Capital Market & Investment Trends Economic Issues zkumparan

Saham Bubur Kertas Tetap Menjanjikan

Ilustrasi industri kertas (foto: paperindustryworld.com)

Selama 10 tahun terakhir industri kertas mengalami tekanan akibat era digitalisasi yang menguasai pasar global, sehingga kebutuhan akan kertas menurun. Baik kertas yang dipakai untuk koran, menulis atau kertas cetak lainnya.

Turunnya kebutuhan kertas untuk cetak dan tulis-menulis ini, berbanding terbalik dengan konsumsi akan kertas tisu dan kemasan. Data Food and Agriculture Organization (FAO) memperlihatkan sejak 2006 hingga 2016 secara rata-rata konsumsi kertas cetak dunia turun atau negatif 4,6%, sedangkan konsumsi kertas untuk kebutuhan tulis-menulis secara rata-rata turun atau negatif 1,3%. Sedangkan konsumsi tisu selama 10 tahun terakhir memperlihatkan kenaikan rata-rata sebesar 2,8% dan konsumsi kertas kemasan tumbuh rata-rata sebesar 2,3%.

”Ke depan kebutuhan akan tisu di dunia akan semakin tinggi seiring dengan meningkatnya gaya hidup masyarakat demikian juga permintaan akan kertas kemasan akan semakin besar karena orang semakin menyukai belanja secara online,” kata Analis Bahana Sekuritas, Gregorius Gary.

Peningkatan permintaan kertas ke depan, terutama akan didorong oleh China yang menguasai 26% dari total konsumsi kertas dunia. Sementara, konsumsi per kapita China untuk kertas tisu masih sangat rendah yakni sekitar 7 kg/kapita, bandingkan dengan Amerika sekitar 22 kg/kapita, Eropa sekitar 17 kg/kapita dan Jepang sekitar 14 kg/kapita.

Konsumsi kertas kemasan China baru sekitar 50 kg/kapita, bandingkan dengan Amerika sekitar 128 kg/kapita, Jepang sekitar 91 kg/kapita, Eropa sekitar 78 kg/kapita. Sehingga diperkirakan ruang peningkatan permintaan atas tisu dan kertas kemasan dari Cina masih akan terus naik. Sementara itu, dari sisi ketersediaan bahan baku dan produksi bubur kertas di China lebih rendah dari sisi konsumsi.

Data memperlihatkan sejak 2006 hingga 2016, produksi bubur kertas di China meningkat dari sekitar 52 juta ton menjadi sekitar 79 juta ton, sedangkan konsumsi meningkat lebih cepat dari sekitar 60 juta ton menjadi sekitar 97 juta ton, sehingga kedepan diperkirakan defisit akan semakin lebar. Untuk menutupi defisit ini, Cina terus melakukan impor bubur kertas, terutama dari Indonesia dan Brazil. Ke depannya, Gary menilai bahwa Indonesia dan Brazil akan semakin diuntungkan karena hingga saat ini cuma dua negara ini yang masih dapat meningkatkan jumlah produksinya dan memiliki biaya produksi lebih murah dibandingkan negara lain.

”Pemerintah China dalam dua tahun terakhir semakin gencar melarang produksi kertas dengan menggunakan limbah kertas, ini akan semakin memberi dampak positif bagi industri bubur kertas di Indonesia,” ungkap Gary. Untuk itu, Bahana Sekuritas memberi rekomendasi beli untuk saham PT Indah Kiat Pulp and Paper dengan target harga Rp 16.000/lembar.

Perusahaan sekuritas milik negara ini memperkirakan harga bubur kertas masih akan naik hingga 2019, dari kisaran harga $636/ton pada 2017 atau naik sekitar 26% secara tahunan, yang dipengaruhi oleh beberapa hal utama yakni diperkirakan belum akan ada tambahan kapasitas produksi di dunia sepanjang tahun ini, setelah grup Asia Pulp and Paper (APP) milik Sinarmas meningkatkan kapasitas produksi anak usahanya PT OKI dan juga peningkatan kapasitas produksi pabrik Fibria di Brazil, karena untuk membuka pabrik atau industri baru biasanya membutuhkan waktu sekitar tiga hingga empat tahun.

Pemerintah China juga masih akan melanjutkan kebijakan menjaga lingkungan hidup dengan banyak pengetatan termasuk melarang impor limbah kertas, yang pada akhirnya akan berdampak pada turunnya kapasitas produksi bubur kertas, padahal diperkirakan konsumsi kertas di China akan terus meningkat.

Bahana memperkirakan laba bersih PT Indah Kiat akan naik menjadi $545 juta pada akhir 2018, atau naik sekitar 32% dibanding perkiraan akhir tahun lalu sekitar $412 juta. Bila pada tahun ini kenaikan harga bubur kertas sama dengan tahun lalu sebesar 26% ke kisaran $800/ton, laba bersih ini sangat mungkin naik sekitar 45% ke kisaran $596 juta.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved