Management Strategy

Sentuhan Midas Unilever Memoles Bango

Sentuhan Midas Unilever Memoles Bango

Tahun 2001 menjadi milestone penting bagi kecap Bango. Terlahir sebagai merek lokal yang hanya wara-wiri di daerah Tangerang dan sekitarnya, kini menjadi merek yang tersohor hingga ke pelosok negeri. Bango sudah tidak muda lagi. Di usia ke-85 tahun, merek ini semakin menunjukkan kematangannya. Perlahan tapi pasti, Bango menjadi penguasa pasar di tengah persaingan sengit bisnis kecap di Tanah Air.

Ulang Tahun Bango ke 85

Kejayaan tersebut tentu tidak terlepas dari campur tangan Unilever. Paska diakusisi, Unilever langsung melakukan pembenahan. Mulai dari distribusi, branding, hingga perhelatan kuliner. Tak heran jika merek ini memiliki loyalitas pelanggan yang cukup besar. Rudy Handoko, Direktur Program Sarjana Prasetiya Mulya Business School, menilai, Unilever merupakan pemain kawakan dengan jalur distribusi yang sangat besar di Indonesia sehingga mampu menjangkau daerah yang sangat jauh. Hal tersebut menjadi competitive advantage Unilever dibandingkan dengan para pesaingnya.

“Salah satu permasalahan besar dalam pemasaran produk adalah soal branding baik sebagai perusahaan besar atau kecil. Begitu sulitnya membuat brand yang kuat di pasaran, membuat perusahaan besar mengambil short cut dengan mengakuisisi brand yang telah dikenal dan disukai. Dalam keadaan normal, known, dan preferred brand inilah yang membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit, “ terang Rudy.

Perjalanan Bango dimulai dari langkah kecil Tjoa Pit Boen yang mendirikan usaha di kawasan Benteng, Tangerang, pada tahun 1928. Awalnya, sang empunya merek, menjajakan produknya di sebuah toko kecil di garasi rumahnya. Rasa memang tidak bisa bohong. Hal itu pula yang menjadi alasan mengapa PT Unilever Indonesia Tbk meminang merek ini pada 2001. Hasilnya, Bango bukan saja menjadi merek legendaris, tapi mampu bertransformasi dari merek lokal menjadi merek jawara nasional.

Ainul Yaqin, Foods Director Unilever Indonesia, mengungkapkan, dari beberapa hasil survei lembaga riset, salah satunya Nielsen, memaparkan bahwa Bango menjadi pemimpin pasar kecap nasional. Performa ciamik tersebut dimulai sejak tiga tahun lalu paska diakusisi. “Posisi kami sangat dominan. Bango sendiri memberikan kontribusi 5% untuk Unilever dan pertumbuhannya naik berlipat-lipat setiap tahun,” ungkap Ainul.

Capaian prestasi tersebut datang berkat inovasi dan kreasi dari perusahaan. Untuk membesarkan merek yang sudah eksis, menurutnya, perlu ada rancangan strategi yang matang. “Misi kami kan menjadi merek legendaris dan penguasa pasar. Bukan hanya menjadi merek lokal atau hanya eksis di pasar,” Ainul menandaskan.

Unilever pun memutar otak. Perusahaan asal Belanda itu memetakan strategi guna membesut kecap berlambang burung Bango itu menjadi merek wahid. Sentuhan pertama dimulai dari keyakinan. Ainul percaya, merek yang bagus adalah merek yang menjaga kualitas sepenuh hati. Begitu pun dengan Bango yang tetap konsisten mempertahankan kualitasnya.

Dijelaskannya, Bango terbuat dari 4 bahan alami pilihan, gula, sari kacang kedelai hitam, air dan garam sehingga cita rasa yang dihasilkan benar-benar unggul dan aman untuk dikonsumsi. Pemilihan jenis kedelai amat berpengaruh terhadap kualitas kecap yang dihasilkan. Oleh karena itu, Bango hanya menggunakan kedelai hitam yang berkualitas sebagai bahan baku utama dalam proses pembuatan kecap. Kedelai hitam tersebut bernama Kedelai Mallika.

Marieska Widhiana, Senior Brand Manager Bango, mengklaim, Bango hanya menggunakan kedelai hitam dengan kualitas terbaik untuk dapat menghasilkan rasa lebih gurih alami, yang merupakan syarat kualitas kecap yang tinggi. Kedelai hitam terbaik, menurutnya, menjadi kunci bagi kelegendarisan kecap Bango, selain karena menghasilkan rasa yang jelas berbeda, penggunaan kedelai hitam adalah bentuk komitmen Bango untuk melestarikan resep otentik kecap manis.

Jajaran Produk Bango

Asti Maryati contohnya. Ibu rumah tangga ini sudah 10 tahun menggunakan Bango sebagai pelengkap kreasi masakannya. Wanita 52 tahun ini pernah mencoba merek lain, tetapi kembali lagi ke Bango. Menurutnya, Bango memiliki tampilan yang berbeda. Selain itu, cita rasa dan warna yang dihasilkan Bango sangat menarik. “Dari warnanya saja Bango sudah berbeda dengan yang lain. Apalagi kalau lagi masak semur, rasa manisnya beda jauh dari kecap kebanyakan, “ puji Asti.

Sementara itu, Profesor Mary Astuti, penemu kedelai Mallika yang juga seorang peneliti dan Guru Besar di Fakultas Teknologi Pertanian, UGM, mengemukakan, fakta bahwa kedelai hitam Mallika memiliki begitu banyak keunggulan dibandingkan varietas kedelai lainnya. Selain lebih tahan cekaman fisik dan juga lebih tahan serangan penyakit, kedelai hitam Mallika merupakan sumber pangan berkualitas yang tidak hanya lezat, namun juga bernutrisi. ”Oleh karena itu kami tidak ragu mempercayakan kedelai hitam Mallika kepada Unilever Indonesia agar dapat tumbuh dan berkembang bersama.” tutur Mary.

Uniknya, program kemitraan dengan petani kedelai hitam Mallika tidak hanya untuk menjamin pasokan kedelai hitam, tapi juga untuk memberdayakan para pemangku kepentingan dalam bisnis ini sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Unilever membina lebih dari 9000 petani kedelai Mallika. Total persebaran lahan pertanian Mallika pun semakin luas dari 5 hektar di tahun 2001 menjadi 1.600 hektar.

Yakin dan menjaga kualitas saja belum cukup. Bagi Unilever perlu ada senjata khusus agar merek yang dikelolanya menjadi merek yang memberikan pengalaman pelanggan (customer experience). Caranya, dengan melestarikan warisan kuliner Indonesia. ”Masakan Indonesia akrab sekali dengan kecap. Nah, kami berupaya melestarikan kuliner nusantara sehingga merek ini juga akrab dengan masyarakat. Di situlah kami tetap bisa eksis,” jelas Ainul.

Apa langkah konkretnya?. ”Dengan menyelenggarakan acara bertemakan kuliner nusantara, kami berupaya menarik simpatik masyarakat. Salah satunya melalui Festival Jajanan Bango (FJB). FJB merupakan hajatan kuliner akbar yang menampilkan aneka ragam makanan tradisional yang legendaris. Tahun ini, FJB akan memuaskan selera para pecinta kuliner Nusantara di Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang dan Semarang. Melalui kegiatan tersebut, kami berharap bisa semakin dekat dengan masyarakat dan pengusaha kuliner,” jelas Marieska.

Bukan hanya itu, Unilever juga membuat program televisi bernama ”Bango Cita Rasa Nusantara”. Program ini melibatkan ikon pelestarian warisan kuliner, Bondan Winarno dan aktor Surya Saputra. Bondan berpendapat, langkah yang dijalankan oleh Unilever patut dicontoh oleh perusahaan lain khususnya produk yang berhubungan dengan makanan. Ia menilai, Unilever bukan hanya berperan sebagai produsen kecap, tetapi lebih dari itu. Maka tidak heran jika masyarakat cukup lekat dengan Bango.

”Bango merupakan pionir dalam menyebarluaskan kekayaan warisan kuliner Nusantara melalui televisi, sebagai host pertama BCRN saya merasa sangat bangga dapat ikut menjadi bagian dari kesuksesan Bango dalam mengedepankan pentingnya mengenal dan mendokumentasikan berbagai hidangan khas di seluruh pelosok negeri.” Bondan menambahkan.

Upaya Unilever membesut Bango tidak berhenti sampai di situ. Inovasi yang teranyar adalah meluncurkan berbagai fasilitas bagi pecinta kuliner melalui jalur digital. Keseluruhan fasilitas digital ini bertujuan agar kekayaan warisan kuliner nusantara baik itu dalam bentuk resep, video demo masak, tips tempat-tempat jajanan favorit dan lainnya dapat terdokumentasikan dan terlestarikan dengan baik, serta dapat diakses dengan mudah oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun. Misalnya melalui website bernama www.warisankuliner.com, membuat akun Facebook dan Twitter, serta aplikasi mobile.

”Ide untuk membuat aplikasi mobile sudah ada sejak 2011. Penggodokannya cukup ketat karena kami ingin membuat aplikasi yang bisa membantu pecinta kuliner mendapatkan informasi, resep, dan lain-lain. Dengan ada aplikasi ini, database konsumen kami diharapkan bisa bertambah,” harap Ainul.

Komitmen Unilever tentu masih terus diuji. Kini meski Bango menguasai pangsa pasar kecap dan menjadi merek populer, perusahaan harus siap menghadapi tantangan baru. Pasalnya, menjadi merek legendaris sekaligus pemimpin pasar, bukanlah perkara yang mudah. Untuk itu, Ainul mengungkapkan, pihaknya akan terus meningkatkan inovasi dan kreatifitas dengan cara menjaga kualitas produk, acara dan kegiatan, serta mendekatkan diri melalui media digital.

”Tantangannya adalah bagaimana menjaga eksistensi merek dan dominasi di tengah banyaknya merek kecap yang beredar. Meskipun kami tahu, banyak merek lain yang harganya lebih murah dari Bango. Tapi, rasa memang tidak pernah bohong. Begitupun pasar yang tidak pernah bohong bahwa Bango adalah kecap terbaik,” pungkasnya.

Rudy menyimpulkan, bahwa memang nama besar dan jaringan akan banyak membantu memberarkan merek. Namun yang terpenting adalah bagaimana merek terus konsisten dalam mengantarkan customer value. Contohnya, merek makanan X akan mengasosiasikan dengan rasa tertentu. Maka akan sangat riskan jika perusahaan mencoba-coba mengubah rasanya. “Don’t change the right formula. Bila hal ini tetap ingin dilakukan, perusahaan bisa melakukan dengan membuat varian atau turunan baru dengan brand X sebagai umbrella brand, “ Rudy menyarankan. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved