CSR Corner Corporate Action

Parah, CSR Produsen Rokok Tidak Tepat Sasaran!

Parah, CSR Produsen Rokok Tidak Tepat Sasaran!

Corporate Social Responsibility (CSR) saat ini memang menjadi sebuah kewajiban bagi perusahaan. Apalagi bagi perusahaan yang bisnisnya secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada lingkungan maupun sosial. Tujuannya, agar perusahaan dapat memperbaiki, menanggulangi, serta meminimalisir kerusakan yang disebabkan oleh bisnisnya.

rokok

Pemerintah sendiri telah menetapkan 5% dari profit mereka untuk melakukan tanggung jawab sosial terkait dengan lingkungan dan sosial yang terdampak. Dalam konsep Public Relation yang banyak dikenal di kalangan akademisi, CSR juga dapat diartikan sebagai “menghapus satu kesalahan dengan lima perbuatan baik,”

Beberapa perusahaan yang gencar melakukan CSR antara lain adalah perusahaan rokok. Tidak tanggung tangung, perusahaan rokok berkenan mengeluarkan uang hingga jutaan US$ untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan masyarakat serta penanggulangan kerusakan lingkungan.

Banyak juga di antara mereka yang menjadi sponsor utama dari kegiatan olahraga dan musik dengan menyasar pada anak muda. Dengan merangkul isu yang sensitif mengenai hal yang terjadi di masyarakat, industri rokok sangat mendapatkan citra yang positif di kalangan masyarakat.

Menjadi sebuah pertanyaan ketika apakah dana yang dikeluarkan oleh industri rokok ini sepadan dengan dampak yang disebabkan oleh perilaku mengkonsumsi tembakau ini? Pertimbangannya adalah sebanyak 170 negara telah menandatangani kesepakatan untuk mengatur regulasi mengenai pemberlakuan kebijakan pengendalian jumlah rokok.Ironisnya, Indonesia tidak termasuk di dalamnya.

Menjawab pertanyaan ini, Jalal selaku Aktivis Pengendalian Tembakau menyatakan bahwa CSR yang dilakukan oleh perusahaan rokok tidak sebanding dengan dampak yang terjadi.

“CSR itu konsepnya adalah mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat, kemudian meminimalisir hal tersebut dan mengkaji ulang agar menjadi baik. Namun tidak demikian halnya dengan industri rokok. Produknya sendiri memang sudah berdampak langsung pada kesehatan. Bahkan menjadi candu. Jika ia mengeluarkan dana sebesar katakanlah US$5 juta untuk kegiatan CSR saya rasa hal tersebut tidak sepadan dengan akibat yang ditimbulkan oleh rokok sendiri. Coba bayangkan, memangnya apa hubungannya antara rokok dengan beasiswa?” ujar Jalal.

Selain kegiatan CSR yang tidak sesuai, Jalal juga menyatakan bahwa kucuran dana yang dikeluarkan oleh perusahaan rokok dalam melakukan kegiatan tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan atas konsumsi rokok itu sendiri. Meskipun cukai yang diterima oleh negara cukup besar di Industri rokok, namun dalam jangka waktu panjang negara akan mengalami kerugian yang cukup besar.

“Jika bicara mengenai apakah dana yang dikeluarkan oleh perusahaan rokok cukup untuk menutupi kerugian yang ditimbulkan akibat konsumsi rokok itu sendiri, jawabannya jelas. Dari perhitungan yang kami lakukan berdasarkan riset, jumlah cukai yang diterima adalah sebesar Rp 135 triliun. Namun dampak yang harus ditanggung pemerintah bisa mencapai Rp 375 triliun. Logikanya seperti ini. Jika perusahaan rokok mengeluarkan beasiswa dan pelatihan, berapa orang sih yang mendapatkan dana itu, berapa sih dana yang dikeluarkan? Apakah itu bisa sebanding dengan dana yang dikeluarkan akibat konsumsi rokok? Saya rasa tidak sebanding,” paparnya.

Jalal kemudian membandingkan mengenai konsep CSR dari industri rokok dengan industri lainnya, dimana pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa CSR dari industri rokok merupakan sebuah kegiatan yang janggal.

“Kalau produk makanan atau produk konsumsi lainnya, ketika ditemukan bahwa ia mengandung racun atau zat adiktif, produk tersebut akan ditarik. Namum tidak demikian halnya dengan rokok. Produknya mengandung racun, namun tetap saja beredar. Malah dananya dialokasikan dengan hal lain,” tutupnya dengan rasa kecewa. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved