Capital Market & Investment zkumparan

Akhir 2018, Saham Vale Diestimasikan Naik 47%

(kedua dari kiri) Nico Kanter, Bos Vale. (Foto : Vicky Rachman).

Harga saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) di akhir tahun 2018 diproyeksikan naik sebesar 47% dari Rp 2.890 pada 31 Desember 2017 (year on year). Sebab, investor diyakini mengapresiasi saham Vale lantaran kinerja fundamentalnya positif seiring dengan peningkatan harga nikel dan sentiment positif dari rencana INCO membangun smelter untuk memproduksi nikel yang dijadikan komponen pembuatan baterai mobil listrik.

Kiswoyo Adi Joe, Kepala Riset PT Narada Kapital Indonesia, investor mengapresiasi positif kedua hal itu sehingga mengakumulasi beli saham INCO. “Target price saham INCO di akhir tahun ini di level Rp 4.250. Katalis positifnya itu karena harga nikel melonjak, membukukan laba bersih di semester I tahun ini, dan rencana membangun smelter untuk membuat baterai mobil listrik,” ucap Kiswoyo saat dihubungi SWA Online di Jakarta (3/9/2018).

Kiswoyo memperkirakan laba bersih Vale di akhir tahun ini diestimasikan meningkat, karena sentiment positif peningkatan harga nikel. Laba bersih Vale pada semester I/2018 senilai US$ 29,4 juta dari rugi bersih US$ 21,5 juta di periode yang sama tahun lalu. “Laba bersihnya berpotensi naik 2 kali lipat,” sebut Kiswoyo.

Direktur Utama Vale, Nico Kanter, saat menjabarkan kinerja bisnis Vale di Investor Summit di Gedung Bursa Efek Indonesia, pada pekan lalu, mengemukakan perseroan berencana membangun smelter di Pomalaa, Sulawesi Tenggara dan Bahodopi, Sulawesi Tengah. Rencananya, smelter di Pomalaa untuk memproduksi nikel yang nantinya dijadikan bahan baku pembuatan baterai mobil listrik. Nico menyebutkan nikel itu terdiri dua jenis, yakni nikel kelas dua dan nikel kelas satu. Untuk nikel kelas dua digunakan untuk stainless steel (baja). Sedangkan nikel kelas satu dijadikan bahan untuk baterai mobil listrik. “Jadi kalau smelter yang di Pomalaa itu sudah berjalan, maka itu akan menjadi salah satu bahan untuk baterai mobil listrik,” ujar Nico.

Pemerintah menargetkan populasi mobil listrik di tahun 2025 akan semakin bertambah jumlahnya dan gencar menerapkan kebijakan mobil ramah lingkungan di masa mendatang. Kebijakan pemerintah ini bisa berdampak positif bagi industri komponen mobil listrik, salah satunya adalah baterai mobil listrik dari nikel. Baterai mobil listrik memiliki dua komponen, yaitu kobalt dan nikel. Namun material kobalt jumlahnya masih terbatas dan harganya tinggi, mencapai 80 ribu dollar AS per ton dan produsennya di Afrika. Alhasil, produsen mencoba membuat baterai mobil listrik dengan mengurangi kadar kobalt dan memperbanyak nikel agar harganya lebih kompetitif. Direktur Keuangan Vale Indonesia, Febriany Eddy, menambahkan saat ini teknologi pengolahan nikel yang menghasilkan nikel sesuai dengan kebutuhan baterai mobil listrik di Indonesia. Sehingga, proyek di smelter Pomalaa ini akan menjadi pionir teknologi pengolahan nikel untuk baterai mobil listrik di Indonesia.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved