Financial Report Corporate Action

Laba Emiten Ban Tahun 2014 Bervariasi

Laba Emiten Ban Tahun 2014 Bervariasi

Laba bersih PT Gajah Tunggal Tbk. (GJTL) sepanjang tahun 2014 tercatat sebanyak Rp 269,8 miliar, melonjak 124,47% apabila dibandingkan pencapaian di tahun 2013 sebanyak Rp 120,3 miliar.Pada periode yang sama, perseroan membukukan penjualan bersih Rp 13,07 triliun, naik dari Rp 12,35 triliun. Beban pokok penjualan mencapai Rp10,62 triliun dari Rp 9,86 triliun pada periode 2013.

Laba kotor yang diraih perseroan pada tahun lalu sebesar Rp 2,44 triliun dari tahun sebelumnya Rp 2,48 triliun. Laba sebelum pajak tercatat sebesar Rp 394,05 miliar dari Rp 166,47 miliar. Sedangkan liabilitas sebesar Rp 10,05 triliun dari Rp 9,62 triliun dan ekuitas Rp 5,98 triliun dari Rp 5,72 triliun. Berdasarkan laporan keuangan perseroan yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia, laba per saham dasar produsen ban ini naik menjadi Rp 77 dari setahun sebelumnya Rp 35.

Arijanto Notorahardjo, GM Marketing & Sales Retail PT Gajah Tunggal Tbk. Laba Bersih Gajah Tunggal Naik 124,27% di Tahun 2014

Arijanto Notorahardjo, GM Marketing & Sales Retail PT Gajah Tunggal Tbk. Laba Bersih Gajah Tunggal Naik 124,27% di Tahun 2014

Emiten ban lainnya, PT Multistrada Arah Sarana Tbk., (MASA) mengalami penurunan kinerja karena laba tahun berjalan yang dapat didistribusikan kepada pemilik entitas induk per Desember 2014 turun sebesar 85,62% menjadi US$ 528,08 ribu dibandingkan laba bersih tahun sebelumnya yang US$3,67 juta. Penjualannya juga turun menjadi US$ 284,31 juta dari US$323,89 juta. Industri otomoti nasional yang tahun lalu mengalami perlambatan penjualan bisa berdampak terhadap kinerja produsen ban. Namun, emiten ban memiliki berbagai cara untuk memperkuat pasarnya, misalnya memperluas pasar ekspor.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memproyeksikan penjualan mobil di tahun 2015 akan stagnan. Meski demikian, pasar otomotif nasional akan kembali bangki. Apalagi, pabrikan otomotif global gencar berinvestasi di Indonesia. Berbagai perusahaan otomotif membidik Indonesia sebagai basis produksi. Contohnya saja, rencana pembangunan pabrik karet oleh raksasa industri ban, Compagnie Financiere Michelin.

Pabrik Karet

Saleh Husin, Menteri Industri mengapresiasi rencana Michelin membangun pabrik karet di Indonesia. Selain mengapresiasi ekspansi produsen ban asal Perancis itu, Saleh Husin juga meminta Michelin menyerap karet alam produksi petani.“Pabriknya kan baru beroperasi 2019, perkebunan atau plantation karet juga butuh waktu untuk mulai menghasilkan, jadi saya minta Michelin lebih dahulu menyerap karet petani,” kata Saleh Husin usai menerima Corporate Vice President Public Affairs Michelin, Eric Le Corre, di Kementerian Perindustrian, pertengahan pekan ini.

Sejauh ini produksi karet alam terbanyak dihasilkan Sumatera Selatan, diikuti Sumut, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.Pabrik ban tersebut merupakan patungan Michelin dengan anak usaha Barito Pacific, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. Pembelian karet oleh Michelin itu diharapkan turut meningkatkan serapan karet Indonesia ke industri.

Menurut Dirjen Basis Industri Manufaktur Kemenperin, Harjanto, sekitar 20% produksi karet nasional diserap oleh industri ban, sedangkan di Thailand dan Malaysia sudah mencapai 40% dari total produksi masing-masing dua negara itu. Selama ini, lanjutnya, sepertiga kebutuhan karet di unit-unit produksi Michelin seluruh dunia berasal dari Indonesia yang diharapkan porsinya makin bertambah.

VP Michelin, Eric Le Corre,mengatakan pihaknya menyampaikan optimisme tentang prospek bisnis jangka panjang di Indonesia kepada Menperin. “Michelin selalu terbuka mencari peluang baru di seluruh dunia. Permintaan Menteri Perindustrian akan kami sampaikan ke manajemen di kantor pusat Michelin di Perancis,” paparnya.

Selain serapan karet petani, Kemenperin juga mendorong tiga bidang kerja sama dengan Michelin. Pertama, membantu standardisasi ban agar akses pasar ban keluar negeri makin luas. Kedua, mengembangkan bisnis retreading tyre atau yang lebih dikenal sebagai vulkanisir. Yang ketiga, Michelin membantu pemanfaatan ban bekas.

Menurut Harjanto, bisnis vulkanisir ban dikhususkan untuk ban pesawat terbang. “Michelin sudah mengembangkan bisnis retreading tire di Thailand. Kita juga ingin mereka membangun bisnis serupa di sini,” ujarnya. Dia juga meluruskan persepsi publik yang cenderung apriori terhadap ban hasil vulkanisir. “Di industri pesawat seluruh dunia, hal ini sudah berkembang lama. Bukan hanya untuk menekan cost tapi juga demi kepentingan lingkungan,” lanjut Harjanto.

Dia berharap, teknologi dan keahlian Michelin dapat membantu pengembangan industri vulkanisir ban pesawat di Indonesia sekaligus mengikis persepsi negatif selama ini. Apalagi industri manufaktur pesawat dan industri transportasi udara terus berkembang. “Kita juga meminta Michelin membantu pemanfaatan ban bekas untuk diolah menjadi unsur pembangunan jalan. Jadi infrastruktur kita menggunakan limbah sekaligus mengurangi kerusakan lingkungan,” lanjutnya. Harjanto memperhitungkan, saat ini terdapat 80 juta kendaraan bermotor roda dua sehingga total ada 160 juta ban. Dengan rata-rata pemakaian selama 1,5 – 2 tahun maka akan banyak limbah ban bekas yang dapat dimanfaatkan. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved