CEO Interview

Dahlan Iskan Tidak Pernah Merasa Punya Jiwa Kepemimpinan

Dahlan Iskan Tidak Pernah Merasa Punya Jiwa Kepemimpinan

Nama Dahlan Iskan cukup populer, terutama saat menjabat Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 19 Oktober 2011-20 Oktober 2014. Berbagai kebijakan dan tindak-tanduknya yang kadang dianggap “nyeleneh” saat menjabat turut melambungkan namanya.

Dahlan Iskan, Pemilik Grup Jawa Pos

Dahlan Iskan, Pemilik Grup Jawa Pos

Sebelum menjadi Menteri BUMN, pria kelahiran Magetan, Jawa Timur, 17 Agustus 1951, ini pernah menjabat sebagai Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN), 23 Desember 2009-19 Oktober 2011. Sebelumnya lagi, Dahlan adalah CEO surat kabar Jawa Pos dan Grup Jawa Pos yang bermarkas di Surabaya.

Berikut ini adalah petikan wawancara Majalah SWA dengan Dahlan seputar kepemimpinan yang menarik untuk disimak.

Sejak kapan Pak Dahlan merasa punya jiwa kepemimpinan?

Saya tidak pernah merasa punya jiwa kepemimpinan. Tetapi, sejak remaja sering ditunjuk jadi sekretaris atau ketua panitia apa saja. Di kampung ataupun di sekolah. Juga, sering dipilih sebagai pengurus inti organisasi pelajar. Demikian juga ketika mahasiswa. Bahkan, saya drop out dari universitas karena terlalu aktif di organisasi mahasiswa.

Saya biasa cepat menyelesaikan pekerjaan yang lambat dikerjakan teman-teman pengurus lainnya. Rasa tanggung jawab muncul sendiri setiap kali ada pekerjaan yang belum selesai.

Apa saja cirikhas kepemimpinan Bapak yang membedakan Bapak dengan kebanyakan pemimpin lain?

Saya tidak pernah memikirkan apakah kepemimpinan saya berbeda dengan yang lain. Saya sendiri tidak terlalu merasa di atas dari yang saya pimpin. Mungkin itu penyebabnya, saya menempatkan perasaan saya berada di tengah-tengah mereka. Ternyata, belakangan saya tahu ada filsafat Minang yang mengajarkan itu. Pemimpin yang baik itu hanya ditinggikan seranting dan dimajukan selangkah. Dengan menempatkan diri seperti itu saja, yang dipimpin masih merasa segan kepada pemimpin, masih menjaga jarak. Apalagi, kalau sang pemimpin sengaja menempatkan diri jauh di atas mereka.

Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

Selama di Jawa Pos pun saya tidak memiliki ruang kerja. Bahkan, tidak memiliki meja kerja. Saya duduk di mana saja: di kursinya redaktur, di kursinya wartawan, atau di kursinya sekretaris redaksi. Di sini saya baca surat-surat masuk. Saya tidak pernah memberikan disposisi pada surat-surat itu. Hanya saya tulis nama staf yang harus menangani surat itu. Sekretaris mendistribusikannya. Saya percaya semua staf tahu apa yang harus dilakukan, yaitu menjawab atau menindaklanjuti.

Di ruang redaksi itu, saya buat tidak ada sekat atau kamar-kamar. Semua saling bisa lihat. Semua tahu saya lagi duduk di mana. Kalau ada yang perlu, langsung saja tembak di tempat. Kalau saya lagi ke ruang keuangan. saya juga duduk di mana saja. Hanya saja, ruang kasir ada dinding kacanya. Saya juga sering duduk di ruang kaca itu. Demikian juga kalau saya ke bagian iklan, ke pemasaran, dan ke distribusi.

Kalau ke percetakan atau ke pabrik kertas atau ke pembangkit listrik, saya langsung naik mesin dan rapat bisa sambil jalan. Saya menikmati itu. Bukan karena sengaja mau begitu.

Apakah Bapak merasa kepemimpinan Anda sebagai kepemimpinan otentik? Apa yang membentuk kekhasan tersebut?

Saya tidak tahu. Biarlah orang lain yang menilai. Yang membentuk kekhasan tersebut mungkin karena saya pernah jadi anak buah. Saya harus selalu ingat apa saja yang tidak disukai anak buah terhadap atasannya. Karena itu, saya ingin tidak begitu. Anak buah kan benci pada atasan yang menjaga jarak, tidak jujur, tidak fair, tidak adil, tidak pernah memuji, tidak mengakui prestasi, menyombongkan diri, menonjolkan ego, diktator dan jarang tersenyum. Anehnya, banyak anak buah yang benci itu, tetapi ketika jadi atasan melakukan apa yang dulu dia benci itu.

Bagaimana cara Bapak membangun dan mematangkan kapasitas kepemimpinan ini?

Saya selalu menyalahkan diri sendiri dulu setiap kali ada kegagalan. Atau, ada persoalan. Bukan pura-pura atau seperti dbuat-buat. Saya uraikan mengapa saya merasa bersalah. Kalau perlu, mengakui kesalahan itu secara terbuka di depan forum anak buah. Biasanya anak buah lantas akan berebut mengakui kesalahan masing-masing. Dengan cara itu, lebih mudah mencari jalan keluar.

Apa contoh paling berkesan dari kepemimpinan otentik Bapak dalam mengatasi persoalan besar (bisnis ataupun pemerintahan)?

Saya pernah kalah “judi” waktu menunjuk Bung Margiono untuk memimpin Rakyat Merdeka. Saya besarkan hatinya. “Kalau Anda mampu menjadikan oplahnya 40.000, saya belikan Anda mesin cetak paling modern di Grup Jawa Pos,” kata saya. Saya perlu besarkan hati Margiono (sekarang Ketua Umum PWI Pusat) karena saya tahu perasaannya, yaitu turun dari jabatan Pemimpin Redaksi Jawa Pos yang begitu bergengsi untuk berjuang dari nol di lahan yang miskin.

Rakyat Merdeka waktu itu nyaris bangkrut. Utangnya banyak, penghasilannya nyaris nol. Mutu korannya juga payah. Saking malunya menyebut berapa oplahnya, karyawan menyebut oplah Rakyat Merdeka hanya satu becak. Saya memberikan godaan mesin modern tersebut dengan enteng karena toh mungkin lima tahun kenudian baru tercapai 40.000.

Margiono rupanya kerja habis-habisan. Enam bulan kemudian saya mendapat telepon darinya, “Pak Bos, tadi malam tercapai 40.000.” Saya kaget, panik dan bangga. Bangga pada Margiono, tetapi panik ingat janji.

Saya langsung hubungi pabrik mesin di Jerman. Normalnya mesin baru tersedia dua tahun setelah pemesanan. Lalu saya tanya, ada nggak mesin pesanan negara lain yang sudah siap kirim tetapi belum diambil. Ternyata ada, pesanan Israel. Saya langsung bicarakan dengan pemesan dan bisa saya ambil dulu. Saya pun berpikir bagaimana cara tercepat kirim mesin ke Jakarta.

Saat itulah terpikir carter pesawat kargo terbesar yang ada: Boeing 747. Seminggu kemudian mesin sudah tiba di Jakarta. Itulah untuk pertama dan satu-satunya mesin cetak koran dikirim dengan pesawat carter. Saya tidak mempertimbangkan mahal atau murah. Prestasi anak buah bernama Margiono lebih mahal dari semua itu. Saya sering melakukan seperti itu.

Bagaimana saat Anda memimpin di lembaga pemerintah?

Waktu menjadi CEO PLN saya juga tidak pernah duduk di meja kerja. Sekalipun saya duduk di meja rapat, dan kerja di situ. Juga, karena saya lebih banyak di lapangan, mengatasi krisis listrik saat itu. Waktu jadi menteri, saya juga tidak pernah sekalipun duduk di kursi menteri. Saya kerja di meja rapat. Pintu tidak pernah ditutup. Siapa saja boleh masuk. Semua direktur utama BUMN boleh langsung masuk ruang saya tanpa mengetuk pintu yang memang terbuka itu.

Saya sangat jarang memanggil staf. Saya yang datang ke meja mereka. Tetapi, saya kan memang jarang di kantor. Lebih banyak di lapangan. Kan ada wakil menteri yang mengurus administrasi dan birokrasi. Tetapi untuk rapat pimpinan, saya lakukan dengan disiplin: tiap selasa pukul 7 pagi. Tidak boleh tidak ada rapat. Dan, tidak boleh lebih dari dua jam.

Semua persoalan diungkap dan diputuskan di situ. Satu kali rapat bisa membuat 10 keputusan. Bahkan, lebih. Karena itu, saya jengkel sekali kalau ikut rapat di pemerintahan yang sampai empat jam belum bisa ambil satu keputusan pun. Bahkan, diulangi di hari lain empat jam lagi, juga belum bisa ambil keputusan.

Apa untungnya adanya kepemimpinan yang otentik dibandingkan yang umum?

Keuntungannya, tim bisa solid. Tanggung jawab muncul sendiri di setiap orang. Kreativitas tumbuh. Kegairahan kerja muncul dan menggebu-gebu. Kepemimpinan otentik lebih muncul dari hati nurani. Bukan dari literatur atau dari besarnya gaji.

Benarkah dunia bisnis dan pemerintahan membutuhkan lebih banyak pemimpin otentik?

Rasanya benar begitu. Setidaknya, di masa perintisan sampai pengembangan. Setelah sukses, mungkin sistem yang akan lebih berperan. Negara yang masih berkembang pun sebaiknya begitu.

Bagaimana caranya agar para CEO muda Indonesia bisa menjadi pemimpin otentik?

Jangan mudah minta petunjuk, minta nasihat dan minta tolong. Di forum-forum anak muda saya selalu sampaikan itu. Kalau ada pertanyaan, “Sebaiknya melakukan apa?”, biasanya saya jawab, “Lakukan apa saja yang Anda anggap baik.” Berikan kesempatan kepada yang muda. Jangan hanya memberi nasihat. Biarlah mereka punya kesempatan berbuat salah dan salah lagi. Agar banyak belajar dari kesalahan itu. Anak muda harus tahu orang yang memberi nasihat atau petunjuk itu mungkin hanya supaya terlihat pintar. Belum tentu petunjuk atau nasihatnya tepat. Abaikan saja!

Bagaimana agar negara dan pemerintahan punya lebih banyak pemimpin otentik?

Kalau basis kepemimpinan otentik sudah meluas, nanti akan muncul sendiri pemimpin seperti itu dalam jumlah banyak. Di segala bidang, termasuk sektor pemerintahan.

Twitter @ddsuryadi


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved