CEO Interview

Emirsyah Satar: Pemimpin Harus Punya Visi dan Menjadi Motivator

 Emirsyah Satar: Pemimpin Harus Punya Visi dan Menjadi Motivator

Siapa tak kenal pria berkacamata kelahiran Jakarta, 28 Juni 1959 ini? Emirsyah Satar adalah seorang akuntan lulusan Universitas Indonesia tahun 1985 yang meretas keterpurukan Garuda Indonesia. Ayahnya seorang diplomat asal Padang. Emir kecil pernah mencicipi tinggal di berbagai belahan dunia, Praha dan Meksiko di antaranya. Lalu, setamat S-1 Akuntansi UI, ia sempat belajar di Sorbonne, Perancis.

Sepanjang tahun 1998 sampai 2003, Emir bertugas sebagai Direktur Keuangan Garuda Indonesia. Dua tahun selanjutnya sampai 2005, ia duduk di kursi Wakil Direktur Utama Bank Danamon. Usai mengemban jabatan itu, ia kembali ke pangkuan Garuda dengan posisi Presiden Direktur dan CEO, tepatnya sejak bulan Maret.

Dengan pengalaman profesional panjang dan usia 54 tahun, sebenarnya orang akan maklum jika Emir menampakkan garis-garis keletihan. Namun, yang terjadi justru berkebalikan. Dia sama segarnya dengan orang muda 30 tahunan.

Antusiasme Emir tak surut-surut, salah seorang VP-nya bersaksi. Usai memamerkan kinclongnya kinerja Garuda sepanjang 2012 dalam RUPS siang itu, Emir sigap bergegas menuju kafe Hotel Mulia, Jakarta untuk bertemu dengan mitra-mitra bisnisnya yang kebetulan datang dari luar negeri. Agenda ini disambungnya dengan temu koordinasi sejenak dengan para VP sampai mendekati waktu makan malam.

Orang biasa pasti ingin cepat-cepat istirahat kalau sudah begitu. Tapi, Emir masih menyisihkan senyum untuk para pekerja Hotel Mulia. Tak ada yang tak kenal dia di situ. “Rumah saya di belakang rumah Pak Emir, lho,” cerita petugas kebersihan sambil, entah mengapa, ikut bangga juga dengan orang nomor 1 Garuda itu.

Begitulah pribadi pemenang survei “The Best CEO 2013”. Ingin dengar penuturan dari mulut Emir sendiri tentang kepemimpinannya di Garuda? Simak wawancaranya dengan Rosa Sekar Mangalandum berikut ini:

Emirsyah Satar, CEO PT Garuda Indonesia Tbk.

Bagaimana Anda menjalankan peran perintis di Garuda?

Pemimpin harus punya visi. Saya pun, sebagai pimpinan, harus membawa orang-orang yang dipimpin ke tempat yang belum pernah mereka tuju, sebutlah kesuksesan, menuju growth, dengan visi saya. Tidak menjalankan sekadar rutinitas harian saja, tapi membawa perusahaan ke tahap yang seharusnya. Kalau hanya menjalankan rutinitas, namanya bukan CEO, melainkan COO.

Selama di Garuda, saya punya terobosan untuk membawa Garuda dari maskapai yang dulu dianggap kelas dua di lingkup internasional menjadi maskapai yang disegani. Caranya, melakukan pembaruan armada berikut konsep layanan.

Garuda ingin berdaya saing. Maka, harus beda dari maskapai lain. Apa yang bikin orang memilih Garuda? Kami mesti cari positioning-nya. Kan, Garuda berbeda karena Indonesia. Lalu kami lihat, kelebihan Indonesia adalah terkenal ramah dan penuh diversifikasi. Diangkatlah ini sebagai selling point Garuda. Kemudian kami meluncurkan Garuda Indonesia Experience pada 2009.

Sampai kini, kami terus melakukan penyempurnaan. Sebab Garuda Indonesia Experience itu harus bisa dihantarkan sampai pada konsumen akhir (end-customer). Yang namanya menciptakan layanan, Anda tidak bisa hanya bikin manual.

Bagaimana Anda menjalankan peran penyelaras di Garuda?

Perbaikan Garuda tidak mungkin saya lakukan sendiri. Saya dengan direksi saja tidak bisa. Saya dengan direksi dan VP masih tidak bisa. Harus dengan semua orang. Semua bagian punya peran.

Saya merasa, kalau Garuda ini orkestra, saya berperan sebagai dirigen. Bagaimana supaya pemain biola tidak terlalu lambat? Tugas saya. Boleh saja dirigen punya semua pemain yang hebat-hebat. Tapi, ini bukan jaminan permainan pasti bagus. Ada yang justru tidak perform walau semua pemainnya nomor satu. Saya berdiri paling depan, wajarlah. Tapi, semuanya ikut main.

One team, one spirit, one goal. Keselarasan bisa dijalankan, pertama, dengan keterbukaan. Kedua, jujur. Harus mau memberi tahu problem masing-masing. Lewat rapat tiga bulanan, kami bisa menilai kinerja, termasuk kekurangan, bersama-sama. Dua hal tadi membuat tim kuat. Meski demikian, tidak serta-merta mudah. Saling tunjuk dulu satu sama lain.

Bagaimana Anda menjalankan peran pemberdaya?

Tidak hanya memberdayakan, tapi juga menciptakan pemimpin-pemimpin berikutnya. Pemimpin yang sekarang mesti melatih (coach) sekaligus mengembangkan pemimpin baru. Tapi, pemimpin bukan CEO saja. Ada pemimpin di tiap tingkat. Lalu seiring berjalannya waktu, kita bisa tahu mana pemimpin yang berfungsi dan mana yang tidak.

Pemberdayaan dalam tim difasilitasi lewat rapat tiga bulanan. Dari sini, bisa ketahuan mana yang berjalan sesuai kebutuhan perusahaan dan mana yang tertinggal. Dengan review, tim akan tahu, “Saya ketinggalan di bagian mana?” Kemudian mereka mesti mempercepat karena mau tidak mau, mereka membandingkan kinerja dengan tim lain. Saya ingin rapat yang sangat konstruktif dan produktif.

Saya tidak mau rapat yang isinya semua peserta hanya buat laporan, tapi tidak ada komentar. Awalnya ya, begitu. Peserta rapat presentasi saja kemudian yang lain diam. Padahal sudah rapat dua hari dua malam, tak ada interaksi. Kan, mahal sekali jatuhnya kalau begini. Kalau hanya untuk presentasi, pakai surel saja.

Jadi, saya bilang, “Saya mau kita mengidentifikasi apa kekurangan tim lalu apa koreksi untuk itu. Nothing personal.” Setelah itu, ada juga yang ngomong kelewatan. Seharusnya tidak perlu komentar, tapi malah berkomentar. Saat itulah saya ingatkan, “Kalau komentar, caranya begini. Jangan yang tidak ada gunanya.”

Butuh 2-3 rapat sampai tim terbiasa dengan rapat seperti yang saya mau.

Untuk pemberdayaan juga, saya memilih konsep yang saya sebut MMC. M pertama adalah meritokrasi (meritocracy). Artinya, yang lebih produktif harus mendapat lebih. Semula, karyawan susah menerima ini. M kedua, market. Artinya, kalau Anda keluar ke pasar, sebesar apa perusahaan lain akan membayar Anda? Setiap orang kan, punya posisi tawar berbeda. Itulah pasar, bernuansa kompetisi juga. Garuda menggaji karyawan sesuai hukum pasar. Berikutnya C, company’s capability (kesanggupan perusahaan). Kalau perusahaan belum sanggup membayar sesuai pasar, mau bagaimana?

Bagaimana Anda menjalankan peran sebagai panutan?

Walk the talk. Apa yang saya katakan pada staf ya, saya lakukan. Jangan cuma bilang, “Anda mesti begini, Anda mesti begitu.”

Dan ketika berbicara sebagai pemimpin, saya berusaha membuat pembicaraan saya sederhana. Jangan jadikan rumit. Nanti staf tak mengerti pimpinan ngomong apa.

Memang staf tidak langsung yakin. Awalnya, mereka mempertanyakan. Ada yang suka, ada pula yang tidak. Namun, bagi saya, apa pun keputusan yang saya ambil, itu merupakan yang terbaik untuk perusahaan. Bukan yang terbaik untuk karyawan. Bukan terbaik untuk direksi. Nah, bagaimanapun juga, jika perusahaan tidak berkembang, karyawan dan direksi tidak akan ada. Sebenarnya yang terbaik buat perusahaan kan, berkaitan dengan karyawan juga.

Ketika saya membuat keputusan besar, yang penting adalah proses pemikirannya (thought process). Saya mendengarkan pendapat orang, saya analisis, saya ambil keputusan. Keputusan bisa benar, bisa pula salah. Begitu menemukan bahwa ternyata keputusan saya salah, langsung perbaiki. Saya tidak mau menganggap keputusan saya selalu benar karena ego saja. Sikap seperti itu akan memperlambat proses perbaikan pada akhirnya.

Betul bahwa saya tidak bisa menyenangkan semua orang. Kalau seorang pemimpin berhasil mewujudkan pencapaian, orang-orang memandangnya biasa. Tapi, kalau pemimpin bikin kesalahan, langsung dikecam. Ini hal biasa.

Pengambilan keputusan tentu keadaan yang menantang. Boleh ceritakan pengalaman Anda?

Ada beberapa rute Garuda yang ditutup, salah satunya, karena tim salah menganalisis atau bisnis tiba-tiba berubah. Maka, rute yang serpti itu pun kami tutup atau frekeuensi penerbangan dikurangi. Belum lama ini, rute Nagoya ditutup. Di samping itu, rute Amsterdam dan Abu Dhabi direposisi.

Ada juga beberapa investasi yang awalnya saya pikir benar. Namun seiring berjalannya waktu, karena saya lupa melihat faktor tertentu atau pasar sudah berubah, ternyata keputusan saya salah. Segera saya perbaiki.

Adakah peran lain yang Anda jalankan juga di luar hal tadi?

Seorang CEO mesti jadi motivator juga. Artinya, selain punya visi mau membawa perusahaan ke tujuan mana, Anda hrs memotivasi SDM juga. Pimpinan bisa memberi motivasi dengan cara formal dan informal. Saya lebih sering pakai cara informal.

Pimpinan harus tahu kekuatan dan kelemahan staf masing-masing. Kalau ada kelemahan, bagaimana melatih staf agar bisa berbuat lebih? Kalau seorang staf berkinerja rendah, pertanyaan pertama saya pastilah apakah supervisor-nya sudah beritahu dia apa yang harus diperbaiki. Kalau tidak, fungsi coaching tidak jalan. Tapi, kalau si staf tidak bisa memperbaiki kinerja setelah dimotivasi oleh supervisor, cari posisi lain yang sesuai dengan kemampuannya yang hanya sekian itu.

Apa pencapaian konkret yang diraih Garuda selama kepemimpinan Anda?

Lima tahun lalu, Garuda tak masuk peringkat. Kalaupun masuk, mungkin di peringkat ke-80-an. Tapi, kini saya bisa lihat berbagai penghargaan dan peringkat Garuda di dunia. Tahun 2011 lalu, kami sampai ke peringkat 19 dalam daftar World Airlines versi Skytrax. Tahun 2012, Garuda naik dari 19 ke peringkat 11.

Namun, untuk kategori World Regional Airlines Skytrax, kami sudah dinobatkan menjadi The World Best Regional Airline. Terus terang, ini sangat membanggakan. Karena ketika ditelepon, saya sendiri tidak menduga.

Baru-baru ini, Maret 2013, diadakan Langkawi International Maritime and Aerospace Exhibition yang didukung Frost and Sullivan. Mereka mengadakan survei The Best ASEAN Premium Airlines. Selain Garuda, yang dinilai Singapore Airlines, Malaysian Airlines, Vietnam, Thai Airways. Semua itu maskapai terbaik. Alhamdulillah, kamilah yang menang.

Selanjutnya, apa yang masih mau dicapai Garuda bersama Anda?

Berikutnya, saya menargetkan peringkat Garuda di kategori World Airlines Skytrax naik, paling tidak ke sepuluh besar. Kalau rute Garuda sudah sampai ke London, Paris, atau rute lain yang lebih dari 8 jam, baru kami bisa masuk ke sana.

Rencana tahun 2013, Garuda akan mendatangkan 24 pesawat baru. Ada 4 Boeing 777-300 ER, 3 Airbus A330, 10 Boeing 737-800NG, dan 7 Bombardier CRJ1000 NextGen.

Apa tantangan yang Anda alami dalam peran pemimpin tersebut?

Tantangan dalam peran motivator, kalau staf diberitahu tentang kinerjanya, biasanya dia akan menolak.

Emirsyah Satar

Bagaimana Anda menghadapi karyawan seperti itu?

Saya mengingatkan mereka. Kadang-kadang kalau kebetulan di depan publik, saya tegur sambil bercanda. Tapi, maksudnya tetap memberitahu dan memotivasi si staf seputar kinerjanya. Saya mesti kenal dulu, apakah staf ini bebal atau peka. Baru kemudian bisa tahu cara-cara mengingatkan mereka.

Tantangan selama Anda menjalankan peran pemimpin yang lain?

Tantangan buat seorang CEO selalu begini. Kalau apa yang dia kerjakan bagus, orang memandangnya wajar saja. Tapi, kalau ada kekurangan sedikit, langsung dikecam. Begitulah hidup, kan? Anda tidak bisa menyenangkan semua orang. Yang penting bagi saya, jika mayoritas setuju dan merasa keputusan itu bermanfaat, lakukan saja.

Lepas dari itu, untuk bersaing di jagad penerbangan internasional, tentu Garuda ingin lebih bagus. Saya ingin perusahaan ini makin baik. Itu sudah pasti. Tp, Garuda harus tahu dulu, apa indikator dan milestones-nya. Selain melihat real market, salah satu indikator adalah penghargaan dan peringkat buat kami di dunia. Indikator berikutnya profitabilitas. Kalau tidak punya indikator, kita akan merasa sudah maju, padahal sebenarnya jalan di tempat.

Tahun 2012 lalu, peringkat Garuda masih di nomor 11 daftar Skytrax. Apa yang masih kurang?

Saya lihat, dibutuhkan konsistensi dan kekuatan brand internasional. Saya sadar, Singapore Airlines adalah salah satu maskapai internasional terbaik. Sejak 20 tahun lalu, mereka sudah begitu. Sedangkan Garuda, tahun-tahun lalu, masih terpuruk. Saat saya bergabung pada 2005, hutangnya gede, rugi besar, pesawat tua.

Tapi, bukan berarti Garuda tak bisa menembus World Airlines. Ke depan, segala yang dilakukan Garuda harus konsisten. Bukan hanya dari segi prosedur. SDM Garuda harus punya budaya konsistensi pula. Memang akan butuh waktu, mulai dari membuat SDM peduli pada lingkungan kerja sendiri dulu.

Seberapa cepat kami bisa menanamkan budaya ini juga jadi tantangan. Kalau SDM tidak bisa cepat melakukan transformasi, terpaksa dia diganti. Ini tergantung pada para pimpinan. Bukan cuma pada CEO, melainkan termasuk supervisor.

Untuk menghadapi tantangan di kelas dunia, tentu perlu pembenahan serius.

Garuda melakukan berbagai pembenahan. Pertama, berinvestasi untuk pesawat baru. Kedua, menjalankan konsep layanan Garuda Indonesia Experience. Intinya, tak hanya membenahi perangkat kerasnya, tetapi juga perangkat lunak seperti layanan, makanan, kenyamanan di pesawat.

Apa tugas berat yang bakal Anda hadapi tahun ini sebagai CEO?

Tugas berat tahun ini, bagaimana bisa memperlebar bisnis di satu pihak, tapi mempertahankan profitabilitas yang bagus pula di sisi lain. Dua hal ini belum tentu sejalan. Pelebaran bisnis perlu investasi. Jadi, saya harus menyeimbangkan keduanya.

Tugas kedua, bagaimana mendapatkan modal manusia dalam kuantitas dan kualitas tepat. Saya harus memastikan bahwa SDM Garuda ada dalam jumlah pas dan mutu yang juga pas. Saya perlu orang yang selalu mau maju. Selalu berupaya menemukan dirinya kembali (re-invent ourselves). Selalu memikirkan bagaimana agar kerja bisa lebih baik, lebih efisien, lebih kreatif. Bukan hanya lakukan rutinitas.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved