Personal Finance

ADB: Negara-Negara Asia Harus Perkuat Pasar Obligasinya

ADB: Negara-Negara Asia Harus Perkuat Pasar Obligasinya

Dalam Laporan Asia Bond Monitor yang dirilis Asia Development Bank (ADB) pada Maret 2014 ini, menyebutkan bahwa pasar obligasi domestik di negara-negara kawasan Asia Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia, telah mampu bertahan menghadapi volatilitas pasar yang terjadi belakangan ini, namun risiko akan terus meningkat dan negara-negara di kawasan tersebut harus tetap siap untuk menghadapinya.

“Data ekonomi yang bagus, imbal hasil yang menarik, serta pulihnya nilai tukar sejumlah mata uang menunjukkan bahwa Asia masih menjadi tempat terbaik untuk investasi. Namun, risiko penularan krisis (contagion risk) lebih tinggi dari sebelumnya. Jadi supaya terhindar dari potensi sentimen negatif, pemerintah negara-negara di Asia harus menerapkan reformasi struktural untuk memperkuat ketahanan ekonomi, serta mendorong pertumbuhan produktivitas,” kata Iwan Jaya Azis, Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional ADB.

ADB

Menurutnya, pada Mei tahun 2013 lalu, imbal hasil (yield) obligasi di Indonesia naik, tapi setelah Desember 2013 itu menurun. Hal tersebut disebabkan ada beberapa hal yang di luar kontrol Indonesia, misalnya kebijakan The Fed Amerika Serikat (AS) soal tappering.

“Negara lain pun tidak akan ada yang bisa mencegah itu terjadi. Maka kita harus memperhatikan terus apa yang terjadi di AS, tapi tappering pasti akan berjalan terus. Pengaruhnya dari tappering itu di Asia yakni menyebabkan volatilitas di pasar modal akan tetap tinggi. Jadi negara-negara di Asia memang harus memperkuat pasar obligasi (bonds market)nya, juga pasar modalnya secara umum,” ungkapnya.

Karena Quantitative Easing (QE) tappering akan terus berlanjut, maka ini akan menaikkan tingkat suku bunga di AS. Tapi apakah capital outflow dari negara-negara lain, khususnya negara di Asia, akan datang ke AS? Iwan berpendapat bahwa itu ternyata tidak terjadi, karena capital inflow di negara-negara Asia malah naik. “Prospek bonds market besar sekali, karena kebutuhan pembiayaan infrastruktur di negara-negara Asia masih cukup besar. Karena pembangunan infrastruktur tersebut tidak bisa dibiayai hanya dari bank, tapi juga harus dari pasar modal,” imbuhnya.

Obligasi pemerintah berdenominasi mata uang lokal di negara-negara kawasan Asia Timur dan Tenggara tersebut juga memang cukup stabil pada kuartal IV-2013, walaupun krisis menimpa negara-negara berkembang di kawasan lainnya. Bisa dibilang bahwa porsi kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah berdenominasi mata uang lokal juga stabil, dikarenakan prediksi pertumbuhan ekonomi yang solid, serta nilai imbal hasil yang menarik dibandingkan pasar lain. Indonesia tercatat memiliki porsi kepemilikan asing tertinggi pada akhir 2013 yang sebesar 32,5% dari total obligasi pemerintah, yang diikuti Malaysia yang mencapai 29,4%.

Pada akhir kuartal IV-2013, pasar obligasi di Indonesia mencatatkan pertumbuhan tercepat kedua di kawasan Asia Tenggara setelah Vietnam. Pasar obligasi Indonesia tumbuh 6,8%, menjadi US$ 108 miliar, dalam kuartal tersebut jika dibandingkan dengan tahun lalu. Obligasi pemerintah meningkat 7,9% dalam kuartal ini dan tumbuh 20,9% dibandingkan tahun lalu. Obligasi korporasi tumbuh 1,5% dalam kuartal ini dan 16,4% daripada tahun lalu menjadi US$ 18 miliar.

“Pertumbuhan obligasi pemerintah di Indonesia terutama didukung oleh obligasi pemerintah pusat, yang terdiri dari surat perbendaharaan negara dan obligasi yang dikeluarkan Kementerian Keuangan, serta Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Di sektor korporasi, pertumbuhan didukung oleh kenaikan obligasi korporasi konvensional, obligasi subordinasi, dan obligasi Sukuk Ijarah,” tuturnya.

Memang, pasar obligasi syariah di Indonesia merupakan kedua terbesar di kawasan tersebut setelah Malaysia. Tapi perkembangan pasar obligasi syariah di Indonesia masih dalam tahap awal, dan hanya berkontribusi 7,4% untuk total pasar obligasi. Namun, penjualan sukuk negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Tenggara secara umum tetap kuat, yakni sebesar US$ 91,7 miliar pada 2013.

“Sukuk berpotensi besar menjadi sumber pembiayaan bagi proyek infrastruktur, namun untuk merealisasikannya pemerintah Indonesia harus membuat kerangka regulasi yang tepat, supaya debitur dapat semakin memanfaatkan sukuk,” ucapnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved