Business Update

Peluang Peer to Peer Lending Sebagai Alternatif Investasi dan Kolaborasi

Peluang Peer to Peer Lending Sebagai Alternatif Investasi dan Kolaborasi

P2P lending bakal berkolaborasi dengan layanan keuangan konvesional. Perusahaan ini berpotensi sebagai alternatif investasi.

Modalku menghelat diskusi Peer to Peer Lending di Jakarta. (Foto : Vicky Rachman/SWA).

Peer to peer (P2P) lending atau layanan keuangan pinjam meminjam berbasis teknologi (fintech lending) berpeluang besar sebagai alternatif investasi di era digital. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyusun peta jalan (road map) fintech lending 2017-2013 yang antara lain memproyeksikan fintech lending berkembang sebagai alternatif investasi dan bisa berkolaborasi serta bersinergi dengan layanan keuangan konvesional. OJK meyakini P2P lending tidak mengancam atau disruptor bagi industri perbankan. Perusahaan P2P lending pun bersiap-siap bersinergi dengan layanan keuangan konvesional dan memainkan perannya sebagai platform digital untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Demikian rangkuman diskusi panel Bedah Peer-to-Peer Lending: Alternatif Investasi di Era Digital yang digelar Modalku di Jakarta, pada Rabu (27/8/2017).

Hendrikus Passagi, Direktur Pengaturan Perijinan dan Pengawasan Fintech OJK, menyebutkan P2P lending berpeluang besar untuk berkolaborasi dengan program pemerintah, seperti SBN ritel, penyaluran dana desa atau dana bergulir. “Mereka juga bisa bekerjasama dengan industri jasa keuangan seperti BPR, BPD, pegadaian, asuransi dan penjaminan serta koperasi,” tutur Hendrikus. Modalku, salah satu perusahaan P2P lending sedang memproses kerjasama dan kolaborasi dengan Band Perkreditan Rakyat (BPR), seperti dituturkan oleh Reynold Wijaya, Co-Founder dan CEO Modalku. “Kami sedang menjajaki kerjasama dengan BPR, sebelumnya kami sudah bekerjasama dengn multifinance dan venture capital,” ujar Reynold.

Hendrikus menegaskan P2P lending bukan disruptor industri perbankan lantaran fintech lending ini bisa berkolaborasi dengan BPR atau Bank Pembangunan Daerah (BPD). Tantangan P2P lending ke depannya adalah melakukan penterasi pasar di daerah dan beradaptasi dengan kultur konsumen di daerah tertentu. Nah, lanjut Hendrikus, BPR atau BPD yang memiliki kantor cabang di daerah sudah berakulturasi dengan nasabah yang memahami budaya lokal sehingga mereka bisa digandeng ole P2P lending.

Reynold menimpali pihaknya berencana memperluas jangkauan layanannya ke beberapa daerah, antara lain ke Indonesia Timur. PT Mitrausaha Indonesia Grup, selaku perusahaan yang mengelola Modalku, berkomitmen untuk bernovasi untuk memberikan jasa pinjam-meminjam yang lebih memudakan konsumen. “Kami selalu berusaha menyediakan layanan keuangan terbaik dan menguntungkan, seperti ke pelaku bisnis UMKM selaku peminjam, serta pemberi pinjaman P2P lending. Pemberdayaan UMKM dan penciptaan alternatif investasi yang dilakukan P2P lending berperan memajukan ekonomi Indonesia,” tutur Reynold.

OJK berharap rencana ekspasnsi P2P lending itu nantinya berkembang sebagai alternatif investasi. Sebab, P2P lending menjembatani pemberi pinjaman dan peminjam di platform digital. Pemberi pinjaman alias lender akan memperoleh imbal hasil yang persentasenya di atas bunga deposito bank. Tentu saja, hal ini menarik minat masyarakat untuk memberikan pinjaman. Jadi, si pemberi pinjaman atau investor di P2P lending itu akan menerima return atas dana pinjaman yang diberikan ke peminjam (borrower)

Muhammad Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan periode 2013-2014, mengatakan layanan dan jasa fintech lending disebut menjangkau pelosok daerah serta berbiaya rendah dibandingkan layanan keuangan konvesional. OJK, selaku regulator, telah menerbitkan peraturan fintech lending untuk menata ekosistem P2P lending serta melindungi konsumen. Aturan P2P lending termaktub di Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI). Aturan ini kian mendongkrak P2P lending dalam satu tahun terakhir ini. Tengok saja, jumlah pemberi pinjaman dan peminjam P2P lending pada kuartal III tahun ini mengundang decak kagum. Jumlah pemberi pinjaman di Januari-September 2017 melejit sebesar 296%, atau menjadi 48.034 orang dari Desember 2016 sebanyak 12.145 lender.Adapun, jumlah peminjam atau borrower tumbuh 136%, atau menjadi 120.174 orang.

OJK pun berharap perusaaan fintech lending bertambah menjadi 800 dari jumlah saat ini 22 perusahaan fintech lending yang memperoleh izin di OJK untuk berperan mengisi kesenjangan pendanaan di Indonesia yang nilainya mencapai Rp 1.000 triliun. Layanan jasa keuangan konvensional menyalurkan dana sekitar Rp 700 triliun dari kebutuhan pendanaan senilai Rp 1.700 triliun. Kehadiran P2P lending memudahkan akses keuangan kepada masyarakat yang unbankable, terutama UMKM, untuk memperoleh dana pinjaman untuk modal kerja. “50 juta UMKM masih unbankable,” tambah Hendrikus. OJK sudah menyusun Peta Jalan Fintech Lending 2017-2023 yang memproyeksikan P2P lending di Indonesia dikenal reputasinya di tingkat global. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved