Strategy

SUN Energy, Pemain Lokal Tenaga Surya Berambisi Mendunia

Chief Commercial Officer SUN Energy, Dionpius Jefferson (bawah)

Pemerintah Indonesia menargetkan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) pada 2025 mencapai 23%. Namun, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bauran EBT di Indonesia hingga 2020 baru mencapai 11,51%. Angka ini jelas masih rendah dibandingkan negara lain. Sebagai gambaran, kapasitas panel surya yang terpasang di Indonesia hanya 24 MW. Bandingkan dengan Vietnam yang sudah berkapasitas 1.000 MW.

Perusahaan penyedia solusi tenaga surya, PT Surya Utama Nuansa (SUN Energy) yang beroperasi sejak 2016 melihat kondisi ini sebagai wadah berkontribusi pada program pemerintah tersebut. Tekad ini bukan mimpi belaka mengingat Indonesia yang berada di garis khatulistiwa mendapat energi matahari yang melimpah.

SUN Energy mulai beroperasi dengan menjadi kontraktor panel surya, yaitu hanya melayani jasa pemasangan. Namun sejak tahun 2018, perusahaan ini bertransformasi menjadi solar developer.

“Solar developer adalah perusahaan yang berinvestasi di solar panel. Kami tidak hanya dibayar pelanggan untuk memasang panel surya, tetapi kita yang membuat project. Kami membeli barang sekaligus memasangnya,” begitulah Chief Commercial Officer SUN Energy, Dionpius Jefferson membeberkan model bisnis perusahaannya saat ini.

Mengapa tenaga surya menjadi sangat penting untuk digalakkan? Selain karena dampaknya untuk jangka panjang keberlanjutan umat manusia, Dionpius menjelaskan bahwa kini teknologi sudah semakin efisien dan biaya semakin murah.

Untuk sektor industri misalnya, pabrik dapat melakukan cost saving hingga 30% dengan beralih ke penggunaan panel surya. Hingga saat ini, SUN Energy telah melayani 60 pelanggan, di antaranya pabrik otomotif, pabrik plastik, pabrik FMCG, hingga POM bensin.

Dionpius menyebut, cost saving dengan penggunaan tenaga surya sebagai bahan bakar justru dipilih oleh pelanggan pada saat pandemi. Hal ini karena tarif yang diberikan pada pelanggan cenderung lebih murah dibandingkan tarif perusahaan penyedia listrik lainnya.

Selama pandemi, Dionpius menjelaskan, permintaan pemasangan panel surya meningkat 4x lipat. Sebanyak 90% datang dari B2B berupa sektor industrial, mall, perhotelan, hingga perkantoran. Sementara sisanya adalah pelanggan residensial. Tidak hanya itu, SUN Energy juga telah menyediakan listrik di daerah-daerah terpencil melalui kerja sama dengan pemerintah.

“Sektor B2C masih mendominasi daerah-daerah Jabodetabek terutama Tangerang dan BSD. Sedangkan B2B hadir di beberapa provinsi di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Tahun ini, kami fokus mencari potensi di kawasan yang mendapatkan paparan sinar matahari tinggi. Kalau dipetakan, daerah timur Indonesia potensinya besar. Di sana juga banyak daerah terpencil yang membutuhkan listrik,” jelas Dionpius.

SUN Energy memiliki beberapa opsi model pembiayaan, yakni sistem beli-putus panel surya, menyewa, dan leasing.

Untuk sistem sewa, pelanggan dapat menandatangani kontrak dengan SUN Energy dengan jangka waktu 15-25 tahun tergantung tarif dan perhitungan pelanggan. Adapun pembayaran per bulan berdasarkan pemakaian listrik. Sementara untuk sistem leasing, ditetapkan DP di awal, lalu pelanggan dapat mencicil 3-6 tahun ke depan. Untuk memudahkan dalam penyicilan, SUN Energy telah bekerja sama dengan p2p lending.

Dionpius menyadari masih rendahnya edukasi penggunaan tenaga surya, apalagi untuk mengejar target pemerintah dalam meningkatkan bauran EBT sebesar 23% di 2025. Oleh karena itu, sangat penting bagi industri yang sudah menggunakan tenaga surya untuk mempublikasikan benefit yang mereka dapatkan, utamanya dalam partisipasi kelestarian lingkungan. Selain edukasi, hal ini juga dapat meningkatkan brand value perusahaan mengingat seluruh dunia sedang bekerja keras untuk memperluas cakupan penggunaan energi matahari sebagai pengganti bahan bakar fosil.

Menjadi pemain lokal, SUN Energy optimis tis menghadapi persaingan. “Perusahaan kami didukung oleh perusahaan-perusahaan besar, sehingga kami bisa menggunakan network investor baik lokal maupun di luar untuk menghubungkan dengan konglomerasi sehingga kami bisa membuat payung perjanjian untuk kebutuhan project dan semacamnya,” tutur Dionpius.

Ambisi perusahaan ini tidak main-main. Dalam waktu 3 tahun ke depan, SUN Energy ingin menjadi pemain global penyedia jasa tenaga surya. Kepada SWA Online, Dionpius menuturkan ekspansi akan dimulai dari memperbesar porsi B2C yang tadinya 10% menjadi 30% dari seluruh bisnis. Saat ini pun, SUN Energy tidak hanya menggarap project di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara seperti Thailand dan Taiwan. Bahkan, ada rencana SUN Energy masuk ke pasar Australia, Malaysia, Singapura, Vietnam, Cina, hingga Amerika.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved