Management Strategy

Pro Kontra Tanggapi Tax Amnesty 2016

Pro Kontra Tanggapi Tax Amnesty 2016

Jika membahas mengenai program pengampunan pajak atau tax amnesty, serangkaian pendapat bermunculan. Seperti distorsi terhadap ekonomi, sebagai kompensasi ketidakmampuan sediakan infrastruktur hingga yang menikmati hasil pajak hanya kalangan tertentu.

Pro kontra tersebut bukan tanpa alasan. Bukan sesuatu yang baru bagi Indonesia menerapkan tax amnesty. Pada tahun 1965 dan 1984, Indonesia pernah mengalami kegagalan dalam implementasinya. Beberapa faktor pengaruhnya antara lain penerapan tidak diikuti dengan reformasi sistem administrasi perpajakan secara holistik.

Kedua, minimnya keterbukaan akses informasi ke masyarakat termasuk sistem kontrol dari Ditjen (Direktorat Jenderal) Pajak. Selain itu lemahnya iklim penegakan peraturan pajak hasil.

20160303_092409

Seminar Tax Amnesty 2016

Kemenkeu RI (Kementerian Keuangan) mengkalkulasi jika tidak ada pemberlakuan tax amnesty tahun ini, maka ada potensi kehilangan penerimaan negara baik dari pajak maupun non pajak sebesar Rp 290 triliun. Sedangkan target penerimaan pajak tahun 2016 sekitar Rp 1,36 triliun.

Menurut Prof Wihana Kirana, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, adanya redesign kebijakan tax amnetsy perlu diikuti dengan aturan main atau kelembagaan yang benar. Karena akan banyak pertanyaan apakah implementasi pengampunan pajak akan memberi outcome atau insentif kepada WP (Wajib Pajak).

Secara gamblang ia menjabarkan beberapa hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan penerapan tax amnesty di Indonesia. Dilihat dari sisi kekuatan (strength) tax amnesty menjadi tambahan penerimaan negara dalam waktu singkat, dapat mengembalikan modal yang diparkir di luar negeri ke Indonesia (capital flight).

“Jika WP patuh maka menjadi peluang positif bagi pasar uang dan BEI (Bursa Efek Indonesia) dan dapat meningkatkan dana-dana yang masuk ke Indonesia, yang cukup banyak di luar negeri,” tambahnya.

Akan tetapi apabila melihat sisi kelemahannya, adanya implementasi tax amnesty belum didukung oleh beberapa hal, yaitu belum bebasnya Ditjen Pajak masuk ke dalam sistem perbankan, dan belum ada payung hukum yang menjadi landasan hukum implementasi tax amnesty. Selain itu jumlah pegawai pajak yang masih sedikit hanya sekitar 35 ribu. Hal ini tidak seimbang dengan jumlah pemilik NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) sekitar 27 juta.

Insentif wajib pajak

Turut menanggapi, Astera Primanto Bhakti, Staf Khusus Kebijakan Penerimaan Negara, Kemenkeu mengutarakan bahwa perubahan kebijakan bukan hanya mengenak administrasi tetapi juga struktur dan policy.

“Yang harus dilakukan pertama adalah perbaikan administrasi perpajakan. WP harus diberi suatu kemudahan dalam membayar pajak sehingga mereka merasa memiliki kewajiban tanpa harus diingatkan,” katanya saat ditemui sebagai pembicara dalam seminar Reformasi UU Tax Amnesty.

Kemudian untuk mempermudah pengawasan, diperlukan adanya sistem IT untuk membantu mengumpulkan data-data yang berisi WP yang belum membayar. Petugas harus dapat membedakan dalam memerika WP dari perusahaan besar, kecil, dan UMKM. Terakhir, agar WP patuh, maka perlu diberikan insentif pajak seperti fasilitas PPh (Pajak Penghasilan) bagi UMKM, fasilitas bagi SDM, tax holiday, dll.

Sebagai penutup, Prof Wihana mengatakan bahwa Indonesia perlu belajar dari negara-negara yang berhasil menerapkan tax amnesty sebagaimana India dan Irlandia. “Di India, tax amnesty diberlakukan saat situasi krisis dan merupakan program pajak terakhir. Sedangkan di Irlandia pemerintah menambah jumlah pemeriksa pajak dan memberi tenggat 10 bulan untuk WP membayar pajak tanpa dikenakan sanksi,” ungkapnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved