Capital Market & Investment

Meneropong Prospek Saham Bukalapak

Meneropong Prospek Saham Bukalapak

Investor meminati saham Bukalapak, kendati perusahaan ini masih mencatat kerugian. Pertumbuhan bisnis e-commerce di masa mendatang diyakini investor akan memutarbalikkan kinerja Bukalapak sehingga investor mengapresiasi IPO-nya. Anda berminat beli?

Tak mau ketinggalan momentum, investor domestik memesan saham PT Bukalapak.com pada masa penawaran awal yang digelar dari9 Juli hingga 19 Juli 2021 di harga Rp 750-850 per saham. Saham berkode BUKA ini menarik minat investor ritel, seperti Andre Benas.

“Perkembangan bisnisnya lebih baik daripada 5-6 tahun lalu, mengembangkan superapps. Saya secara personal tertarik berinvestasi di Bukalapak,” ucap Andre. Kinerja fundamental Bukalapak memang masih merugi, tetapi sahamnya menyedot perhatian para pemodal.

Minat investor terhadap saham BUKA tecermin dari beberapa perubahan nilai emisinya. Awalnya, nilai emisi diproyeksikan Rp 11,4 triliun, kemudian diubah menjadi Rp 14,5 triliun. Manajemen Bukalapak menetapkan finalisasi nilai emisi Rp 19,3 triliun hingga Rp 21,9 triliun. Jumlah saham yang dilepas sebanyak 25,76 miliar unit. Pada masa pembentukan harga (book building) pada 9-19 Juli 2021, investor berlomba-lomba memesan saham BUKA.

Alhasil, saham ini berpotensi mencatatkan kelebihan permintaan (oversubscribed). Merujuk Reuters pada 21 Juli 2021, dua sumber yang namanya enggan dipublikasikan menyebutkan bahwa saham ini pada masa bookbuilding mengalami kelebihan permintaan senilai US$ 6 miliar atau setara dengan Rp 87 triliun sehingga oversubscribed saham BUKA mencapai empat kali lipat dari target nilai emisi itu.

Walau demikian, laju bisnis perusahaan lokapasar (marketplace) ini belum menggembirakan. Pendapatan bersih Bukalapak pada 2020 senilai Rp 1,35 triliun atau naik 25,55% dari Rp 1,08 triliun di 2019. Namun, perusahaan e-commerce yang didirikan Achmad Zaky dan koleganya di 2010 itu membukukan rugi bersih Rp 1,35 triliun. Nilai kerugian di tahun lalu itu lebih rendah 51,74% daripada rugi bersih pada 2019 senilai Rp 2,79 triliun. Adapun rugi bersih per saham yang dapat diatribusikan kepada pemegang saham entitas induk senilai Rp 171,48, lebih rendah daripada sebelumnya yang sebesar Rp 365,79.

Kinerja fundamental yang belum ciamik ini agak menciutkan nyaliinvestor ritel. Contohnya,Zola Azaria, yang menahan diri untuk memesan saham BUKA. “Valuasinya cukup mahal, PBV-nya 50 kali, harga saham yang ditawarkan juga relatif tinggi, belum membukukan laba bersih. Jadi, saya belum berminat memesan saham Bukalapak,” ucap Zola.

Pendapat senada disampaikan Suherman. “Saya agak hati-hati membelinya dan mempertimbangkan saham Bukalapak di pasar sekunder jikalau tren harganya melonjak setelah IPO,” kata pria yang memulai investasi di pasar saham tahun 2008 itu. Zola pun menyiagakan modal membeli saham Bukalapak di pasar sekunder bila harganya menunjukkan tren peningkatan.

Aksi ambil untung investor dalam jangka pendek setelah perdagangan perdana Bukalapak itu bisa saja terjadi. Manajemen Bukalapak tak khawatir. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Sebab, Bukalapak tidak mengagendakan opsi “greenshoe”. Biasanya, greenshoe dipraktikkan untuk menstabilkan harga pada penawawan umum yang diakibatkan aksi jual saham di jangka pendek.

Sumber: Bloomberg, BEI (diolah)

Sambil menantikan IPO Bukalapak pada awal Agustus, Suherman fokus pada saham PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN). Di sepanjang tahun ini, dia telah merealisasikan aksi ambil untung senilai Rp 150 juta dari empat saham yang sempat nangkring di portofolionya. ”Saya mengakumulasi beli saham yang performa bisnisnya sudah teruji dan mencetak laba bersih, yakni saham blue chips dan second liner di pasar sekunder,” katanya.

Nah, kembali ke saham BUKA, Lo Kheng Hong, yang dalam 20 tahun terakhir tidak membeli saham IPO, mempertimbangkan kinerja fundamental sebagai indikator utama berinvestasi saham. Dia enggan membeli saham IPO karena belum teruji performa bisninya “Tidak hanya calon emiten teknologi, setiap investor mempertimbangkan fundamental keuangan emiten yang hendak IPO,” ujar investor yang dijuluki Warren Buffet-nya Indonesia itu.

Beda investor, beda pula gayanya dalam berinvestasi saham. Walau belum mencetak untung, peminat saham Bukalapak malah membludak. Dana disiagakan sejak jauh-jauh hari untuk membeli saham ini. Riset yang dirilis PT Victoria Sekuritas Indonesia pada 19 Juli lalu menyebutkan minimnya likuiditas pasar saham disebabkan investor menyiapkan dana untuk IPO Bukalapak. Perusahaan bervaluasi unicorn iniakan melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 6 Agustus 2021.

Roger MM, Head of Investment Information PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia (Mirae Sekuritas), mengatakan bahwa penawaran umum perdana saham Bukalapak merupakan sentimen positif untuk menggairahkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan partisipasi investor ritel di pasar modal. Kolega Roger di Mirae Sekuritas, Martha Christina, berpendapat yang sama

Namun, Martha menggarisbawahi dampaknya akan membutuhkan waktu. Ini mengacu pada saham-saham teknologi di pasar saham Amerika Serikat, seperti Apple, Google, atau Amazon, yang menjelma sebagai perusahaan berkapitalisasi besar setelah lebih dari satu dasawarsa melaksanakan IPO di Negeri Abang Sam itu.

“Amazon dan Google butuh waktu puluhan tahun, mereka IPO pada 1996 dan 1997. Untuk menjadi perusahaan terbesar di dunia saat ini, membutuhkan waktu,” tutur Martha yang menjabat sebagai Senior Investment Information Mirae Sekuritas.

Kapitalisasi pasar perusahaan teknologi di bursa AS menduduki urutan 1-4, menggeser perusahaan konvensional. Pandu Patria Sjahrir, Komisaris PT Bursa Efek Indonesia, menyampaikan, Apple, Microsoft, Amazon, dan Alibaba melampaui kapitalisasi pasar Exxon dan General Electric di tahun 2020. Kapitalisasi pasar Bukalapak diproyeksikan mencapai US$ 6,05 miliar atau Rp 87,72 triliun. Pandu memproyeksikan peringkat Bukalapak di posisi ke-15 di antara 20 perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI.

Ellen May, praktisi investasi saham dan pendiri EM Institute, menyebutkan bahwa porsi free float Bukalapak yang dipatok sebesar 25% akan menambah bobot IHSG dan potensi kapitalisasi pasarnya yang jumbo itu akan diapresiasi investor. “(Ada) kemungkinan fund manager reksa dana akan beli saham Bukalapak, terlepas dari untung atau rugi kinerjanya, karena bobot (weighted) saham Bukalapak akan besar,” kata Ellen.

CEO Bukalapak Muhammad Rachmat Kaimuddin menjelaskan, rencana IPO ini akan memperkuat jaringan bisnis dan memberikan peluang kepada pedagang kecil dan lainnya di ekosistem digital untuk membantu usaha mikro, kecil, dan menegah (UMKM), serta untuk mengurangi kesenjangan pelayanan di masyarakat. “Harapan kami, semua orang bisa memulai usaha dengan mudah. UMKM bisa memanfaatkan teknologi untuk memajukan usahanya,” ungkap Muhammad pada jumpa pers virtual IPO Bukalapak, 9 Juli 2021.

Bukalapak fokus sebagai perusahaan all commerce yang unggul, baik untuk pedagang online, pedagang offline, maupun masyarakat, di kota besar ataupun kota kecil. Para pelapak, sebutan untuk mitra Bukalapak, dapat bergabung dalam IPO dan masyarakat juga bisa membeli saham Bukalapak jika ingin menjadi bagian dari perjalanan Bukalapak. “Anda dapat bergabung melalui penawaran perdana saham Bukalapak,” ujar Muhammad dengan nada membujuk.

Nah, investor, terutama pemodal ritel, harus menetapkan horizon dan target investasi sebelum membeli saham Bukalapak. Ellen mengatakan, investor sebaiknya menentukan tingkat pembatasan risiko dengan menjual sebagian saham ketika harga sahamnya turun di level tertentu, dan mempertahankan setengah kepemilikannya untuk investasi jangka panjang sambil mengamati perkembangan tren harga saham ke depannya.

”Investor berpeluang memperoleh imbal hasil yang relatif tinggi dari saham Bukalapak dengan metode investasi value investing yang horizon investasinya dalam jangka menengah hingga panjang, atau juga jangka pendek untuk investor yang berkarakter trader,” kata Ellen.

Potensi dan Valuasi

Lebih lanjut, Analis Senior dari CSA Research Institute, Reza Priyambada, mengatakan perlunya metode valuasi tambahan yang diterapkan untuk menakar valuasi saham Bukalapak dan perusahaan teknologi yang hendak IPO di BEI. Contohnya, revenue per user atau per tenant.

Perihal valuasi, Roger menambahkan, calon emiten sektor teknologi, seperti Bukalapak, memiliki keunggulan, khususnya menguasai mahadata (big data) dan basis data pelanggan yang sangat besar di era perekonomian digital. Bukalapak menghuni posisi kelima perusahaan dengan predikat unicorn dengan valuasi US$ 1 miliar di Indonesia.

Per Oktober 2020, Bukalapak mencatatkan valuasi sebesar US$ 2,5 miliar, berada di bawah Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan OVO. Setelah IPO, valuasi Bukalapak ditaksir senilai US$ 3,5 miliar atau sekitar Rp 52,5 triliun.

Investor mengamati penghitungan valuasi dibarengi dengan metode penghitungan harga saham Bukalapak, seperti total aset, ekuitas, dan pendapatan atau rasio price to book value (PBV). Para pelaku pasar ada yang menakar PBV-nya 50 kali alias mahal, ada pula yang menilai PBV Bukalapak di rentang 3,7 kali hingga 4,2 kali yang dihitung berdasarkan harga penawaran Rp 750-850 per saham berbanding total ekuitas perusahaan per kuartal I/2021, kemudian ditambah perolehan dana IPO sebelum dikurangi biaya lain-lain.

Sementara itu, nilai total aset Bukalapak pada 31 Desember 2020 naik menjadi Rp 2,59 triliun dari Rp 2,05 triliun di tahun sebelumnya. Liability-nya mencapai Rp 985,82 miliar, naik dari Rp 898,46 miliar. Dan, ekuitasnya Rp 1,60 triliun, naik dari Rp 1,15 triliun.

Pendapatannya masih belum menutupi biaya operasional sehingga belum memberikan laba bersih. Cek saja, omzet Bukalapak pada kuartal I/2021 naik menjadi Rp 423,70 miliar atau tumbuh 32,3% pada periode yang sama tahun lalu. Akan tetapi, pendapatan ini tergerus lantaran beban pokok penjualan yang melonjak 89,2%, disusul beban keuangan (32,8%), serta beban penjualan dan pemasaran (1,9%).

Hasilnya, perseroan masih dibekap rugi bersih Rp 323,24 miliar, lebih rendah 17,85% dibandingkan rugi bersih kuartal I/2020 senilai Rp 393,49 miliar. Biasanya, investor berlanggam fundamental tak melirik saham yang fundamentalnya jeblok.

Namun, bila meneropong potensi bisnis Bukalapak di era digital, saham ini berpeluang memberikan cuan. “Strategi bisnis dan inovasi Bukalapak dinantikan investor untuk meningkatkan performa keuangan ke depannya,” ucap Reza.

Dia menerangkan, rugi yang dialami Bukalapak akan berdampak terhadap pembagian dividen ke depannya. Di sisi lain, investor berharap kinerja keuangan Bukalapak di masa mendatang lebih baik seiring dengan pertumbuhan ekonomi digital nasional.

Kementerian Keuangan mencatat nilai transaksi ekonomi digital Indonesia pada 2020 senilai US$ 44 miliar atau setara Rp 638 triliun. Nilai ini diestimasikan naik menjadi US$ 124 miliar atau tiga kali lipat pada 2025. Angka ini selaras dengan kajian yang dilansir e-Conomy SEA 2020 dari Google, Temasek, dan Bain & Company, yang memproyeksikan nilai ekonomi digital Indonesia bakal mencapai US$ 124 miliar di tahun itu.

Untuk menangkap peluang tersebut, literasi digital digencarkan, terutama kepada UMKM. Bukalapak, menurut Pandu, memiliki 6,9 juta mitra UMKM dengan pertumbuhan mitra sebesar 1.200% selama 2018-2020.

Pemulihan kinerja bisnis anak perusahaan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. ini mulai bersinar tiga tahun lalu. Pendapatan Bukalapak pada 2018 hingga 2020 tumbuh signifikan dengan CAGR (compound annual growth rate) sebesar 115%. Total processing value (TPV) atau total nilai transaksi bisnis yang diproses Bukalapak di tahun lalu juga melejit dengan CAGR 73,27%, menjadi Rp 85,1 triliun. Pendapatan sebelum bunga, pajak, dan amortisasi alias EBITDA (earning before interest, taxes, depreciation & amortization) Bukalapak di 2020 dalam posisi rugi sebesar Rp 1,7 triliun, tetapi lebih baik dibandingkan EBITDA 2019 yang sebesar Rp 2,7 triliun.

Traffic share-nya pada kuartal I/2021 nomor tiga terbesar di Indonesia dengan kunjungan sejumlah 31,3 juta (rata-rata pengunjung per bulan 12,8 juta). “Traffic share dan TPV merupakan indikator yang penting bagi perusahaan teknologi,” ujar Pandu.

Anderson Sumarli, CEO Ajaib Group, mengatakan, IPO perusahaan teknologi dinantikan investor milenial. Di fase penawaran dan pasca-IPO, pergerakan harga saham BUKA akan membetot perhatian investor. Apabila harganya turun, Anda beli lagi atau jual nih? (Riset: Armiadi Murdiansah)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved