Strategy Covid 19

Rhenald Kasali, Guru Besar Universitas Indonesia: “Dalam Setiap Krisis Ada Jendela Opportunity”

Pandemi Corona menyebabkan confidence level konsumen di banyak negara menurun. Di Amerika Serikat (AS), confidence level konsumen turun tinggal 22,04%. Begitu juga di Indonesia yang selama ini confidence level konsumennya berada di atas 100%, pada Januari- Februari turun drastis menjadi 15,33%. Artinya, prioritas konsumen Indonesia mulai bergeser fokus pada kebutuhan pokok, kesehatan, dan membayar kewajiban seperti listrik, air, dan uang sekolah, daripada konsumsi barang-barang sekunder.

Kita semua shocked menghadapi situasi ini. Yang terjadi sekarang bukan sekadar persoalan supply and demand yang tidak seimbang, atau sekadar daya beli konsumen yang menurun, melainkan terhentinya aktivitas. Masyarakat harus stay at home sebab bahaya corona. Pertandingan seperti NBA, NFL, semuanya ditunda. FIFA menunda beberapa liga, konser-konser juga dibatalkan. Olimpiade Tokyo yang dicanangkan menjadi pergelaran teknologi 5G pun turut dibatalkan. Akibatnya, industri travel, airlines, hotel, semuanya terpukul.

Pukulan berat juga menimpa industri ritel dan manufacturing. Penjualan ritel menurun, sementara pabrik-pabrik dihentikan produksinya. Para ahli memperkirakan akan terjadi personal debt shocked. Kita akan mengalami kesulitan untuk membayar cicilan dan utang kita. Jadi, lembaga-lembaga yang memberikan pinjaman harus siap-siap mengalami ujian dan kita perlu memikirkan bagaimana cara mengatasinya.

Terkait supply chain (rantai pasok), ternyata produksi dunia saat ini saling kait. Beberapa studi menemukan, misalnya, Tiongkok berhubungan dengan Jerman sebagai mata rantai produksi manufaktur. Begitu China lockdown dan kemudian dimatikan produksinya, dampaknya juga ke Jerman sehingga Jerman pun menjadi kehilangan confident. Selain Jerman, Tiongkok berkaitan pula dengan negara-negara lain, seperti AS, Korea, Jepang, dan Indonesia. Gangguan rantai pasok memperluas dampak wabah Covid-19.

Yang paling tidak terduga dari kejadian yang luar biasa ini adalah kita menyaksikan apa yang namanya demand. Apa yang terjadi di AS juga diikuti di Indonesia, apa yang terjadi di Singapura diikuti juga di negara lain. Namun, kita jangan lupa bahwa semua ini akan mengakibatkan negara-negara begitu banyak stimulus. Ini mau tidak mau. Jadi, kalau Anda melihat ekonomi kita terganggu, ini bukan karena kita tidak bekerja dengan baik, bukan karena pemimpin kita tidak bekerja dengan baik, tetapi karena terjadi di semua negara pada saat yang sama. Dan 80% negara tidak siap, termasuk AS. Singapura juga mengalami kemunduran, dan semua negara kali ini mengalami penurunan.

Jadi, kita tidak bisa saling menyalahkan. Sekarang saatnya kita harus saling bersatu, bagaimana kita memanfaatkan dan mengembangkan stimulus ini. Saat ini yang dibutuhkan adalah confidence. Semua pihak harus bahu-membahu di tengah suasana sulit seperti sekarang. Pemerintah, pelaku usaha, juga masyarakat dan media harus bergerak bersama-sama. Butuh kolaborasi besar-besaran untuk melalui masa-masa penuh tantangan seperti ini.

Bagi pelaku usaha, harap diingat, banyak usaha di dunia ini yang dalam sejarah lahir dan berkembang karena krisis. Salah satu industri yang berkembang dari krisis adalah Susi Air, perusahaan penerbangan milik mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Pesawat berbodi kecil itu awalnya bukan untuk penumpang, tetapi untuk mengangkut ikan hidup dan lobster yang mau diekspor. Namun, aksi kemanusiaan untuk Aceh selepas tsunami (2004) menyadarkan Ibu Susi bahwa pesawat kecil ini juga bisa dipakai untuk penumpang sehingga lahirlah Susi Air saat itu.

Krisis SARS pada Mei 2003 yang melanda beberapa negara, termasuk China, melahirkan salah satu perusahaan Top 5 dunia, Alibaba. Saat fenomena SARS terjadi, Alibaba mencetuskan Taobao, situs berbelanja dalam bahasa Mandarin. Taobao muncul mengantarkan bahan makanan dari rumah ke rumah saat warga China sulit keluar dari tempat tinggalnya akibat lockdown. Itu sebabnya, di Alibaba tiap tahun ada acara yang disebut family date (Alibaba Day) karena barang jualan pada saat itu diantar oleh keluarga, murid-murid Jack Ma, dari rumah ke rumah. Dan, justru hidup dan berkembang besar karena SARS.

Begitu pun dengan JD.com. Waktu itu, JD.com berencana memperluas jaringannya dengan membangun 45 toko baru. Namun, saat SARS terjadi, JD.com justru beralih menggunakan platform online akibat tak bisa lagi berjualan offline karena diterjang virus.

Lantas, bagaimana dengan wabah corona? Wabah corona yang mewajibkan masyarakat belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah mampu menggeser pola hidup masyarakat. Murid yang biasanya belajar dengan sistem manual, mulai mengakses ponsel masing-masing dan memanfaatkan ruang belajar online. Masyarakat mulai memanfaatkan ruang untuk konferensi video, seperti Zoom yang digunakan untuk diskusi dan belajar. Menggunakan telemedika, karena orang takut ke rumah sakit yang menjadi tempat penyebaran virus. Jadi, inilah opportunity yang muncul.

Ketika kondisi dan pola masyarakat berubah, pelaku usaha dituntut untuk terus berinovasi dan berkreasi mengikuti perkembangan zaman. Sebab, dalam setiap krisis itu ada jendela opportunity. Ini juga ada jendela opportunity, yaitu menggunakan teknologi. Data mulai bisa digunakan. Karena itu, menggunakan AI (kecerdasan buatan) merupakan tuntutan dalam komunikasi dengan kedekatan MO, mobilisasi dan orkestrasi.(*)

Dyah Hasto Palupi dan Vina Anggita


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved