Business Update

Sudah Saatnya UKM Indonesia Harus Naik Kelas

Sudah Saatnya UKM Indonesia Harus Naik Kelas

Gaung Gerakan Bangga Buatan Indonesia dibunyikan agar masyarakat Indonesia mencintai dan menggunakan karya anak bangsa, utamanya produk UMKM lokal. Hasil yang diharapkan dari gerakan ini tentunya adalah pertumbuhan ekonomi yang berasal dari kegiatan pelaku UMKM di Indonesia yang memproses bahan baku menjadi barang dengan nilai tambah, dengan konsumen baik dalam maupun luar negeri. Di sini kita berbicara sebuah populasi usaha yang didominasi oleh usaha mikro yang jumlahnya di Indonesia melebihi 63 juta unit (98.7%), dan golongan minoritas 1% lebihnya adalah usaha kecil (783.000), menengah (60.000).

Lishia Erza (CEO ASYX), ASYX Membantu Mengembangkan teknologi supplay chain UMKM di Subang

Tidak sedikit juga yang menyuarakan bahwa UKM di Indonesia perlu menjadi bagian dari rantai pasok lokal dan global untuk mempercepat proses naik kelas. Oktaf lain dari nada sejenis berbunyi tentang industrialisasi usaha di Indonesia. Semua menyanyikan lagu yang sama: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Indonesia agar maju secara kapasitas dan kompetensi, supaya bisa bersaing dan memiliki ketahanan. Realitanya, fenomena missing middle berdasarkan data tahun 2006, 2017, dan 2019 tidak mengalami perubahan signifikan selama lebih dari 10 tahun dan pertumbuhan usaha mikro selalu lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi nasional. Kontribusi 85% dari ekspor Indonesia tetap berasal dari kategori usaha besar yang jumlahnya hanya 5,500.

Obsesi pada kenaikan omzet atau kepemilikan aset sangat tidak cukup untuk menopang ekonomi Indonesia ketika harus bersaing di kancah internasional. Di satu sisi penggiat ekonomi di hulu rantai pasok dibanjiri oleh fasilitas keuangan hulu (pembiayaan petani, KUR, dll) dan pendampingan bersifat artisan untuk berjualan dengan model B2C (hulu langsung hilir), sementara penggiat hilir rantai pasok dibanjiri oleh pedagang/trader (atau bahasa trendynya reseller united) yang terfokus kepada margin, mereka agnostik terhadap sumber barang yang diperdagangkan, terlepas dari barang jadi atau barang setengah jadi untuk industri hilir. Usaha ekosistem untuk mendukung UKM industri tengah masih sedikit padahal ini kategori yang dibutuhkan pertumbuhannya.

Di saat lansekap UKM Indonesia masih bergulat dengan inisiatif populis terhadap usaha mikro, UKM di negara lain sudah berkompetisi berdasarkan termin pembayaran – tidak lagi sebatas harga atau kualitas. Kekuatan arus kas adalah senjata kompetisi mereka, memanfaatkan instrumen keuangan rantai pasok yang di Indonesia belum umum atau bahkan belum ada produk keuangannya.

Pelaku UKM di luar negeri sudah memanfaatkan kas sebagai nafas usaha dan stamina; sementara UKM di Indonesia masih diarahkan untuk membangun otot, baru mempercantik diri, tanpa paham apa pertandingan yang terjadi. Kemahiran pelaku UKM luar negeri mengelola informasi seperti Days Inventory Outstanding (berapa lama stok barang duduk di gudang sebelum terjual adalah berapa lama kas usaha belum berputar), Days Sales Outstanding (berapa lama sebuah usaha harus memenuhi semua pembayaran terhadap pemasok), Days Payables Outstanding (berapa lama sebuah usaha harus bertahan sampai dibayar oleh pembeli) menunjukkan tingkat kemahiran/kecanggihan pelaku usaha kecil/menengah mengatur nafas dan stamina dalam berkompetisi di rantai pasok domestik dan internasional masing-masing. Ketika UKM Indonesia harus berlari dengan mendapatkan kontrak pasok atau menjadi bagian dari rantai pasok sebuah industri walaupun kecil, UKM Indonesia bernafas pendek, bahkan ketika rantai pasoknya ada di skala menengah dalam negeri sekalipun.

Mendorong UKM Indonesia untuk naik kelas membutuhkan usaha dan pemikiran lebih dari sekedar memasukkannya ke rantai pasok saja. Perlu ada kekuatan kelembagaan dan kerangka hukum yang mendukung, teknologi untuk memproses data dan berintegrasi secara digital ke rantai pasoknya, serta permodalan tepat guna menciptakan ekosistem jasa keuangan yang baik.§


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved