CEO Interview Editor's Choice

Gaya Elvizar Me-Turn Around TelkomVision

Gaya Elvizar Me-Turn Around TelkomVision

Dengan mengusung tagline Nice & Easy, TelkomVision berambisi ingin menjadi pemain nomor satu dalam bisnis tv berbayar di Indonesia. Penerapan Nice diwujudkan sebagai komitmen memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan berupa produk, pelayanan, dukungan, dan pengembangan. Sedangkan Easy dibuktikan dengan komitmen perusahaan untuk memberikan kemudahan dalam memberikan layanan.

Elvizar KH, Dirut PT Indonusa Telemedia, pengelola TelkomVision

Berbagai strategi dilakukan TelkomVision untuk mendongkrak jumlah pelanggan dan memperbesar pangsa pasarnya. Misalnya dengan menjalin kemitraan dengan beberapa bank seperti (Bank Mandiri, Bank BRI, Niaga), Irdeto Conditional Acces System (CAS) untuk tujuan perluasan pangsa pasar dan mendorong pertumbuhan jumlah pelanggan, Multiswara Vision (Multi Group) untuk melakukan pemasaran dan pengelolaan jasa layanan presales, in sales dan after sales TelkomVision, dan pertengahan Juli (17/7) menggandeng Indomaret untuk penjualan voucher pra bayar, sehingga untuk pengisian voucher bisa dilakukan di gerai Indomaret terdekat di seluruh Indonesia.

Perpaduan Nice & Easy dijadikan semangat bagi manajemen TelkomVision sebagai upaya agar TelkomVision menjadi tv berbayar yang bukan hanya dinikmati oleh segmen atas saja, tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarkat dengan harga yang semakin terjangkau dan pilihan program yang kian beragam. Dengan berbagai pembenahan yang dilakukan Elvizar KH Direktur Utama PT Indonusa Telemedia, pengelola TelkomVision. Perusahaan yang sempat mengalami kerugian selama 10 tahun berturut-turut itu, sejak Oktober 2010 mulai menunjukan kinerja positif. Bahkan dari jumlah pelanggan bisa meningkat hampir 10 kali lipat sampai semester I tahun ini yang jumlahnya 1,450 juta dalam waktu 2 tahun. Padahal, sebelumnya hanya 150 ribu pelanggan.

Untuk mengetahui pembenahan yang dilakukan Elvizar di TelkomVision dan upaya menjadi pemain tv berbayar nomor 1 dengan strategi low cost, berikut petikan wawancara Darandono, Reporter SWA Online dengan Elvizar KH, Dirut PT Indonusa Telemedia. Berikut ini penggalan wawancaranya:

Bagaimana kondisi TelkomVision, sebelum Anda masuk?

Harus diakui perusahaan ini terus merugi selama 10 tahun berturut-turut, tapi herannya masih terus dipertahankan. Di depan board of director (BOD) secara logika ada yang tidak masuk akal perusahaan yang sudah lebih dari 10 tahun terus merugi. Saya ambil contoh yang simple saja, seorang pedagang ketoprak untuk menjual satu piring, tentu sudah tahu modalnya dan harga jualnya. Kalau TelkomVision rugi, hanya ada 2 sebab yaitu cost-nya ketinggian atau harga jualnya yang salah. Apalagi saat itu, cost terhadap revenue 198%, artinya setiap jual satu, ruginya 98%. Alhasil, untuk mendapatkan revenue Rp 100 miliar, cost yang dikeluarkan sekitar Rp 198 miliar, sehingga kerugiannya Rp 98 miliar.

Bagaimana respons Anda saat itu?

Saya menyampaikan ke tim untuk mengambil masalah yang bisa dikontrol dan diselesaikan, dari sisi cost, apakah sudah benar dalam menghitung. Sebab cost dipengaruhi oleh 3 aspek yaitu content, decoder dan biaya operasional untuk mendapat pelanggan baru.

Apa yang Anda lakukan untuk memperkecil ketiga aspek di atas?

Terkait content dan decoder, saya pun membuat business plan yang selalu ditenteng-tenteng setiap ketemu orang. Bahkan ketika saya bertemu dengan direktur marketing Irdeto (pengelola kartu tayang) di airport, karena saat itu saya akan keluar kota, dengan bahasa Inggris seadannya menjelaskan tentang business plan, tapi ujung-ujungnya mereka paham. Saya kasih iming-iming customer Telkom Group 130 juta, Irdeto pun tertarik bekerja sama dengan TelkomVision untuk meng-create customer, bahkan volumenya bisa 10 kali atau 20 kali dari yang sebelumnya setiap bulan. Karena kalau TelkomVision beli satu mereka bisa untung 5 misalnya. Mereka pun ragu, bahkan sempat bertanya pada saya, apa mungkin, karena selama bertahun-tahun bermitra dengan TelkomVision tidak pernah ada kejadian seperti ini.

Begitu juga dengan content, saya bertemu dengan beberapa orang dari HBO, Fox, ESPN dan lain-lain. Saya merasa terkesan saat bertemu dengan orang ESPN yang masih berdarah Indonesia tapi sombongnya bukan main. Bahkan saat mendengarkan saya presentasi hanya dikomentari bahwa itu lagu lama, karena pernah dipresentasikan oleh direktur sebelumnya. Saya merasa terhina, mendengar kalimat itu.

Saya pun tidak kecil nyali dan menantang mulai bulan depan untuk menutup ESPN dari TelkomViision dan akan mengatakan selamat tinggal ESPN. Karena direksi yang lama ketakutan bila content ESPN hilang. Tapi ternyata, gertakan saya membuat mereka berpikir untuk negosiasi ulang dengan saya untuk menghitung ulang harganya.

Hasilnya?

Dari hasil negosiasi dengan 7 content asing, saya jalankan hasilnya cukup signifikan, karena bisa menghemat U$ 9,8 juta atau sekitar Rp 100 miliar/tahun. Begitu juga dengan decoder yang sebelumnya harganya di atas Rp 1 juta/unit bisa turun menjadi Rp 700 ribu/unit, sedangkan biaya marketing yang sebelumnya Rp 300 ribu, tahun 2010 turun menjadi Rp 150 ribu dan sekarang Rp 100 ribu untuk mendapat satu pelanggan. Dari 3 aspek ini cost satu produk sudah turun di bawah 100%.

Dampaknya bagi TelkomVision kian terasa, di mana perusahaan yang beroperasi lebih dari 10 tahun, untuk pertama kalinya sejak Agustus 2010 mulai untung. Kalau sudah untung, baru saya akan membawa perusahaan ini bergerak ke atas, karena bebannya sudah ringan, sehingga bisa dibawa terbang. Secara internal pun perusahaan ini juga menjadi kebanggan baru buat karyawan.

Target selanjutnya setelah TelkomVision tidak rugi?

Tahun 2011, saya mulai berani bersaing dengan kompetiter tv berbayar dengan sasarannya mendekati yang nomor satu yaitu melawan Indovision, dimana akhir 2010 dengan 200 ribu pelanggan TelkmVision menempati posisi nomor 4 dalam bisnis tv berbayar di Indonesia. Bahkan tidak tanggung-tanggung saya membidik agar TelkomVision menjadi pemain nomor satu pemain tv berbayar di Indonesia. Dan tahun lalu, jumlah pelanggan TelkomVision tembus 1 juta pelanggan, padahal waktu target dari Telkom hanya 400 ribu pelanggan yang telah dicapai sejak semester pertama 2011. Saya pun merevisi target, dimana sejak workshop Juli tahun lalu mencanangkan target 1 juta pelanggan. Hasilnya, target 1 juta pelanggan tembus, EBITDA naik 8 kali lipat dan keuntungan juga naik 8 kali lipat. Ini suatu kebanggaan bagi TelkomVision. Dan yang lebih membanggakan TelkomVision selalu disandingkan dengan Indovision yang sebelumnya dianggap anak bawang dan ini juga menjadi kebanggan karyawan TelkomVison.

Bagaimana target tahun 2012?

Tahun ini bukan hanya customer base yang harus dibenahi tapi juga dalam hal layanan dan harga yang terjangkau, sehingga TekomVision bukan hanya untuk lapisan atas, tapi juga bisa dinikmati masyarakat lapisan bawah. Bahkan target TelkomVision akan masuk sebagai pemain tv berbayar dengan strategi low cost, sehingga 2012 saya targetkan akan dapat pelanggan yang lebih besar, bukan hanya 2,5 juta pelanggan yang ditargetkan, tapi bisa jadi target tersebut direvisi lebih besar dengan strategi low cost untuk menjadi pemain tv berbayar nomor satu dengan mengembangkan strategi low cost dan partnership.

Apalagi jumlah penduduk Indonesia sangat besar dan berpotensi sebagai pemain tv berbayar terbesar seperti di China dan India yang sukses mengembangkan tv berbayar . Selain itu dari luasan wilayah Indonesia juga sangat mendukung perkembangan bisnis tv berbayar untuk menjadi industry tv berbayar berkembang lebih baik di Indonesia.

Saya mencanangkan dengan potensi market yang besar, saya akan membuat tv berbayar mudah didapat semua orang, meskipun potensinya menengah ke bawah, sehingga strateginya bukan lagi pricing seperti di Eropa dan Australia, tapi lebih pas dengan strategi low cost. Apalagi saat ini setiap pelanggan pay TV harus dipinjamkan decoder, dan rasanya berat karena biaya decoder masih tinggi, sehingga semakin besar mengembangkan bisnis ini semakin besar pula biaya investasinya.

Bagaimana agar pay tv agar bisa terjangkau masyarakat?

Agar harga decoder bisa terjangkau market, caranya caranya hanya dengan teknologi ataupun skala ekonomi . Karena teknologi harus diciptakan bagaimana decoder harganya sangat murah, ini yang dipelajari. Selain itu dari sisi content, saat ini untuk pay tv sekitar 90%, masih dikuasai content asing, ternyata berat bila ingin bermain besar-besaran, sehingga harus banyak menggunakan content lokal atau in house bila ingin menjalankan strategi low cost.

Selain itu, dari sisi partnership, TelkomVision siap berpatners dengan mitra yang ingin win-win dan bisa membuat TelkomVision menjadi besar. Modelnya bisa beragam, bisa dalam hal marketing , content atau investasi, karena risikonya tinggi bila harus menggulung volume dalam jumlah besar. Sebab nantinya pay TV tidak hanya mengandalkan dari ARPU tapi juga revenue dari advertising.Tahun ini pendapat advertising baru sekitra 10% dan ditargetkan bisa mencapai 50%.

Bila strategi low cost diterapkan, saya belum menghitung biaya termurah untuk berlangganan tv berbayar, tapi nantinya TelkomVision akan mudah didapat oleh masyarakat, dengan harga yang yang terjangkau dan juga mudah instalasinya. Bahkan suatu saat paket ini bisa di dapat di mini market terdekat seperti Indomaret. Karena dengan harga decoder Rp 500 ribu hingga 600 ribu, masih berat juga buat konsumen.

Idealnya berapa harga decoder?

Dengan skala ekonomi dan teknologi seharusnya decoder bisa dijual dengan harga Rp 150 ribu-200 ribu. “Kami sedang searching dan hunting untuk menetapkan strategi low cost,” katanya. Karena kalau hanya bermain 1 juta atau 2 juta, itu terlalu kecil buat tv berbayar. Contohnya Cina dan India, pelanggannya sangat besar. Di Cina jumlah pelanggan pay TV tahun lalu sudah mencapai 192 juta, sedangkan India 115 juta pelanggan dengan jumlah penduduk 1 miliar.

Kalau di Indonesia bisa 25 juta pelanggan dengan ARPU Rp 30 ribu, sudah terlihat hasilnya. Di Cina dan India tahun 2010, ARPUnya hanya US$ 4, sedangkan di Indonesia masih US$ 11. Di Indonesia bila pelanggannya bisa 30 juta, dengan ARPU Rp 20 ribu/bulan, sudah tergambar Rp 600 miliar/bulan. Bila memiliki pelanggan sebesar itu, semua advertising akan datang ke TelkomVision. Tahun ini bisa jadi, target 2,5 juta pelanggan akan direvisi dengan angka yang lebih besar, asalkan timnya berhasil mendapat decoder yang murah, sehingga harganya bisa terjangkau dan mengantarkan TekomVision sebagai pemain tv berbayar nomor satu di Indonesia. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved