Management Strategy

Perizinan Bermasalah, Penyebab Utama Kerusakan Hutan

Perizinan Bermasalah, Penyebab Utama Kerusakan Hutan

Perizinan pelepasan lahan hutan yang melewati ambang batas lingkungan memberikan kontribusi terbesar kerusakan hutan di Indonesia. Perizinan pelepasan Hutan Tanaman Industri (HTI) di lahan gambut menjadi salah satu penyebab terjadinya kabut asap setiap tahunnya. Ini menunjukkan tidak adanya upaya serius dalam menghadapi kejadian tersebut.

“Kontribusi terbesar berasal dari perizinan, karena perizinannya telah melewati ambang batas lingkiungan. Seperti izin HTI di gambut, kebun di gambut, tambang di gambut, itulah yang membuat kabut asap yang setiap tahun kita hadapi dan tidak ada usaha serius menanganinya,” ucap Martua Sirait, anggota Dewan Kehutanan Nasional.

Angin Perubahan Hutan Indonesia

Martua menambahkan, banyaknya izin yang terbit, baik pelepasan lahan hutan maupun izin HTI di pulau-pulau kecil yang sangat mengkhawatirkan di akhir masa tugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang kemarin. Bahkan, di Pulau Aru yang dijanjikan akan mencabut izin 12 perusahaan tebu, justru diterbitkan lagi izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Semangat untuk memberikan izin masih tinggi, sementara memberikan hak untuk masyarakat diabaikan

Teguh Surya, Juru Kampanye Greenpeace, menjelaskan bahwa pemerintah tidak memiliki data pasti terkait jumlah perizinan bermasalah dalam pelepasan lahan hutan di Indonesia.

“Data informasi tersebut (perizinan bermasalah) menjadi persoalan mendasar di pemerintahan kita. Selama 69 tahun kita merdeka, tidak ada satu pemerintah yang peduli bahwa data itu penting, bahwa kita harus memiliki refensi dan acuan yang sama itu tidak ada. Baru di akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) muncul ide one map, tapi ide itu masih terganjal dengan tidak adanya komitmen yang kuat dari kementerian atau pejabat terkait,” jelas Teguh.

Perizinan bermasalah menjadi salah satu catatan kritis Martua terkait kondisi hutan Indonesia hingga 2014. Hal lainnya adalah dibukanya kasus-kasus tukar menukar kawasan hutan yang melibatkan beberapa pimpinan pemerintah daerah, bahkan dilanjutkan dengan penggeledahan di planologi, kementerian kehutanan. Hal ini membuka mata kita bagaimana hutan dipertukarkan. Selanjutnya, Martua juga memaparkan bahwa penyelesaian terkait konflik kehutanan masih belum mendapatkan jawaban, seperti yang terjadi pada masyarakat suku Anak Dalam yang masih menunggu kelanjutan nasibnya.

Banyak permasalahan yang terjadi di hutan Indonesia, tidak lantas mengindikasikan semakin meluasnya kerusakan hutan Indonesia. Martua menjelaskan, kerusakan hutan sekarang sudah berkurang, tetapi tetap pada porsi yang besar.

“Awal reformasi kerusakan hutan sangat tinggi sekali, sekarang sudah berkurang tetapi tetap besar. Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat 2009 – 2013 kerusakan hutan 1,1 juta ha per tahun. Harus ada pembenahan kebijakan yang dimulai dari perencanaan, kalau kita mau membereskan masalah kerusahaan hutan ini. Kalau tidak, kita akan terus menghadapi banjir setiap tahun. Mudah-mudahan tahun depan kita tidak menghadapi hal itu lagi,” kata Martua.

Harapan Martua tersebut bukan tidak berasalan, karena mulai terciumnya angin segar dari pemerintahan yang baru. Martua memandang pemerintahan baru memiliki komitmen-komitmen lingkungan yang cukup baik. Hal ini terlihat dari kunjungan Jokowi ke Riau dan menutup kanal-kanal yang digunakan untuk menghabiskan hutan gambut.

Pemerintahan Jokowi – JK baru saja mau me-review perizinan di lahan gambut dan mempertahankan gambut untuk tetap ada dan tidak akan dibuka. Selain itu, pemerintahan Jokowi juga akan memperluas pengelolaan hutan oleh masyarakat menjadi 8 juta ha pada tahun 2015, yang sebelumnya hanya 0,5 juta ha. Angin segar ini mulai terasa sejak adanya Nota Kesepakatan Bersama (NKB) KPK dengan 12 kementerian untuk pembenahan sektor kehutanan dan kawasan hutan.

Khalisah Khalid, Kepala Bidang Kajian dan Pengembangan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), menambahkan dalam berbisnis seharusnya menerapkan konsep Business Human Rights, yang menekankan pada pelestarian lingkungan.

“Jadi, tidak ada yang melarang berbisnis, tapi jangan merusak lingkungan, jangan merampas hak orang lain, tidak boleh menyuap. Prinsip-prinsip itu yang seharusnya dipegang, termasuk pebisnis. Ini menjadi kewajiban pebisnis untuk memulihkan, karena selama ini dieksploitasi terus, dikeruk terus seperti di Kalimantan Timur, tapi tidak ada mereka melakukan reklamasi sebagai kewajiban. Akhirnya yang terjadi adalah banyaknya pelanggaran hukum,” tutup Khalisah. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved