Business Update

Indrayoga Suharto Menyusun Persiapan Menuju Bisnis EBT

Indrayoga Suharto Menyusun Persiapan Menuju Bisnis EBT

Sudah lebih dari 15 tahun Indrayoga Suharto berkarier di lingkup PT PLN (Persero). Mulai bergabung pada 2006, Yoga telah mengecap berbagai posisi di perusahaan listrik milik negara tersebut. Dia juga sempat mendapat promosi ke PT PJB (anak per­usahaan PLN) sebagai Manager of Pro­ject Management Office. Hingga pada Juni 2021, dia mendapat penugasan yang lebih tinggi lagi, menjadi Direktur Bisnis 1 PT Rekadaya Elektrika, cucu usaha PLN, yang dijabatnya sampai sekarang.

Indrayoga Suharto – Direktur Bisnis 1 PT Rekadaya Elektrika

Rekadaya Elektrika merupakan perusahaan di bidang engineering, procurement, and construction (EPC) infrastruktur ketenagalistrikan yang mayoritas sahamnya dipegang oleh PJB. Perusahaan ini antara lain menangani EPC Pembangkit, yaitu PLTU Gorontalo 2×25 MW dan 4 PLTU Fast Track Program lainnya serta 1 PLTP. EPC Transmisi, yaitu Transmission Line 500 kV Indramayu – Cibatu dan proyek transmisi lainnya mulai dari 70 kV, 150 kV, 275 kV hingga 500 kV. EPC Gardu Induk Kayutangi 30 MVA dan Gardu Induk lainnya yang tersebar di Indonesia. Kemudian, ada layanan AIP (Availability & Improvement Program) diantaranya instalasi Breakwater Permanent Jetty dan Precast Seawall di PLTU Pacitan serta Layanan AIP Lainnya yang telah dikerjakan diberbagai pembangkit. Jasa konsultansi di PLTU Cilacap Ekspansi 2 (melalui anak perusahaan), dan investasi di IPP (Independent Power Producer) PLTU Mamuju 2×25 MW.

Pandemi Covid-19 turut memukul bisnis EPC Rekadaya Elektrika, karena banyak per­usahaan mengalihkan dana investasinya untuk penanganan pandemi. Yoga mengatakan, yang terjadi pada bisnis EPC saat ini adalah sebagian besar pemilik anggaran investasi membuat perubahan kontrak, yaitu dengan meng­alihkan beban risiko yang semula ada pada dirinya ke pihak kontraktor. Hal ini mengakibatkan shifting cost menjadi sangat murah, sehingga klien akan mudah beralih ke yang lebih murah.

Sebagai Direktur Bisnis, hal ini tentu menjadi perhatian Yoga. Untuk menghadapinya, pria kelahiran 1981 ini melakukan efisiensi biaya agar bisa bersaing dengan pasar global. “Harga yang murah merupakan keyword bisnis EPC. Maka, untuk bisa bersaing, kami harus bisa menekan biaya dengan sangat baik,” katanya.

Dia bersama tim menyusun strategi eksekusi dengan analisis SWOT, baik internal maupun eksternal. Kemudian, ada tiga strategi yang dibangun demi menjaga sustainable competitive advantage.

Strategi pertama, long term strategic partnership, yaitu dengan membangun ekosistem dalam bisnis EPC. Pada small scale, lebih banyak memanfaatkan tenaga kerja dan material lokal. Pada medium scale, dengan mengalihdayakan ke kontraktor lokal dan material distributor lokal. Sementara pada large scale, bekerjasama dengan pabrikan-pabrikan yang berpengalaman.

Strategi kedua, internal workforce. Dia menjelaskan, langkah ini guna menekan biaya tenaga kerja, yaitu dengan mengoptimalkan SDM yang ada untuk mengerjakan berbagai pekerjaan di lapangan, serta bekerjasama dengan para kontraktor.

Strategi ketiga, recurring income. Rekadaya Elektrika mengoptimalkan penggunaan utilitas peralatan kerja yang biasanya digunakan untuk mendukung kegiatan konstruksi, dengan menyediakannya untuk disewakan. “Jadi, mereka yang ingin masuk ke bisnis EPC bisa mendapat dukungan dari yang kami miliki. Dengan ini, kami membangun ekosistem baru bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bisnis EPC,” kata Yoga.

Sebagai perusahaan yang didirikan untuk meningkatkan dan menyediakan lokal konten (TKDN) dalam proyek ketenagalistrikan, pihaknya berupaya memaksimalkan ketiga strategi tersebut dengan mengedepankan kearifan lokal dalam berkolaborasi dan menciptakan ekosistem lokal di bidang EPC melalui kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan nasional, dengan tujuan besar yaitu go global. “Adat istiadat yang kita punya menjadi yang terdepan dalam memenangkan persaingan,” ujarnya.

Yoga menjelaskan bahwa rencana perusahaan lima tahun ke depan selaras dengan fokus negara terkait energi baru dan terbarukan (EBT). Pada sisi SDM, dia sudah menyusun kesiapan SDM guna mendukung target tersebut.

Pada tahun pertama, yakni awal 2022, telah dilakukan proses sertifikasi profesional manajemen proyek pada level-level tertentu yang mengikuti pelatihan tersebut. “Kami juga mempersiapkan SDM agar siap dalam manajemen EBT dengan berbagai diklat (pendidikan dan latihan),” katanya.

Yoga menekankan, persiapan SDM ini memang menjadi salah satu fokus utamanya untuk bersiap-siap menggarap EBT, baik dalam hal bisnis maupun manajemen proyeknya. Dia bahkan ikut terjun langsung melakukan analisis serta indentifikasi SDM di perusahaan, termasuk hasil psikotes dan assessment-nya.

Dia mencontohkan, salah satu kar­yawannya lulusan STM yang mengalami kemandekan karier berhasil dibimbingnya sampai berkembang menempati posisi manajer. Yang dilakukannya adalah meng­identifikasi dan merencanakan karier. “Dalam hal mengelola SDM, yang saya perhatikan adalah memaksimalkan kelebihan dan kekuatan masing-masing SDM,” ungkapnya.

Di tahun kedua, menyiapkan organizational capital readiness (OCR). Pihaknya menetapkan organisasi yang disiapkan sesuai dengan visi bisnis Rekadaya Elektrika, baik terkait bisnis EPC, konsultasi, maupun EBT.

Kemudian di tahun ketiga, perusahaan akan masuk ke bisnis EBT, terutama proyek-proyek EBT yang besar seperti PLTS, PLTP, PLTB dan PLTA. Yoga mengatakan, proyek EBT memang menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan. Seperti proyek PLTA karena belum ada pemain EPC di Indonesia sebagai integrator proyek PLTA, selama ini digunakan kontraktor-kontraktor luar yang melakukan konstruksi PLTA.

“Oleh karena itu, tahun depan kami menargetkan bisa menjadi integrator PLTA. Maka, SDM, organisasi, dan dananya harus disiapkan dengan sangat baik,” kata lulusan Magister Manajemen Universitas Diponegoro dan Sarjana Teknik Mesin Universitas Trisakti ini antusias.§

Author : Yosa Maulana & Herning Banirestu


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved