Good Corporate Governance Corporate Action

Implementasi GCG Harus Libatkan Semua Stakeholders

Implementasi GCG Harus Libatkan Semua Stakeholders

Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik saat ini sudah menjadi satu hal penting yang harus diperhatikan perusahaan-perusahaan, baik itu BUMN maupun swasta. Khususnya bagi emiten yang memiliki kewajiban transparansi informasi kepada publik, terutama investor sahamnya. GCG itu bisa menentukan kredibilitas perusahaan di mata semua stakeholders-nya. Namun untuk implementasinya, stakeholders pun harus dilibatkan supaya GCG satu perusahaan itu bisa terlaksana.

Mengingat pada tahun 2015 ASEAN Economic Community (AEC) akan dimulai, maka pasti akan lebih banyak lagi perusahaan Indonesia yang berusaha “go ASEAN”, sehingga perusahaan kita sangat perlu memiliki GCG. Karena GCG itu satu keniscayaan bagi perusahaan multinasional. Apalagi negara lain itu sudah lebih concern terhadap GCG. Lebih lengkapnya, mari kita simak hasil wawancara reporter SWA Online, Ria E. Pratiwi, dengan Mas Achmad Daniri, Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).

Mas Achmad daniri

Sebetulnya seberapa besar pengaruh GCG dalam hubungan antara perusahaan dengan stakeholders-nya?

Dalam perusahaan berhubungan dan berperilaku terhadap stakeholders-nya (untuk eksternal, misalnya supplier, regulator/pemerintah, investor dan lainnya; dan untuk internal ada komisaris, direksi, karyawan dan sebagainya). Saya pernah membicarakan soal Rumah Governance yang basisnya adalah values atau tata nilai, yakni Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi, dan Fairness (TARIF). Setelah itu dibangun governance structure yang adalah check & balance; jadi bagaimana mengeliminasi benturan kepentingan, fraud, dan lain-lain, supaya pekerjaan satu perusahaan itu bisa efektif.

Kemudian, governance process yang berkaitan dengan mekanisme pengambilan kebijakan/keputusan dalam perusahaan. Misal dalam pengambilan keputusan itu harus transparan antara sesama direksi. Misalnya di zaman Bapepam-LK dulu, ada aturan yang rules making rules, jadi rancangan aturan diedarkan dulu untuk minta pendapat dari yang mau diaturnya, dan itu sebagai bentuk transparansi, fairness dan akuntabilitas dari Bapepam-LK itu sendiri. Lalu, ada tataran yang disebut governance outcome yang berkaitan dengan bagaimana cara berhubungan dengan stakeholders, sehingga mereka pun menerima manfaat atas kegiatan bisnis perusahaan. Jadi ini bisa menimbulkan win-win solution dan bisa growing together.

Apakah ada perbedaan antara pelaksanaan GCG di perusahaan BUMN dan swasta?

Saya malah melihat bahwa BUMN itu memberikan contoh bagus dalam GCG karena banyak mengawasinya. Memang pelaksanaan GCG di Indonesia lebih didorong dengan regulasi, meskipun pada hakikatnya pelaksanaan GCG harusnya beyond the rules, regulation dan compliance. Tapi yang menarik, OJK akan mengeluarkan aturan semacam comply dan explain. Misalnya kalau perusahaan itu tidak comply kenapa alasannya, itu ditulis di bagian explain, dan ini harus masuk di laporan tahunan mereka. Itu sebagai bentuk transparansi atau pertanggungjawaban, sehingga semua stakeholders bisa menilai secara gamblang.

Apakah pengawasan oleh otoritas terhadap GCG suatu perusahaan harus dilakukan rutin setahun sekali?

Pengawasan itu bisa dilakukan salah satunya dengan pelaporan (jadi tidak mesti setahun sekali). Misalnya di perbankan itu ada assessment yang dilakukan 2 tahun sekali kepada otoritasnya. Ada yang harus diperiksa, tapi ada juga yang bisa dilihat dari laporannya saja. Misalnya transparansi dalam pengungkapan data ke publik, nah ini bentuk pengawasan juga. Bahkan yang mengawasi itu bukan hanya OJK, tapi publik juga ikut mengawasi.

Berarti jika perusahaan itu terbuka (Tbk), dia punya tekanan tersendiri bahwa harus mengimplementasi GCG ya?

Perusahaan publik itu memang pelaksanaan GCG-nya harus lebih bagus. Karena seluruh aturan di pasar modal itu sebetulnya terkait dengan GCG, yakni ada transparansi, akuntabilitas, fairness, dan sebagainya. Suatu saat tidak akan mungkin lagi kita hanya berbisnis seperti sekarang ini, lama-lama pasti akan memperluas bisnisnya ke luar Indonesia, dan di negara lain itu GCG adalah suatu keharusan.

Dengan sudah digaungkannya soal GCG sejak lima tahun lalu, mengapa masih saja ada praktik KKN atau suap di perusahaan-perusahaan di Indonesia?

Di dalam negara itu ada tiga pilar, yakni negara/pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Yang ideal, semuanya harus melaksanakan GCG. Dimulai dari penyelenggara negara (pemerintah), yang mana dia harus melakukan good governance. Dunia usaha juga harus punya corporate governance. Masyarakat juga harus peduli, kalau ada yang aneh-aneh, dia harus bisa memberi masukan. Kalau ada peraturan yang kurang bagus, misal ada rules making rules ya dia harus peduli.

Kenapa praktik suap masih ada sampai sekarang? Pendekatannya yakni perusahaan-perusahaan itu bisa membuat kampanye anti suap dalam implementasi CSR-nya. Perusahaan-perusahaan besar itu bisa menyampaikan ke para supplier-nya dan berkomitmen bahwa ketika bertransaksi tidak akan terjadi suap menyuap. Saya kira kalau itu terus menerus digulirkan, maka insya Allah akan berkurang (praktik suap). Tapi ini harus ada komitmen dari pemegang saham pengendali atau dari perusahaan. Lalu, perusahan juga harus engage dengan stakeholders-nya.

Memang, dalam implementasi GCG, kita baru masuk pada tataran sistem, misalnya ada program ‘BUMN Bersih’. Di sini harus ada komitmen dan pembangunan sistem tertentu, misalkan whistle blowing system. Syarat-syarat seperti ini kan diminta oleh Kementerian BUMN. Lalu, ada pembangunan kultur (perusahaan) yang bisa dibilang lebih sulit, karena harus membangun masyarakat dan industrinya juga. Makanya ini harus konsisten diperjuangkan. Di sini juga harus ada political will. Misalnya sekarang akan ada Pilpres, ya itu harus jadi komitmen (semua pihak) juga.

Karena tadi Anda bilang bahwa perusahaan Indonesia nantinya akan banyak yang memperluas bisnisnya di luar negeri juga, apalagi setelah AEC dimulai pada 2015, jadi apakah aturan GCG di Indonesia harus menyamakan dengan aturan GCG yang ada di ASEAN Score Card? Ini supaya perusahaan kita bisa beroperasi dengan baik di sana.

Ada hal-hal yang sifatnya umum (dalam aturan GCG), tapi kalau untuk menilai local wisdom dari masing-masing negara, itu yang agak susah. Setiap negara pasti ada hal yang sulit diukur seperti itu. Kalau satu perusahaan akan menjadi perusahaan multinasional, maka yang harus dicontoh adalah best practices internasional.

Aturan GCG sebenarnya bersifat umum atau bisa diterima dimana saja. Cuma misalnya OECD memperkenalkan Responsibility, Accountability, Fairness, and Transparancy (RAFT). Dia tidak mengikutsertakan Independensi dalam poin sendiri, melainkan ini masuk ke Fairness dan Akuntabilitas. Tapi di Indonesia, kita menambahkan prinsip Independensi. Karena kita ingin misalnya pemegang saham pengendali jangan terlalu mengintervensi kalau sudah ada pemberian kewenangan kepada direksi; komisaris juga tidak boleh ikut ambil untung, melainkan harus fokus kepada pengawasannya saja.

Lalu, apa rencana KNKG ke depannya supaya pelaksanaan GCG di Indonesia semakin baik?

Pekerjaan KNKG itu lebih kepada penyusunan pedoman GCG, dan bersama Lembaga Komisaris dan Direksi Indonesia (LKDI), kita berusaha membangun agent of change sebanyak-banyaknya, dan juga melakukan sosialisasi seperti ini. Kemudian, kita juga sedang mengembangkan roadmap yang lebih komprehensif, karena yang roadmap dari OJK itu lebih terbatas kepada emiten kan. Ketika membangun roadmap di OJK, kita sudah mendapatkan masukan banyak, jadi bisa membuat roadmap sendiri dan ini akan kita realisasikan di akhir tahun ini.

Dalam penyusunannya, kita menampung masukan dari semua institusi terkait GCG, seperti OECD, IICG, dan lain-lain. Semakin banyak yang memberi masukan semakin bagus. Roadmap itu harusnya memetakan siapa melakukan apa, jadi apa yang dikerjakan semuanya bisa sinkron. Misal KNKG harus melakukan apa, OJK harus melakukan apa, OECD/IICG harus melakukan apa, emiten-emiten harus apa, dan sebagainya. Pedoman yang kita keluarkan itu sifatnya soft law, yakni kesepakatan antara semua stakeholders. Misal dalam perumusan pedoman GCG untuk Perbankan, yang diundang adalah BI, OJK, dan bank-bank itu sendiri. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved