemen Pertanian dan departemen lainnya harus berkoordinasi harus membuat program yang tepat dibutuhkan petani. Bukan proyek lagi orientasinya. Itu satu. Jadi, program pemerintah harus tepat guna yang benar-benar meningkatkan produksi petani, bukan proyek-proyek lagi.

Yang kedua, pabrik kita ini karena dia memproduksi 600.000 ton tahun depan, kalau produksi kita hanya 400.000-450.000 ton, tentu dia akan impor. Tahun ini saja, impor sudah 40.000 ton. Saya estimasikan, impor antara 100.000-150.000 ton tahun depan. Saya pikir, impor 100.000 ton itu sudah di tanganlah.

Persisnya, program macam apa yang dibutuhkan?

Yang sangat mendasar. Perawatan tanaman kakao itu sebenarnya sangat sederhana. Dipangkas, dibersihkan, dipupuk. Tapi, tentu harus ada penyuluh yang benar sehingga petani melakukannya dengan benar. Program ini belum ada, padahal Askindo sudah minta dari dulu.

Penyuluh ini yang tidak ada. Karena program-program pemerintah hanya pelatihan, bukan pendampingan. Yang dibutuhkan, pendamping harus ada terus di tingkat petani sampai mereka terbiasa. Bukan hanya di-training seminggu terus ditinggalin.

Sebaiknya pelaku usaha mengambil strategi apa untuk mempertahankan produksi sementara ini?

Harus ada upaya mendorong pemerintah. Tarif impor untuk biji kakao yang saat ini 5% dinolkan. Supaya mereka yang sudah berinvestasi ini tidak terhambat karena adanya pajak impor. Karena kekeliruan kita, mereka tidak sanggup memenuhi kebutuhan. Tapi, saat produksi sudah naik tarif impor kembali.

Harus ada cadangan stok oleh pabrik-pabrik itu sehingga dia produksi terjadwal. Dan suplai bahan baku mereka bisa aman. Kalau pas-pasan, mereka tidak punya jaminan. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved