CEO Interview zkumparan

CEO Metrodata : Pernah Mengambil Langkah Berbahaya Untuk Selamatkan Perusahaan

CEO Metrodata : Pernah Mengambil Langkah Berbahaya Untuk Selamatkan Perusahaan
Susanto Djaja, CEO PT Metrodata Electronics, Tbk

Susanto Djaja, CEO Metrodata kini tengah bersyukur. Pasalnya, sering diprediksi bisnisnya akan terdampak berat oleh disrupsi, namun Metrodata justru menunjukkan kinerja yang kinclong.

Cerita tentang keberhasilan transformasi PT Metrodata Electronics, Tbk ini sudah panjang lebar dibahas oleh Majalah SWA pada edisi 16 , Agustus 2019 lalu. Dalam keberhasilan itu, tentu tidak lepas dari sosok pemimpinnya. Siapa sebenarnya Susanto Djaja? Bagaimana perjalanan karier dan pengalamannya sehingga mengantarkan ke posisi puncak direksi perusahaan distribusi elektronik ini? Berikut kutipan wawancaranya dengan SWA Online beberapa waktu lalu di ruang kerjanya di Lantai 37, APL Tower Jakarta.

Bagaimana sejarah perjalanan karier Anda ?

Perjalanan karier saya, ketika saya masih kuliah di semester akhir saya bekerja di salah satu bank swasta dari Jepang yang ada di Jakarta. Kenapa dizinnkan perusahaan itu? Karena mereka baru berdiri jadi mereka mau menerima. Setelah 1,5 tahun saya pindah ke tempo scan pacific. Di sana saya saya menempati posisi Brand Office Manager, yang mengurusi finance, HRDD, logistik, accounting, dan sebagainya. Kemudian tahun 1997 saya bergabung di Metrodata sebagai treasury manager, sampai sekarang.

Kemudian, tahun 2003 saya menempati finance division manager, tapi antara 98 – 2007 Metrodata praktis tidak ada CFO, maka saya report-nya ke Presdir, sampai tahun 2007. Jadi selama itu sebenarnya saya secara de-facto adalah CFO, tidak ada gelar, tetapi tugas dan tanggung jawab saya seperti CFO. Tapi saya hanya mengurusi 70% nya saja, karena masih ada rekan saya yang namanya accounting division manager. Tahun 2007 kemudian ada CFO, saya ditetapkan sebagai CFO . Karena ada CEO baru, tetapi CEO yang baru itu nggak lama cuma sampai tahun 2010. Lalu, saya menggantikan CEO sampai sekarang.

Kabarnya Anda pernah mengambil sebuah langkah sangat berani saat baru bergabung dengan Metrodata? Bisa diceritakan?

Tahun 1997 ketika krisis moneter, saya baru bergabung di Metrodata 3 bulan. Namun saya berani mengambil keputusan nekat yang menyelamatkan separuh aset Metrodata. Ketika itu saya putuskan untuk hedging (lindung nilai), kita kan tidak mengeluarkan dana apapun. Kenapa, karena hedging kita kontrak lalu bayarnya pada saat jatuh tempo.

Saat itu, kami punya term loan sudah technically default, kalau keadaan makro ekonomi sudah tidak bagus, dia berhak untuk full options, jadi bank sindikasi kami saat itu dipimpin oleh BNP Paribas, nah mereka menyatakan Metrodata saat itu technically default.

Jika waktu itu kalau tidak diambil langkah hedging apa yang akan terjadi ?

Technically bangkrut, sekarang bayangkan kurs dari Rp 3.000 tembus sampai Rp 12.000 nah selisihnya Rp 9000 kalikan US$ 12 juta, itu ekstra cash Rp 110 miliar yang harus Metrodata bayar saat itu. Waktu itu cari uang segitu bukan main susahnya, hari ini laba Metrodata Rp 200 miliar, nah bayangkan saat itu (20 tahun lalu) nilai hutangnya setengah dari laba hari ini.

Keputusan sebesar itu Anda tidak takut riikonya? Apalagi sebagai ‘anak baru’ saat itu ?

Ya, kalau ditanya saya waktu itu memang sedikit nekat, tapi juga cukup yakin dan mendapat restu dari yang Maha Kuasa, bersyukur tahun berikutnya saat jatuh tempo kursnya persis seperti perkiraan saya. Kalau tidak ya cukup berbahaya

Ketika resmi menjadi CFO apa saja terobosan yang sudah dan berhasil dilakukan ?

Ketika sudah dinyatakan sebagai CFO itu saya membuat supply-chain financing, jadi saat itu Metrodata sebagai distributor PC dan notebook kami menghadapi gerak-gerik kompetitor yang berupaya meng-copy strategi kami, maka kalau persaingan kalau sudah sama dengan barang yang sama ya akan jadi komoditi saja. Nah, akhirnya beberapa principals itu berkurang kepercayaannya. Maka kami berinisiatif kerja sama dengan Bank BII (saat ini Maybank) untuk meluncurkan yang namanya supply-chain financing. Jadi BII menawarkan kredit kepada para dealer kami, yang mana kami beri keringanan untuk jaminannya, cukup 25% saja. Kemudian karena mereka bergabung, maka kami berikan suatu previlege, cash discount bagi mereka lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak bergabung. Hasilnya, data revenue kami tahun 2008, Rp 3,4 triliun, kemudian proyek supply-chain financing ini kan dimulai 2009, saat itu revenue masih sama Rp 3,4 triliun, tetapi anda bayangkan, di tahun 2008 cash flow of operation itu minus Rp 60 miliar, lalu tahun 2009 dengan revenue yang sama, cash flow of operation-nya itu + Rp 280 miliar. Jadi dengan strategi supply-chain financing itu telah mengubah cash flow kami dari yang minus menjadi plus dan nilainya sekitar empat kali lipat lebih besar. Itu membuat Metrodata jadi melesat.

Lalu ketika sudah menjadi CEO, apa saja terobosan yang Anda lakukan ?

Untuk memperbesar bisnis disribusi Metrodata, kami melakukan join venture dengan namanya Synnex, jadi kepemilikannya 50 :50, terjadi di 2011 yang dampaknya sekarang jadi bagus. Dulu 2011 revenue rp 3,4 trilun, sekarang (2018) jadi Rp 12,7 triliun, dari angka itu sekitar Rp 10 triliiun dari distribusi. Tapi dalam perjalanan memang tidak mudah, banyak perubahan, tantanganya juga tidak semakin sedikit justru saat bisnis tumbuh besar tantanganya semakin besar. Tapi saya selalu tekankan kita harus terus inovasi dan berikan yang terbaik. Dan mencari jalan keluar bukan yang terbaik tetapi yang lebih baik, lebih baik dari apa? Lebih baik dari yang sebelumnya, lebih dari diri kita yang sebelumnya itu jauh lebih memotivasi orang untuk bergerak.

Hal apa yang paling membuat Anda begitu ‘kesal” dan apa yang membuat anda ‘bahagia’ menjalankan tugas sebagai CEO saat ini ?

Jadi apa yang membuat saya bahagi, ini dulu ya. Yaitu, ketika saya bisa berbagi ke dunia luar, kemajuan Metrodata, dengan demikian saya membuat seluruh insan Metrodata menjadi bangga denga perusahaannya ini. Walaupun yang saya share itu adalah hasil kerja dari 1500 orang dengan kontribusi masing-masing yang mungkin beda-beda, tapi semua pasti akan rasakan hal yang sama, yaitu bangga. Lalu hal yang membuat saya kesal? Jadi begini, tidak ada manusia yang sempurna, sehingga saya tidak bisa membuat semua orang bahagia, saya tidak membuat semua orang suka dengan saya, sehingga dalam memimpin terkadang ada terjadi perbedaan pendapat, tetapi setelah saya berfikir, it tidak masalah karena memang seorang pemimpin ya harus menerima resiko setiap kebijakannya tidak mungkin diterima semua orang, jadi pemimpin harus siap dikiritik.

Editor: Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved